“Dingin banget.” Kalimat pertama
yang aku dengar ketika aku sampai dan berdiri di depan pintu rumah. Ibu yang
sedari tadi duduk menunggu kehadiranku di bangku kayu ruang tamu mengeluhkan
suasana yang hadir. “Apalagi Dini, Bu? Dini baru saja pulang dan kehujanan.
Basah semua baju Dini, pasti dingin banget.” Jawabku membalas perkataan Ibu.
Aku melihat beliau bangkit dari
tempat duduknya dan berjalan menuju dapur. Aku masuk ke rumah dalam keadaan
basah kuyup. Dengan berlari kecil aku menuju ke kamar. Melepas semua pakaian
basah ini dan menggantinya dengan sweater putih dan celana batik favoritku.
Begitu keluar dari kamar, aku melihat Ibu menaruh segelas teh hangat di atas
meja depan televisi. “Ini teh hangatnya, Din.” Ternyata ia baru saja membuatkan
ku segelas teh manis hangat. Mungkin ia merasa perkataanku tadi adalah sebuah
intruksi atau sindiran agar aku dibuatkan teh panas.
“Terima kasih, Ibu.” Aku
memeluknya erat. Aku cium bau tubuhnya yang khas itu membuat aku merasa
bersalah telah mengucapkan kalimat tadi. “Maafin, Dini ya Ibu kalau perkataan
Dini tadi menyinggung.”
“Engga kok, sayang.” Dia membalas
dengan senyuman manisnya yang khusus itu. Aku mengambil segelas teh manis
hangat itu dan membawanya ke dalam kamar. Aku teringat akan satu hal yang
sedang terjadi dalam hati dan pikiranku saat ini. Sedari tadi aku sudah
menyiapkan ide untuk tulisanku selanjutnya.
Ditemani oleh segelas teh hangat
dan beberapa potong kue bolu sisa makan malam tadi, aku memulai mengulang
kembali kejadian beberapa jam yang lalu hingga beberapa menit yang lalu. Seraya
menyeruput teh manis, mataku terbuka lebar menatap layar laptop yang sedang
membuka program Microsoft office 2010. Aku taruh kembali cangkir itu si meja
samping laptop. Tampilan laptop ini pun sudah menunjukkan kesiapannya untuk
kuisikan dengan segala curahan hatiku saat ini.
Sambil mengulas kembali apa yang
sudah terjadi, aku menggigit kue bolu itu. Kemudian, aku memulai.
Beberapa menit lalu aku masih ada
di jalan kampung menuju rumahku. Ditemani tetesan air dari langit yang sudah
dari tadi pagi mengguyur kotaku. Sekitar 500 meter jalan yang ku lalui tadi setelah
aku turun dari angkutan umum. Sepanjang jalan itu, aku tidak berhenti tersenyum
mengingat segala hal yang baru saja terjadi. Rintikan hujan membasahi kepalaku
yang terbalut jilbab berwarna merah muda kala itu. Hingga akhirnya merembas
masuk mengenai kulit kepalaku. Lalu mulai ku rasakan dingin menggerayangi
perjalananku dan aku masih dalam senyuman rasa bahagiaku.
Sesekali aku mendengakkan wajahku
menatap ke langit. Aku bahagia mengingatnya, ketika sekali lagi aku melihat
wajahnya yang tampan itu. Di suasana yang ramai saat itu aku mencuri kesempatan
melihat wajahnya utuh sekali lagi. Mata yang sudah tiga bulan tidak pernah aku
lihat, kini aku kembali dapat melihatnya hanya dengan jarak 15 sentimeter dari
mata ini memandang. Untung saja saat itu ia tidak sedang melihatku atau mau
mengajakku berbincang.
Aku mengingatnya ketika ia
datang. Dari jauh sudah ku lihat awak tubuhnya yang sudah ku hapal sejak lama.
Dari jarak 50 meter aku sudah bisa menebak kalau itu adalah dirinya. Aku
mengingat ketika aku harus menunduk ketika ia berada di hadapanku. Ia
mengulurkan tangannya mengajakku berjabat tangan. Aku meraihnya dengan rasa
grogi. Aku ucapkan kata selamat datang untuk menyambutnya ramah. Aku tarik
tangannya yang sudah ku genggam. Aku ucapkan kalimat penghibur agar aku tidak
terlihat salah tingkah. Kemudian ia duduk di sampingku, membuka jaketnya dan
mulai merapihkan rambutnya. Aku nekat, dorongan adrenalin membuatku membantunya
merapihkan rambut. Aku mengingatnya tersenyum, ketika ia memegang tanganku yang
berada di kepalanya dan membawanya ke depan wajahnya yang kemudian ia kekap
tangan ini dengan kedua tangannya. Aku malu. Aku tarik tangan ini dan
mengeluarkan kalimat ejekkan yang membuat suasana manis di antara kita berdua
ini pecah.
Aku terniang ketika ia berbisik
menanyakan kabarku. Suaranya yang ku dengar sangat dekat itu membuat jantung
ini semakin tidak karuan detakkannya. Aku yakin dia merasakannya. Melalui desah
nafasku yang menutupi rasa cinta. Aku menoleh kepadanya ketika ia mulai
menjauhkan wajahnya. Senyumku lebih tajam ke kanan. Kemudian aku tertunduk.
Melihatnya berbicara dengan Miky mulai mencairkan suasana tegang yang
bergejolak di hatiku. Sesekali ia menoleh ke arahku dan berusaha mengajakku
berbicara. Tanpa banyak pikir, aku menyambut ajakannnya dengan manis.
Aku teringat ketika ia mengajakku
untuk pergi ke musholah dan mengajakku sholat ashar berjamaah. Aku dengan semua
rasa grogiku menerimanya. Kemudian aku berjalan menuju musholah yang berada
pada lantai dasar gedung ini. Berdua, hanya berdua. Keadaan saat itu mendukung
sekali, Miky bukan lah seorang muslim, maka dari itu dia tidak ikut kami menuju
musholah. Di musholah yang kecil itu kami melakukan sholat berjamaah. Hingga
selesai sholat, hanya satu hal yang belum pernah kami lakukan. Mungkin nanti,
yaitu ketika aku mencium tangannya ketika aku sudah selesai dalam semua
kekhusyukkanku menghadap Allah. Tapi kali ini, hanya menoleh kepadaku dan
tersenyum yang dapat ia lakukan, dan aku membalas senyum itu.
Aku terbayang beberapa saat
berlalu setelah itu. Duduk di sampingnya dan
mulai memakan makanan yang sudah 15 menit tadi kami pesan. Nasi goreng
seafood favoritku ketika aku makan di restoran ini membumbui pertemuanku
dengannya. Dan ia, masih dengan menu favoritnya juga, begitu yang ia katakan
dua menit lalu. Tak menyangka, ia kembali mau menyuapiku dengan makanan yang
ada di hadapannya itu. Kembali, setelah satu tahun lalu ia melakukannya di
sekolah kami dulu. Masih dengan alasan yang sama, hanya untuk mencicipi menu
yang ia pesan. Padahal aku pun pernah mencobanya sesekali ketika aku makan
disini.
Aku terhenti pada langkahku yang
sebentar lagi sampai di depan rumah. Aku menunduk, kedua tangannku menyentuh
lututku yang sudah basah terkena air hujan. Senyumku masih terpasang, tak
sedikit pun memudar. Mataku tertutup mencoba mengingat hal-hal indah yang aku
lewati tadi. Nafasku kutarik panjang mengendalikan suasana hati. Air hujan juga
mulai mengenai punggungku dan dingin semakin menjalar di seluruh kulit.
Kembali aku mengingat hal
terakhir yang membuatku tersenyum bahagia. Setelah melalui perbincangan hangat
yang panjang, setelah kita sudah mengulas semua kenangan kita bertiga di masa
sekolah, setelah sepiring dan semangkuk makanan yang kami pesan habis, setelah
Miky bersendawa panjang memecahkan suasana serius, setelah semua rencana yang
kami buat seminggu yang lalu usai dan berakhir, ia bersandar di pundakku dan
mengeluhkan dirinya yang lelah dengan aktivitasnya saat ini. Aku kaget dan
semakin tidak bisa mengontrol dengan baik antara pikiran, hati, dan raga.
Ternyata ia benar-benar menyadarinya dan mencetuskannya begitu saja, membuatku
merasa malu dan sangat bingung harus mengeluarkan kata-kata apa lagi. Wajahku
memucat seketika kata Miky. Tapi kemudian, ia mengeluarkan kalimat penenang, ia
bilang semua tidak masalah, aku hanya terkejut karena ia tiba-tiba bersandar.
Benar-benar menutupi rasa grogiku saat itu.
Luar biasa, ternyata perasaan itu
masih ada. Dan kini aku tersadar. Seraya kembali aku menyeruput teh ini, aku
telah mendustakan diriku sendiri yang kemarin sudah mendeklarasikan di hadapan
dua orang teman baruku jika aku sudah tidak memiliki perasaan apapun
terhadapnya. Semua ini bukan tumbuh kembali, melainkan semakin kuat bersinar
ketika semua terwujud di hadapannya. Ya, aku masih mencintainya.