Read Previous Chapter : Dua Puluh Enam Sobekan
Sudah tiga hari aku mengabaikan dus sepatu yang dikirimkan subuh itu. Aku tidak berniat untuk membukanya karena aku tau akan terjadi gejolak di dalam hati yang sudah lama menghilang. Bukanlah perkara yang mudah melupakan kamu, kawan. Apalagi aku harus melewati rumahmu yang berada di samping pasar setiap aku menemani Mama kesana untuk belanja hari-hari. Setiap hari aku masih suka bertemu Bu Wiwid di depan rumahmu dan selalu beliau sedang menyapu halaman depan rumahmu sebelum bekerja. Sementara aku berharap kamu yang kutemui setiap pagi itu. Namun, kesibukanmu kerjalah yang memupuskan harapanku sehingga akhirnya tiga tahun kita lost contact dan tidak sekalipun dapat bertatap muka atau hanya sekedar mencuri pandang. Kemudian, kamu justru tiba-tiba datang ke rumahku dan memberikan dus ini.
Melupakan kamu sangatlah tidak semudah kita kembali berkomunikasi dulu, tidak juga sebanding dengan waktu yang kita habiskan bersama. Aku pun masih bingung sampai detik ini mengapa begitu sulit melupakan cinta sesaat. Mungkin, karena rasa penasaran dalam diriku yang membuatku masih terobsesi denganmu. Mungkin, karena kesalahanku dulu yang membuat aku sendiri merasa kecewa atas hal yang pernah aku lakukan dengan kamu. Mungkin, karena aku masih sering lewat depan rumahmu dan memanggil Mama kamu dengan sebutan "Ibu". Mungkin dan dengan segala kemungkinan.
Jatuh cinta. Apa mungkin memang aku sangat mencintaimu dengan waktu sekejab? Apa mungkin aku jatuh cinta hanya karena kamu kembalikan memori jaman kecil? Apa mungkin aku jatuh cinta karena memang rupamu yang rupawan? Apa mungkin aku jatuh cinta karena memang aku tau benar bagaimana Mama kamu mengharapkan aku sebagai menantunya? Apa mungkin?
Tiga tahun tidak sebentar, kawan. Setiap malam selama 6 bulan, 17 hari, aku membuka twittermu hanya untuk mengetahui perkembangan hidupmu. Setiap saat selama 1 tahun 2 bulan 14 hari, aku membuka facebookmu untuk mengetahui apakah kamu sudah memiliki yang lain lagi? Juga setiap pagi di hari Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu, Minggu, aku harus menengok ke dalam rumahmu untuk mengetahui sedang apa kamu di dalam sana.
Sekarang, kamu datang? Aku sudah memudarkan setiap inci bayanganmu dari benakku. Aku sudah tidak lagi membuka seluruh akun media sosialmu dan mengabaikan seluruh perkembangan di hidupmu. Aku sudah memulai menata hidupku lagi, hatiku lagi, pikiranku lagi, hanya agar aku tidak berhenti di kamu. Aku sudah memutuskan bahwa memang dia, orang lain setelah kamu, yang bisa menggantikanmu. Kamu perlu tau, kawan. Itu tidak mudah.
Dua hari setelah aku memutuskan untuk kembali bangkit dan tidak lagi membuka akun facebookmu, aku berkenalan dengan laki-laki lain. Dia karyawan lain di perusahaan yang memakai gedung tempatku bekerja. Dia lebih tua dari kamu, lebih matang sepertinya, dan kurasa dia lebih dewasa, kata Mama pun dia lebih baik dari kamu. Menoleh ke dia tidak mudah, kawan. Aku harus memasang tameng berupa muka jutekku selama 7 bulan lebih. Aku menjaga jarak dengan dia. Tapi, ingat kawan. Hidup itu adalah sebuah pertarungan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Dan, dia bisa dengan tegar untuk bertarung melawan kejutekanku. Tapi, apa memang dia orangnya? Aku masih membisu untuk hal ini.
Bersambung...
Melihat apa yang dilihat. Memikirkan apa yang terlintas. Menulis apa yang ingin ditulis.
Langganan:
Postingan (Atom)
Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV
Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...
-
Contoh dialog MAKING REQUEST jangan lupa mampir ke -> http://mymudarsih.blogspot.com/search/label/CERPEN yaaa (´ ⌣ `ʃƪ) thank youuu...
-
S a t u d a ri se j u t a c e r i t a Guys, gue pernah ngebahas kan tentang kelas yang pernah gue singgahin di SMA ini. Yaa .. yang gu...
-
Ass. Yang terhormat Ibu kepala sekolah, Yang terhormat Bapak/Ibu guru panitia pendamping acara pelepasan kelas XII tahun 2010/2011. serta...