Sabtu, 19 April 2014

Apakah itu Pelangi? Atau Gerhana Bulan?

Telah kubiarkan matahari pergi tak lagi menyinari hari ini. Walau tadi sempat kumarahi karena dia terlalu semangat memberiku cahaya tulusnya. Namun, kini kumulai merassakan bahwa aku inginkan dia kembali. bersedia menyinari kota ini dengan kehangatan dan ketulusannya. Tapi, mungkin dia sudah marah padaku. Hingga ia benar-benar menghilang tanpa mau kembali hari ini.

Sudah lama ia pergi dan enggan kembali hari ini. Kemudian ia membiarkan rekannya menghampiri seluruh permukaan di kota. Tetes demi tetes, satu per satu, hingga kemudian menyerbu tanpa henti. Bentangan di atas kepalaku tadi sudah tiga jam terlihat semu gelap. Kegelapan itulah yang menyelimutiku dalam kehangatan secangkir cappucino hangat. Seketika segala rasa dingin dan kehangatan menyambut setiap sisi dalam tubuh ini.

Dari balik benda bening yang memisahkan tetes-tetes itu dengan aku yang duduk di atas bangku seraya menatap bentangan di luar yang paling aku tidak suka. Rasanya saat itu ingin kembali memarahi mereka dan meminta mentari tadi untuk mengembalikan kehangatan. Hanya kehangatan yang aku inginkan saat ini.

Terus-menerus menyeruput. Setengah cangkir cappucino itu sudah berpindah ke dalam perut. Tapi, mereka masih menetes di luar sana. Walaupun kali ini sudah tidak sebanyak tadi. Tetap saja, dingin itu ada.

Kedua bola mata ini masih menatap keluar jendela. Kali ini, ingin aku menggapai bentangan di atas dan membuka sekumpulan benda putih halus di antaranya. Sehingga matahari memberi kehangatan kembali. Sungguh, aku inginkan cahaya tadi, tulus yang bisa membuatku melawannya dengan semangat tadi.

Lama-kelamaan, semua membuatku geram. Jariku tak henti mendetak di atas meja. Kakiku pun tak henti ikut mendetak di atas lantai. Nafasku mulai terengah-engah karena lelah menahan amarah. Kapan semua ini usai?

Ternyata kegelapan itu yang semula semu, kini semakin pekat. Benar saja, sang mentari memang sudah benar-benar murka akibat emosiku tadi. Halah!

Sepertinya aku sedikit bingung mengartikan suasana disini. Di dalam diri maupun di luarnya. Apakah ini sebuah penyesalan? Atau ketidaksukaan terhadap hujan? Sepertinya bukan keduanya, Aku tau ini akan berakhir seperti apa.

Tuh kan, benar saja. Ternyata hujan pun asik. Begitu malam tiba, aku tidak lagi melihat bentangan yang semu tadi. Kali ini benar-benar hitam gelap. Bukan lagi abu-abu. Rasa dingin di luar justru malah membuat kehangatan di dalam. Aneh. Tapi, zona nyaman pun tercipta seketika.

Jari dan kaki berhenti seketika. Aku mulai menyeruput kembali cappucino dari cangkir ketigaku di sore yang sudah berganti malam. Entah seberapa frustasi dan depresi. Entah seberapa bahayanya perempuan mengkonsumsi kopi yang cukup berlebihan. Tapi entahlah, biar semua membunuh dan menghapus kepingan rasa sedih sebelumnya.

Ternyata kenyaman itu indah. Karena aku hanya bisa memeluknya dalam ketenangan. Mencium halusnya sebuah sentuhan dingin. Kedamaian yang emang aku inginkan sejak rintikan tadi menyerbu permukaan. Seperti tertidur dan terbawa ke negeri khayangan. Seperti itulah.

Tapi, harus aku sadari. Aku benci. Kenapa juga aku harus tersadar?! Kenyamanan ini ada dalam zona nyaman yang terselimuti kedinginan dan kegelapan. Bahkan kegelapan itu saja diawali dengan samar-samar sesuatu yang jelas tidak bagus. Apakah kenyamanan itu adalah sebuah pelangi setelah hujan? Ataukah sebuah gerhana bulan? Dimana cahaya matahari yang digantikan oleh bulan, kemudian tertutup dengan sisi gelap dari benda langit lainnya. Sehingga semua terlihat samar.

Untuk hari yang baru, bangunkan aku dari ketidakjelasan ini!

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...