Bima : “Udah lama
ya kita gak jalan berdua gini?!”
Ika : (tertawa
kecil) “Iya, Tak.”
Bima : “Setelah
kita jalan seharian begini, baru ini kamu panggil aku dengan sebutan ‘tak’.
Padahal kan aku udah gak botak.” (Ia tersenyum membalas)
Ika : “Setelah
kita jalan seharian begini, baru ini lo mengucapkan kata kamu dan aku di antara
percakapan kita.” (Menarik bibir ke arah kanan)
Bima : (tertawa
kecil) “Bu, roti bakar isi stroberi satu ya.”
Ika : “Gue”
Bima : (menyelak)
“Roti bakar coklatnya satu, Bu.”
Ika : “Masih
inget aja deh lo rasa kesukaan gue.”
Bima : (melirik ke
arah Ika) (tersenyum) “Yang coklat rotinya jangan gosong, tapi kering ya, Bu.
Terus jangan pakai pinggirannya, pinggirannya di buang aja, Bu.”
Ika : (menatap
Bima) (tersenyum) “Lo benar-benar masih ingat selera gue.”
Bima : “Minumnya
es teh manis aja. Dua ya, Bu. Gulanya sedikit aja.”
Ika :
(menunduk) (menarik nafas kemudian dihembuskan) “Setelah kita dekat, sering
jalan bareng dulu, sering makan roti bakar, gue gak pernah tau alesan lo milih
roti bakar rasa stroberi. Lo mau kasih tau gak? Gue sedikit kepo nih.”
Bima : “Yakin mau
tau?” (menaikkan alis kanannya)
Ika : “Iya,
itu juga kalau lo bersedia sih. Habisnya gue agak bingung aja sih. Mind set
tentang stroberi itu kan identik dengan kefeminiman perempuan. Atau
jangan-jangan lo ini jiwanya perempuan ya?”
Bima : (menatap
mata Ika kemudian mendekatkan wajahnya) “Selama kita dekat, selama kita sering
jalan bareng dulu, selama kita makan roti bakar, apa pernah lo liat gue
bergelagat seperti perempuan?”
Ika : “E…
eng.. eng.. engga…” (mengedipkan mata) “Udah ah, jangan lagi-lagi lo menatap
mata gue kayak tadi!” (mendorong wajah Bima agar menjauh)
Bima : “Loh?
Kenapa? Bukannya dulu lo biasa aja kalau kita berbicara dengan jarak wajah kita
yang tidak jauh gitu?”
Ika : “Itu
kapan? Itu dulu kan? Sekarang udah gak lagi!”
Bima : “Sekarang
pun iya. Lo aja yang menutupi itu semua.”
Ika : “Engga!
Sekarang pun engga, Tak ! Hanya pacar gue aja yang boleh menatap gue kayak
gitu.”
Bima : “Loh kenapa
memangnya?”
Ika : “Ya
karena dia pacar gue. Orang yang gue sayang, orang yang selalu buat gue
bahagia, orang yang selalu ada buat gue, orang yang selalu hadir di mimpi gue,
orang yang selalu perhatian sama gue.”
Bima : “Oh, iya
ya? Hm… hebat ya dia? Bisa buat lo seperti ini. Bisa dapetin tatapan dari mata
lo yang indah itu. Kapan nih lo mau kenalin gue sama dia?”
Ika : “Not
right now. Kita tunggu waktu yang pas buat kalian ketemu. Nanti kalau dia ada
di Bandung ya, kalau dia lagi liburan semester.”
Bima : “Oke. Gue
tunggu saat itu. Oyah, semanis apa sih kalian?”
Ika : “Semanis…”
(Roti bakar itu pun hadir di hadapan Ika dan Bima)
Ika : “Semanis
roti bakar coklat ini. Semua berjalan dengan keromantisan dan ya sweet lah
gitu. Sesuai dengan keinginan kita berdua. Selalu bahagia dan penuh dengan
hal-hal yang manis lah.”
Bima : “Wah keren
yah. Sukses deh buat kalian berdua.”
Ika : “Kalau
lo gimana, Tak?”
Bima : “Kalau gue
kayak roti bakar rasa stroberi ini.”
Ika : “Eh
tunggu dulu. Sejak kapan lo punya pacar, Tak? Gue gak pernah tau kalau lo
jadian sama cewek. Kok lo gak pernah cerita sama gue sih?”
Bima : “Kata siapa
gue punya pacar? Gue single, gue available.”
Ika :
(tertawa) “Kan bener. Terus maksud lo tentang roti bakar rasa stroberi yang lo
pilih itu apa? Kan? Lo kan kayak apaan tuh? Punya kisah cinta kayak stroberi
tapi lo gak punya cewek. Mungkin lo punyanya cowok kali ya? Nahloh!”
Bima : (mengusap
kepala Ika) “Dengerin gue ngomong dulu dong,Cung!”
Ika : “Ha?
Cung? Mancung maksud lo? Akhirnya lo manggil gue dengan sebutan mancung lagi.”
Bima : “Iya ,
Mancung. Itu panggilan special gue buat lo.”
Ika : “Terima
kasih, Botaaaaak. Lanjutlah sama cerita lo.”
Bima : “Siapa yang
mau cerita?”
Ika : “Lo lah
tadi. Kan tadi lo udah mau mulai membahas tentang pilihan rasa stroberi lo itu
tuh.”
Bima : “Apa yang
lo pikirin tentang stroberi? Apa yang ada di pikiran lo kalau lo dengar kata
stroberi?”
Ika :
“Stroberi ya? Hmm… yang tadi gue bilang. Identik sama cewek, feminim, lembut,
manis gitu deh.”
Bima : “Nah,
maksud dari manis itu apa?”
Ika : “Ya karena
menunjukan kefeminiman jadi kesannya manis aja.
Bima : “Lo salah,
Cung. Lo liat deh bentuk asli stroberi, lo inget-inget bentuknya. Bentuknya sih
emang seperti orang-orang menggambarkan hati ya. Padahal hati aja bentuknya gak
seperti itu. Kulitnya stroberi,Cung. Kulit stroberi ada gak sih yang mulus? Gak
ada, Cung. Pasti permukaannya gak halus ataupun mulus. Ya, kan? Sama kayak
kisah percintaan gue, Cung. Gue sejak dulu sampai sekarang hanya jatuh cinta
sama satu orang cewek. Tapi hampir setiap hari kalau gue lagi stalking twitter
dia, gue selalu melihat dia lagi asik saling balas mention sama pacarnya.”
(seraya mencaplok roti bakar stroberi miliknya)
Ika :
(menyimak tanpa sedikit pun mencolek roti bakar dihadapannya)
Bima : “Jangan
terlalu serius gitu lah, nanti dengan gampang lo nebak gue jatuh cinta sama
siapa. Makanlah itu roti bakar kesukaan lo.”
Ika :
“Suka-suka gue lah, Tak. Tapi iya deh sayang juga ini roti.”
Bima : “Gue lanjut
ya.” (mengambil sepotong roti dengan garpunya lalu dimakan) “Itu lah gambaran
percintaan gue dari kulitnya stroberi. Gak mulus. Setiap kali gue harus merasa
putus asa karena sang cewek ini udah ada yang punya, setiap itu juga gue
terus-menerus jatuh cinta sama dia. Artinya stroberi walaupun dari luarnya udah
gak mulus gitu, tapi bagi sebagian orang stroberi itu selalu membuat pengen
nambah lagi, Cung.”
Ika : “Iya
juga sih.” (menyuap sepotong roti bakar)
Bima :
“Selanjutnya nih, kalau lo belah itu stroberi menjadi dua, stroberi itu gak
akan bisa berdiri sempurna. Dengan mudahnya dia akan jatuh, karena stroberi gak
punya tumpuan di bawahnya, kan bawahnya lancip.”
Ika : “Tapi
gak cuma stroberi aja tuh, Tak. Buah-buahan lainnya juga.” (sewot)
Bima : “Lo mau
denger teori gue tentang stroberi dan cinta gak? Bawel banget lo kayak ikan.”
Ika : “Ba…”
Bima : (menyela)
“Heh nama lo aja udah Ikan ya?”
Ika : “Ika,
Botak!” (menarik hidung Bima)
Bima : “Heh!
Kebiasaan gue ke elo tuh. Udah ah, gue mau lanjut nih.”
Ika : “Iya,
sayaaaang.”
Bima : “Indahnya
dipanggil sayang sama kamu.” (tersenyum manis) “lanjut ya. Dengan penjelasan
gue yang tadi. Cinta gue ke dia tuh seperti separuh dari stroberi, masih suka
rapuh dan gak mampu bertahan kalau yang separuh lagi gak bersatu sama gue. Dan
satu lagi, stroberi itu rasanya asem tau. Asem banget malah. Ya sama tuh balik
lagi sama kisah cinta gue. Asem banget. Setiap hari gue harus liat cewek yang
gue sayang harus sayang-sayangan sama orang lain. Dan bahkan ketika gue bertemu
langsung atau lagi jalan berdua sama dia nih ya, dia sering banget tuh
membanggakan pacarnya. Syukurnya sih dia gak pernah bawa pacarnya ketemu sama
gue. Kalau sampai itu terjadi, mungkin mau gue bunuh aja itu pacarnya.”
Ika : “Kok lo
jahat banget sih? Harusnya lo bisa nerimain dong kalau emang cewek yang lo sayang
itu punya pacar. Kan cinta tak harus memiliki, Tak. Dan kalau emang lo yakin
sama itu cewek, jodoh mah gak akan kemana, Tak.”
Bima : “Nah! Itu
dia. Gue yakin sama kalimat itu ketika gue makan roti bakar rasa stroberi ini.
Gue selalu menyadari kisah ini dan gue bisa menerima semua kenyataan ketika gue
juga menyadari bagaimana stroberi itu sendiri. Yaa sedikit untuk memberi
gambaran supaya hati gue tenang lah. Kalau lo gimana sama coklat lo?”
Ika : “Ya itu,
manis, romantis. Kan kalau sekarang tuh cowok mengungkapkan rasa sayangnya tuh
banyak yang pakai coklat ya. Ya begitu, sama kayak dia. Selalu seperti itu.”
Bima : “Manis.
Romantis. Coklat.” (dengan nada meledek) “Asal kamu tau ya Mancung. Coklat itu
kalau gak ditambah gula atau pemanis, coklat tetap saja coklat yang pahit.
Harusnya lo menyadari, coklat yang menurut lo manis dan romantis itu udah
diolah dengan berbagai cara untuk menutupi aslinya. Gue rasa juga sama kayak
lo, lo beranggapan kalau cinta lo itu selalu manis, padahal cinta lo itu pahit.
Lo bilang manis karena udah lo kasih pemanis aja. Dan semua itu ya seperti
kebohongan aja gitu. Warnanya aja udah gelap, kan gak bagus. Harusnya cinta itu
diibaratkan sama yang cerah-cerah dong.”
Ika : “Bim,
gue dari tadi sabar loh denger teori lo yang sebenernya menurut gue cuma
menutupi diri lo yang patah hati aja karena gak bisa dapetin apa yang lo mau.
Kenapa gak lo coba roti bakar stroberi lo diganti sama rasa lain? Yang pasti
jangan rasa coklat juga. Karena gue yakin, di mata lo, entah itu coklat entah itu
stroberi, gak akan berarti baik juga.” (Ika mulai naik pitam)
Bima : “Santai
dulu dong, Cung. Kok lo sensi banget sih? Gue pikir lo dengan mudah menebak
semua pengibaratan gue itu. Dan lo gak perlu marah begitu mendengar semua
penjelasan gue.”
Ika : “Tapi
gue gak suka sama penjelasan lo yang menganggap percintaan gue itu adalah
sebuah kebohongan. Sama seperti teori lo yang sama sekali gak masuk akal.”
Bima : (menaikkan
alis kanannya)
Ika : “Kalau
lo masih beranggapan seperti itu, kenapa gak kita coba aja tuker. Lo coklat dan
gue stroberi, biar lo tau arti coklat itu apa setelah lo merasakannya. Karena
sejauh yang gue tau, teori lo tentang coklat gak berdasarkan apa yang lo rasain
dengan lidah lo. Lo hanya menilainya dari jauh aja.”
Bima : “Bener? Lo
mau kita tukeran?”
Ika : “Iya.
Nih!” (menyodorkan sisa roti bakar rasa coklatnya)
Bima : “Oke. Gue
makan ya yang ini. Dan lo makan yang itu.”
Ika : “Oke.”
(setelah melalui beberapa potong roti bakar)
Ika : (terdiam
dan kemudian menoleh ke Bima)
Bima : “Kenapa?”
Ika : “Gue
baru menyadari maksud dari teori asal lo itu. Bukan itu maksud lo menjelaskan
semua itu. Tapi…”
Bima : “Maaf gue
gak segentle cowok lo.”
Ika :
(mengerutkan kening)