Jumat, 12 Juli 2013

Coklat Stroberi



Bima      : “Udah lama ya kita gak jalan berdua gini?!”
Ika          : (tertawa kecil) “Iya, Tak.”
Bima      : “Setelah kita jalan seharian begini, baru ini kamu panggil aku dengan sebutan ‘tak’. Padahal kan aku udah gak botak.” (Ia tersenyum membalas)
Ika          : “Setelah kita jalan seharian begini, baru ini lo mengucapkan kata kamu dan aku di antara percakapan kita.” (Menarik bibir ke arah kanan)
Bima      : (tertawa kecil) “Bu, roti bakar isi stroberi satu ya.”
Ika          : “Gue”
Bima      : (menyelak) “Roti bakar coklatnya satu, Bu.”
Ika          : “Masih inget aja deh lo rasa kesukaan gue.”
Bima      : (melirik ke arah Ika) (tersenyum) “Yang coklat rotinya jangan gosong, tapi kering ya, Bu. Terus jangan pakai pinggirannya, pinggirannya di buang aja, Bu.”
Ika          : (menatap Bima) (tersenyum) “Lo benar-benar masih ingat selera gue.”
Bima      : “Minumnya es teh manis aja. Dua ya, Bu. Gulanya sedikit aja.”
Ika          : (menunduk) (menarik nafas kemudian dihembuskan) “Setelah kita dekat, sering jalan bareng dulu, sering makan roti bakar, gue gak pernah tau alesan lo milih roti bakar rasa stroberi. Lo mau kasih tau gak? Gue sedikit kepo nih.”
Bima      : “Yakin mau tau?” (menaikkan alis kanannya)
Ika          : “Iya, itu juga kalau lo bersedia sih. Habisnya gue agak bingung aja sih. Mind set tentang stroberi itu kan identik dengan kefeminiman perempuan. Atau jangan-jangan lo ini jiwanya perempuan ya?”
Bima      : (menatap mata Ika kemudian mendekatkan wajahnya) “Selama kita dekat, selama kita sering jalan bareng dulu, selama kita makan roti bakar, apa pernah lo liat gue bergelagat seperti perempuan?”
Ika          : “E… eng.. eng.. engga…” (mengedipkan mata) “Udah ah, jangan lagi-lagi lo menatap mata gue kayak tadi!” (mendorong wajah Bima agar menjauh)
Bima      : “Loh? Kenapa? Bukannya dulu lo biasa aja kalau kita berbicara dengan jarak wajah kita yang tidak jauh gitu?”
Ika          : “Itu kapan? Itu dulu kan? Sekarang udah gak lagi!”
Bima      : “Sekarang pun iya. Lo aja yang menutupi itu semua.”
Ika          : “Engga! Sekarang pun engga, Tak ! Hanya pacar gue aja yang boleh menatap gue kayak gitu.”
Bima      : “Loh kenapa memangnya?”
Ika          : “Ya karena dia pacar gue. Orang yang gue sayang, orang yang selalu buat gue bahagia, orang yang selalu ada buat gue, orang yang selalu hadir di mimpi gue, orang yang selalu perhatian sama gue.”
Bima      : “Oh, iya ya? Hm… hebat ya dia? Bisa buat lo seperti ini. Bisa dapetin tatapan dari mata lo yang indah itu. Kapan nih lo mau kenalin gue sama dia?”
Ika          : “Not right now. Kita tunggu waktu yang pas buat kalian ketemu. Nanti kalau dia ada di Bandung ya, kalau dia lagi liburan semester.”
Bima      : “Oke. Gue tunggu saat itu. Oyah, semanis apa sih kalian?”
Ika          : “Semanis…”
(Roti bakar itu pun hadir di hadapan Ika dan Bima)
Ika          : “Semanis roti bakar coklat ini. Semua berjalan dengan keromantisan dan ya sweet lah gitu. Sesuai dengan keinginan kita berdua. Selalu bahagia dan penuh dengan hal-hal yang manis lah.”
Bima      : “Wah keren yah. Sukses deh buat kalian berdua.”
Ika          : “Kalau lo gimana, Tak?”
Bima      : “Kalau gue kayak roti bakar rasa stroberi ini.”
Ika          : “Eh tunggu dulu. Sejak kapan lo punya pacar, Tak? Gue gak pernah tau kalau lo jadian sama cewek. Kok lo gak pernah cerita sama gue sih?”
Bima      : “Kata siapa gue punya pacar? Gue single, gue available.”
Ika          : (tertawa) “Kan bener. Terus maksud lo tentang roti bakar rasa stroberi yang lo pilih itu apa? Kan? Lo kan kayak apaan tuh? Punya kisah cinta kayak stroberi tapi lo gak punya cewek. Mungkin lo punyanya cowok kali ya? Nahloh!”
Bima      : (mengusap kepala Ika) “Dengerin gue ngomong dulu dong,Cung!”
Ika          : “Ha? Cung? Mancung maksud lo? Akhirnya lo manggil gue dengan sebutan mancung lagi.”
Bima      : “Iya , Mancung. Itu panggilan special gue buat lo.”
Ika          : “Terima kasih, Botaaaaak. Lanjutlah sama cerita lo.”
Bima      : “Siapa yang mau cerita?”
Ika          : “Lo lah tadi. Kan tadi lo udah mau mulai membahas tentang pilihan rasa stroberi lo itu tuh.”
Bima      : “Apa yang lo pikirin tentang stroberi? Apa yang ada di pikiran lo kalau lo dengar kata stroberi?”
Ika          : “Stroberi ya? Hmm… yang tadi gue bilang. Identik sama cewek, feminim, lembut, manis gitu deh.”
Bima      : “Nah, maksud dari manis itu apa?”
Ika          : “Ya karena menunjukan kefeminiman jadi kesannya manis aja.
Bima      : “Lo salah, Cung. Lo liat deh bentuk asli stroberi, lo inget-inget bentuknya. Bentuknya sih emang seperti orang-orang menggambarkan hati ya. Padahal hati aja bentuknya gak seperti itu. Kulitnya stroberi,Cung. Kulit stroberi ada gak sih yang mulus? Gak ada, Cung. Pasti permukaannya gak halus ataupun mulus. Ya, kan? Sama kayak kisah percintaan gue, Cung. Gue sejak dulu sampai sekarang hanya jatuh cinta sama satu orang cewek. Tapi hampir setiap hari kalau gue lagi stalking twitter dia, gue selalu melihat dia lagi asik saling balas mention sama pacarnya.” (seraya mencaplok roti bakar stroberi miliknya)
Ika          : (menyimak tanpa sedikit pun mencolek roti bakar dihadapannya)
Bima      : “Jangan terlalu serius gitu lah, nanti dengan gampang lo nebak gue jatuh cinta sama siapa. Makanlah itu roti bakar kesukaan lo.”
Ika          : “Suka-suka gue lah, Tak. Tapi iya deh sayang juga ini roti.”
Bima      : “Gue lanjut ya.” (mengambil sepotong roti dengan garpunya lalu dimakan) “Itu lah gambaran percintaan gue dari kulitnya stroberi. Gak mulus. Setiap kali gue harus merasa putus asa karena sang cewek ini udah ada yang punya, setiap itu juga gue terus-menerus jatuh cinta sama dia. Artinya stroberi walaupun dari luarnya udah gak mulus gitu, tapi bagi sebagian orang stroberi itu selalu membuat pengen nambah lagi, Cung.”
Ika          : “Iya juga sih.” (menyuap sepotong roti bakar)
Bima      : “Selanjutnya nih, kalau lo belah itu stroberi menjadi dua, stroberi itu gak akan bisa berdiri sempurna. Dengan mudahnya dia akan jatuh, karena stroberi gak punya tumpuan di bawahnya, kan bawahnya lancip.”
Ika          : “Tapi gak cuma stroberi aja tuh, Tak. Buah-buahan lainnya juga.” (sewot)
Bima      : “Lo mau denger teori gue tentang stroberi dan cinta gak? Bawel banget lo kayak ikan.”
Ika          : “Ba…”
Bima      : (menyela) “Heh nama lo aja udah Ikan ya?”
Ika          : “Ika, Botak!” (menarik hidung Bima)
Bima      : “Heh! Kebiasaan gue ke elo tuh. Udah ah, gue mau lanjut nih.”
Ika          : “Iya, sayaaaang.”
Bima      : “Indahnya dipanggil sayang sama kamu.” (tersenyum manis) “lanjut ya. Dengan penjelasan gue yang tadi. Cinta gue ke dia tuh seperti separuh dari stroberi, masih suka rapuh dan gak mampu bertahan kalau yang separuh lagi gak bersatu sama gue. Dan satu lagi, stroberi itu rasanya asem tau. Asem banget malah. Ya sama tuh balik lagi sama kisah cinta gue. Asem banget. Setiap hari gue harus liat cewek yang gue sayang harus sayang-sayangan sama orang lain. Dan bahkan ketika gue bertemu langsung atau lagi jalan berdua sama dia nih ya, dia sering banget tuh membanggakan pacarnya. Syukurnya sih dia gak pernah bawa pacarnya ketemu sama gue. Kalau sampai itu terjadi, mungkin mau gue bunuh aja itu pacarnya.”
Ika          : “Kok lo jahat banget sih? Harusnya lo bisa nerimain dong kalau emang cewek yang lo sayang itu punya pacar. Kan cinta tak harus memiliki, Tak. Dan kalau emang lo yakin sama itu cewek, jodoh mah gak akan kemana, Tak.”
Bima      : “Nah! Itu dia. Gue yakin sama kalimat itu ketika gue makan roti bakar rasa stroberi ini. Gue selalu menyadari kisah ini dan gue bisa menerima semua kenyataan ketika gue juga menyadari bagaimana stroberi itu sendiri. Yaa sedikit untuk memberi gambaran supaya hati gue tenang lah. Kalau lo gimana sama coklat lo?”
Ika          : “Ya itu, manis, romantis. Kan kalau sekarang tuh cowok mengungkapkan rasa sayangnya tuh banyak yang pakai coklat ya. Ya begitu, sama kayak dia. Selalu seperti itu.”
Bima      : “Manis. Romantis. Coklat.” (dengan nada meledek) “Asal kamu tau ya Mancung. Coklat itu kalau gak ditambah gula atau pemanis, coklat tetap saja coklat yang pahit. Harusnya lo menyadari, coklat yang menurut lo manis dan romantis itu udah diolah dengan berbagai cara untuk menutupi aslinya. Gue rasa juga sama kayak lo, lo beranggapan kalau cinta lo itu selalu manis, padahal cinta lo itu pahit. Lo bilang manis karena udah lo kasih pemanis aja. Dan semua itu ya seperti kebohongan aja gitu. Warnanya aja udah gelap, kan gak bagus. Harusnya cinta itu diibaratkan sama yang cerah-cerah dong.”
Ika          : “Bim, gue dari tadi sabar loh denger teori lo yang sebenernya menurut gue cuma menutupi diri lo yang patah hati aja karena gak bisa dapetin apa yang lo mau. Kenapa gak lo coba roti bakar stroberi lo diganti sama rasa lain? Yang pasti jangan rasa coklat juga. Karena gue yakin, di mata lo, entah itu coklat entah itu stroberi, gak akan berarti baik juga.” (Ika mulai naik pitam)
Bima      : “Santai dulu dong, Cung. Kok lo sensi banget sih? Gue pikir lo dengan mudah menebak semua pengibaratan gue itu. Dan lo gak perlu marah begitu mendengar semua penjelasan gue.”
Ika          : “Tapi gue gak suka sama penjelasan lo yang menganggap percintaan gue itu adalah sebuah kebohongan. Sama seperti teori lo yang sama sekali gak masuk akal.”
Bima      : (menaikkan alis kanannya)
Ika          : “Kalau lo masih beranggapan seperti itu, kenapa gak kita coba aja tuker. Lo coklat dan gue stroberi, biar lo tau arti coklat itu apa setelah lo merasakannya. Karena sejauh yang gue tau, teori lo tentang coklat gak berdasarkan apa yang lo rasain dengan lidah lo. Lo hanya menilainya dari jauh aja.”
Bima      : “Bener? Lo mau kita tukeran?”
Ika          : “Iya. Nih!” (menyodorkan sisa roti bakar rasa coklatnya)
Bima      : “Oke. Gue makan ya yang ini. Dan lo makan yang itu.”
Ika          : “Oke.”
(setelah melalui beberapa potong roti bakar)
Ika          : (terdiam dan kemudian menoleh ke Bima)
Bima      : “Kenapa?”
Ika          : “Gue baru menyadari maksud dari teori asal lo itu. Bukan itu maksud lo menjelaskan semua itu. Tapi…”
Bima      : “Maaf gue gak segentle cowok lo.”
Ika          : (mengerutkan kening)

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...