Sabtu, 23 Maret 2013

Tentang Mimpi Yang Tertunda

Mimpi itu tidak pergi. Mimpi itu tidak pernah terlupakan. Mimpi itu tidak sekali pun tergantikan.
Walau banyak kegagalan yang saya alami dalam proses meraih mimpi itu. Saya tidak sekali pun menyerah atas apa yang terjadi. Semua itu masih tertata rapih di otak. Dan saya sedang mencoba mencari jalan keluar terbaik yang akan saya pilih untuk meraih mimpi itu.
Mimpi saya untuk satu hal itu tidak akan pernah terhapus oleh keadaan bahagia dan nyaman yang saya rasakan sekarang. Saya beranggapan dan akan selalu beranggapan, mimpi itu hanya tertunda. Bukan sekarang waktu yang tepat merasakan indahnya mencapai impian. Karena semua mimpi itu perlu pengorbanan bukan?
Mimpi itu adalah awal menuju planning hidup saya selanjutnya. Dan saya, bukan orang yang lemah untuk menyerah. Mimpi, tunggu saya di hadapan anda. (ˇʃƪˇ)

Menunggu

Menunggu. Bagi sebagian orang mungkin hal itu adalah sesuatu yang tak ingin ditemuinya. Mungkin tidak hanya sebagian orang, hampir semua orang tepatnya. Alasannya sama, karena menunggu itu melelahkan. Membosankan. Karena ketika mereka menunggu, mereka hanya mampu berdiam diri, tak banyak yang dilakukan selain berputar pada titik tertentu untuk kembali ke titik awal. Memetikkan jari atau menggerakan kakinya untuk mencoba berusaha membunuh waktu sedikit demi sedikit agar apa yang ditunggunya kembali.
Jika menunggu bagi mereka itu adalah musuh, tetapi bagiku, menunggu adalah satu hal yang memang paling berjalan setia di sampingku. Begini pikirku, dari sebelum kita dilahirkan atau ditiupkan ruhnya, kita pun sudah menunggu. Menunggu untuk segera diberikan jasad. Lalu kita menunggu untuk berkembang dalam kandungan. Yang kemudian kita pun menunggu untuk dilahirkan. Dan terus menerus setiap waktu yang terlewati hanyalah untuk menunggu. Bahkan sampai kita menunggu Tuhan mengambil kembali kita ke pangkuan-Nya.
Seperti biasanya, menunggu dalam caraku ini sedikit ku buat agar lebih nyaman. Dimana aku tidak perlu merasa bosan dan emosi jika larut. Dalam persepsiku tentang menunggu, kata Dina, orang yang sudah bersamaku selama 15 tahun ini, aku adalah orang yang paling sabar.
Ya contohnya saat ini, sudah dua jam aku duduk di bangku depan kelas, seperti biasa, cukup dengan buku tentang musik dan earphone yang terpasang rapih di telinga, juga lagu yang diputar dengan volume maksimal. Sama sekali aku gak pernah merasakan bosan. Satu-satunya hal yang dapat membuatku merasa bosan hanyalah novel.
Menyebalkan bukan ? Aku menyukai musik, sangat menyukainya sebagaimana aku menyukai kata 'menunggu' dan segala ruang lingkupnya. Tapi kalau cerita fiktif, itu ancaman dan mungkin sampah bagiku. Entahlah, manusia punya pilihannya sendiri, bukan?
Aku tidak pernah mengenakan jam tangan. Kakiku dan jariku hanya bergerak untuk setiap detakkan pada tempo-tempo yang teratur. Mataku tidak akan mencoba melirak-lirik apapun selain tiap kata pada tiap baris dalam buku yang memang selalu menjadi pilihanku.
Tampilanku aneh untuk seorang wanita yang baru beranjak umur 22 tahun. Feminim, tapi berbeda ketika aku mulai melontarkan kata-kata. Raja bilang sih, itulah alasan dia memilihku untuk menjadi perempuan di hatinya.
Raja ? Ini dia salah satu alasan lain kalau aku suka menunggu. Dia adalah salah satu yang aku tunggu selama ini.
'Rene!' Suaranya itu loh yang memang membuatku dapat merasakannya merasuk di sela earphone.
'Raja?' Kemudian ku lepaskanlah earphone ini, hanya untuk mendengar suaranya yang jauh lebih jelas dan indah.
'Maaf ya, Ren. Aku jadi buat kamu nunggu gini.'
'Gak apa-apa kok, sayang. Yuk langsung cabut aja'
Kami sama-sama menyukai musik, kami pun bertemu di studio musik di kampus ini. Kami berdua mahasiswa S1 jurusan Seni Musik. Ini semester terakhir kami, maka dari itu kami sedang rajin-rajinnya menyusun skripsi.
Siang ini, kami berencana untuk pergi ke Perpustakaan Nasional, dengan tujuan utama untuk mencari referensi skripsi. Hebat yah? Pacaran sehat mungkin.
'Atas nama siapa?'
'Renesha Rafidatul Raja' mataku melirik Raja.
'Kamu yaa!' Dimainkannya tangan di rambut ini.
'Ini kartunya kak, silahkan.'
'Terima Kasih, Kak.'
Aku berjalan menyelusuri tiap susun buku yang tertata rapih dalam raknya. Seperti hidupku yang tertata rapih dalam rncana Tuhan.
'Renesha Rafidatul Raja. 3R. Wow' katanya seperti kagum.
'Apaan sih kamu itu? Nama doang saja dipermasalahin deh.'
'Aku penasaran sama nama Rafidatul itu. Kenapa harus Rafidatul?'
'Emangnya kenapa? Ada masalah sama nama itu?'
'Enggalah, aneh aja. Dua tahun aku pacaran sama kamu. Dan setiap aku jalan dan kalau ada hal yang kayak gini, kamu terus aja pakai nama Renesha Rafidatul Raja.'
'Aku juga gak tau si kenapa aku keingetan terus dan begitu senengnya sama nama itu. Mungkin suatu saat nanti itu bisa jadi nama anak kita.'
'Anak? Lulus dulu deh.'
Aku tertawa kecil, 'itu si pasti sayang' ku cubit pipinya yang sangat tidak gembul itu. Agak membingungkan sepertinya. Dari pada aku tarik hidungnya, agak membuatku kesal malah. Hidungnya itu sudah sangat mancung, jadi tak perlu lah ditarik lagi.
--
Kembali, menunggu. Ini sudah lebih dari 2 jam aku duduk di cafe tempat janjian dengan Raja. Hebatnya pria kurus tinggi itu memecahkan rekor telatnya. Tapi seperti biasa, musiklopedia dan earphone sangat setia.
Rupanya, matahari sudah tenggelam sejak setengah jam yang lalu. Tapi aku baru saja menyadarinya. Aku coba meraih Iphone ku untuk mencoba menelponnya. Karena ku tahu, Raja tak akan membaca pesan singkatnya. Aku sudah hampir selesai untuk satu bab skripsi ini, tapi dia? Belum ada setengahnya. Kacau memang.
'Gimana sih, Raja? Kok tumbenan dia gak inget sama tugasnya. Ampun deh' gerutuku selagi sibuk mengetik.
'Permisi, apakah Mba yang bernama Renesha Audiya ?'
'Iya, ada apa ya?'
'Ini ada pesan dari temannya yang bernama Raja.'
'Kapan Raja kesini, Mas?'
'Tadi siang, pas jam makan siang. Katanya saya kasihkan pesan ini ke Mba kalau sampai maghrib Raja tidak kembali.'
Aku mengerutkan keningku kebingungan, 'Ngapain Raja kayak gini ya?' Aku terdiam sejenak, 'oh yauda Mas, sini aja pesannya. Dan... Terima kasih ya'
'Iya, sama-sama'
'Apa-apaan sih Raja ngasih pesan kayak gini? Zaman udah canggih, udah ada line, twitter, whats app, skype, masih aja pakai surat-suratan' sewotku seraya membuka lipatan kertas itu. 'Rene, maaf ya aku gak bisa dateng. Tadi pagi aku kena alergi. Kulit aku merah-merah, terus aku gak enak aja. Aku mau hubungin kamu tp handphoneku ilang. Jadinya aku berniat ke cafe ini, terus nulis pesan ini buat kamu. Aku pikir mungkin nanti sore aku bisa sembuh. Tapi ternyata aku gak dateng-dateng karna aku belum membaik. Maaf ya Rene.'
'Raja! Sakit kok begini caranya sih? Nyebelin banget. Yasudahlah, lebih baik aku ke rumahnya aja. Mas! Bill nya dong. Dan ini uangnya' kemudian aku pergi.
--
'Permisi...' Teriakku di depan pintu rumah Raja dan kemudian seorang wanita tua tapi cantik itu keluar. 'Tante, Rajanya dimana ya? Rene mau ketemu dong.'
'Rajanya di kamar, Ren. Ke kamar aja'
'Oh iya, Tante. Thanks ya Tan.'
Dan aku berjalan bersama Tante Eva, Ibu dari Raja.
'Tan, Raja alergi dari kapan? Kok bisa si? Terus...' Aku memperhatikan penampilan Tante Eva.
'Terus kenapa sayang?'
'Kok Tante dandanannya...' Aku berpikir,'oh engga Tante, mungkin Tante abis anter Raja terus belum ganti pakaian kali ya.' Tante Eva hanya tersenyum.
'Yauda Ren, masuk aja ke kamar. Rajanya sedang tiduran aja dari tadi'
'Oh iya Tante.' Aku membuka pintu kamar Raja. Kamarnya yang tidak begitu besar dan sangat hangat itu tampak gelap. Lampu kamarnya tidak dinyalakan, oleh karena itulah langkah pertamaku mencari tombol untuk menyalakan lampu.
'Raja, kamu gak kepanasan? Udah sehangat ini, kamu masih selimutan?' Aku mendekatinya yang terbaring di tempat tidur.
'Engga kok' jawabnya singkat dari dalam selimut. Seluruh badannya ditutupi selimut, bahkan wajahnya pun tertutup. Nampaknya, keadaan Raja sangat kacau. Aku agak bingung, pada akhirnya aku putuskan untuk mengambil air putih dan obat alerginya untuk dapat ia minum segera. Karena tadi Tante Eva sempat menyuruhku untuk memberikan Raja obat alerginya. Ku ambil semua itu di meja belajarnya yang berada lurus dari hadapan tempat tidur Raja.
Ketika aku mengambil gelas air putih itu, aku melihat ada lembar foto yang disana itu terdapat foto Raja dengan seorang perempuan cantik yang lebih muda dariku. Gayanya yang mesra membuatku sedikit naik pitam.
Aku berbalik, 'Raja, ini foto sia...'
'Rene' ia berlutut di hadapanku, 'Renesa Audiya, aku Raja, memintamu untuk menjadi pendamping hidupku, selamanya. Sudikah kamu menerimanya?'
Mataku tertatap penuh padanya, mulai berkaca dan terus berair. 'Raja?' Aku hapus tetesan pertama itu, 'Aku mau menerima kamu.' Dan kemudian ia memelukku begitu erat. 'Tapi, ini foto siapa Raja?'
'Itu... Rafidatul. Dia... Adik perempuan aku. Aku emang gak pernah cerita sama kamu. Karena sudah 5 tahun kami ditinggalkannya pergi menghadap Tuhan lebih dulu. Maka dari itu aku agak sedikit kesal kalau kamu memakai namanya terus. Aku juga agak curiga kenapa kamu selalu memakai namanya. Yang padahal tidak ada yang tau mengenai Rafi. Kami menyayanginya, tapi Tuhan lebih sayang padanya.'
Itulah, kita hidup di dunia ini untuk menunggu. Menunggu yang menyayangi kita untuk mengambil kita dari semua kebahagiaan sementara ini. Dan aku, baru sampai di titik penungguan menuju jalan hidup berpasangan.

Dalam

Pagi itu sepertinya biasa saja. Tapi lihat, dengar, dan perhatikan baik-baik.
'Percaya gak kalo Fajri itu bisa selingkuh?' Tanya Maya ke dua orang teman sekelasnya yang memang sering menjadi teman curhatnya.
'Engga' jawab mereka serentak.
'Bisa!' Tegasnya, 'lima menit lagi kelas bubar, waktunya makan siang. Lo liat siapa yang Fajri ajak makan siang. Gue atau cewek lain.'
Dua perempuan itu mengerutkan keningnya. 'Ketika Dosen bilang kelas hari ini cukup. Jangan sekalipun lo berdua alihin perhatian secara langsung ke Fajri. Tetap dalam kondisi menghadap ke depan kelas. Oke' intruksi Maya jelas sehingga Tami dan Ivana menganggukkan kepalanya.
Waktu berjalan lima menit dengan mudah.
'Baiklah, kelas hari ini cukup. Terima kasih atas partisipasinya. Kita ketemu minggu depan' ucap dosen mata kuliah manajemen keuangan.
Kami bertiga menjaga fokus, tidak berusaha menoleh ke arah Fajri yang berada di arah jam 4. Kami serempak membuka pendengaran untuk lebih mendengar kata-kata apa yang akan keluar dari mulut Fajri.
Nampaknya ia mulai beranjak dari bangkunya, berjalan menuju bangku yang berada di arah jam 2 dari posisi Maya.
'Vena, mau makan apa? Janjinya semalem mau makan nasi goreng yang di kantin sana ya? Yuk mau gak ?' Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Fajri, kata-kata yang sedari tadi kami tunggu.
Tami dan Ivana saling menatap Maya yang duduk di antara mereka. Dan Maya hanya terlihat menunduk dan tersenyum sinis.
Tak lama dari kepergian Fajri bersama Vena, Tami dan Ivana terlihat menggoyakkan tubuh Maya yang saat itu hanya terdiam mematung.
'May, mungkin itu cuma biasa aja. Gak ada maksud apa-apa. Mereka kan emang deket.' Kata Ivana menenangkan Maya. Maya tersenyum dan menunjukkan mimik sinis lalu berkata, 'lima menit lagi kita turun. Kita ke kantin tempat Fajri ngajak Vena tadi. Kita akan lewat meja tempat mereka makan. Gak perlu menegor. Hanya lewat. Lo lirik ke arah Fajri. Kalau dia lagi bercanda sedari kita masuk kantin dan ketika kita lewat dia melirik ke arah kita. Tandanya itu hanya untuk membuat gue cemburu atau gak ada arti apa-apa dari itu semua. Dan kalau ketika kita masuk kantin mereka sedang bercanda atau berbicara, dan ketika kita lewat, pembicaraan mereka dinaikkan nadanya, itu punya arti sama kayak yang sebelumnya itu. Tapi ketika kita masuk kantin, mereka berbincang, dan pas kita lewat perbincangan itu terdengar seru tapi dengan nada biasa aja. Itu punya arti berbalik, tandanya Fajri memang menjalankan niat untuk...' Belum usai Maya meneruskan, Tami menyelak, 'selingkuh?'. Maya tidak menjawab 'iya' atau 'tidak', ia hanya tertunduk dan tersenyum kecil.
Habis sudah lima menit dan kemudian tiga wanita itu pergi menuju kantin yang disebutkan sebelumnya.
Dari pintu masuk kantin, mereka sudah melihat Fajri dan Vena. Tami dan Ivana mulai memainkan mindsetnya. Berjalanlah mereka menyusuri kantin hingga lewat di depan Fajri dan Vena. Maya hanya menatap lurus ke depan tanpa sesentipun menoleh ke Fajri. Tami dan Ivana lagi-lagi bersamaan menoleh ke Maya yang berada di tengah mereka. Maya tetap pada pandangannya, ke depan dan terus berjalan menuju pintu keluar kantin. Tami dan Ivana saling menggerutu dan tak percaya atas apa yang terjadi baru saja.
Ketika mereka meninggalkan kantin, Ivana mulai bertanya.
'May, lo gak kenapa-kenapa kan?'
'Sangat kenapa-kenapa' Jawab Maya singkat dengan senyuman.
'Lo gak cemburu?' Tanya Tami.
'Banget.'
'Lo gak sedih liat itu semua?' Lanjut Ivana.
'Merintih'
'Lo gak nangis kan ?' Tanya Tami kembali.
'Air mata gue gak bisa menggambarkan perasaan gue'
'Demi Tuhan, kita sama sekali gak nyangka Fajri tega melakukan itu sama lo.'
'Fajri memang misterius' jawab Maya singkat dan kemudian ia terdiam dalam waktu yang lama.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...