Minggu, 14 Juli 2013

Buka Bersama The Blue Army 10-11 (13 Juli 2013)

Setelah melalui beberapa sesi pertemuan rapat. Akhirnya berjalan juga acara pembuka dari seluruh agenda OSIS 10-11 pasca lulus dari SMA.







Dan kami, yang dipersatukan dalam sebuah organisasi kecil bersebutkan OSIS SMA Negeri 94 Jakarta Periode 2010-2011, kembali menjalin silaturahmi dengan acara kecil yang Insya Allah bisa membawa kami menuju acara-acara selanjutnya yang selalu membuat tali persaudaraan ini tidak pernah putus. Amin.



Buka Bersama OSIS 2010-2011 , Sabtu 13 Juli 2013
at Fadhly's House present :
☑Eka Puja Darmawan @eka_pudja
☑Rizky Aditya Midjil Pamungkas @dityoMidjil
☑Syarifah Mudarsih @syarifahmu
☑Dendy Dwi Gandra @dendygandra
☑Bachtiar Hidayat @tiarthird
☑Nur Syarafina Dini @syarafinaaka
☑Ahmad Baidowi
☑Palupy Aprilianita Handinny @dinnyCP
☑Redina Dhitamaya @RedinaD
☑Intan Fitriana @fitriianaa
☑Muhammad Fadhly
☑Adi Kurniawan @adiAK9
☑Putri Nurdiyanti




A part of planning :
(pas rapat boleh dong ada dokumentasinya? )
Rapat di rumah Fadhly
5 Mei 2013

(Fadhly sama Eka serius banget ya? hahaha)















Terima Kasih Atas Kebersamaannya, Semoga Kita Tetap Menjadi Solid Dan Tali Persaudaraan Ini Tetap Terjalin. Amin

Setetes Tinta Hitam Pada Kertas Putih



“Dingin banget.” Kalimat pertama yang aku dengar ketika aku sampai dan berdiri di depan pintu rumah. Ibu yang sedari tadi duduk menunggu kehadiranku di bangku kayu ruang tamu mengeluhkan suasana yang hadir. “Apalagi Dini, Bu? Dini baru saja pulang dan kehujanan. Basah semua baju Dini, pasti dingin banget.” Jawabku membalas perkataan Ibu.

Aku melihat beliau bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju dapur. Aku masuk ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Dengan berlari kecil aku menuju ke kamar. Melepas semua pakaian basah ini dan menggantinya dengan sweater putih dan celana batik favoritku. Begitu keluar dari kamar, aku melihat Ibu menaruh segelas teh hangat di atas meja depan televisi. “Ini teh hangatnya, Din.” Ternyata ia baru saja membuatkan ku segelas teh manis hangat. Mungkin ia merasa perkataanku tadi adalah sebuah intruksi atau sindiran agar aku dibuatkan teh panas.

“Terima kasih, Ibu.” Aku memeluknya erat. Aku cium bau tubuhnya yang khas itu membuat aku merasa bersalah telah mengucapkan kalimat tadi. “Maafin, Dini ya Ibu kalau perkataan Dini tadi menyinggung.”

“Engga kok, sayang.” Dia membalas dengan senyuman manisnya yang khusus itu. Aku mengambil segelas teh manis hangat itu dan membawanya ke dalam kamar. Aku teringat akan satu hal yang sedang terjadi dalam hati dan pikiranku saat ini. Sedari tadi aku sudah menyiapkan ide untuk tulisanku selanjutnya.

Ditemani oleh segelas teh hangat dan beberapa potong kue bolu sisa makan malam tadi, aku memulai mengulang kembali kejadian beberapa jam yang lalu hingga beberapa menit yang lalu. Seraya menyeruput teh manis, mataku terbuka lebar menatap layar laptop yang sedang membuka program Microsoft office 2010. Aku taruh kembali cangkir itu si meja samping laptop. Tampilan laptop ini pun sudah menunjukkan kesiapannya untuk kuisikan dengan segala curahan hatiku saat ini.

Sambil mengulas kembali apa yang sudah terjadi, aku menggigit kue bolu itu. Kemudian, aku memulai.

Beberapa menit lalu aku masih ada di jalan kampung menuju rumahku. Ditemani tetesan air dari langit yang sudah dari tadi pagi mengguyur kotaku. Sekitar 500 meter jalan yang ku lalui tadi setelah aku turun dari angkutan umum. Sepanjang jalan itu, aku tidak berhenti tersenyum mengingat segala hal yang baru saja terjadi. Rintikan hujan membasahi kepalaku yang terbalut jilbab berwarna merah muda kala itu. Hingga akhirnya merembas masuk mengenai kulit kepalaku. Lalu mulai ku rasakan dingin menggerayangi perjalananku dan aku masih dalam senyuman rasa bahagiaku.

Sesekali aku mendengakkan wajahku menatap ke langit. Aku bahagia mengingatnya, ketika sekali lagi aku melihat wajahnya yang tampan itu. Di suasana yang ramai saat itu aku mencuri kesempatan melihat wajahnya utuh sekali lagi. Mata yang sudah tiga bulan tidak pernah aku lihat, kini aku kembali dapat melihatnya hanya dengan jarak 15 sentimeter dari mata ini memandang. Untung saja saat itu ia tidak sedang melihatku atau mau mengajakku berbincang.

Aku mengingatnya ketika ia datang. Dari jauh sudah ku lihat awak tubuhnya yang sudah ku hapal sejak lama. Dari jarak 50 meter aku sudah bisa menebak kalau itu adalah dirinya. Aku mengingat ketika aku harus menunduk ketika ia berada di hadapanku. Ia mengulurkan tangannya mengajakku berjabat tangan. Aku meraihnya dengan rasa grogi. Aku ucapkan kata selamat datang untuk menyambutnya ramah. Aku tarik tangannya yang sudah ku genggam. Aku ucapkan kalimat penghibur agar aku tidak terlihat salah tingkah. Kemudian ia duduk di sampingku, membuka jaketnya dan mulai merapihkan rambutnya. Aku nekat, dorongan adrenalin membuatku membantunya merapihkan rambut. Aku mengingatnya tersenyum, ketika ia memegang tanganku yang berada di kepalanya dan membawanya ke depan wajahnya yang kemudian ia kekap tangan ini dengan kedua tangannya. Aku malu. Aku tarik tangan ini dan mengeluarkan kalimat ejekkan yang membuat suasana manis di antara kita berdua ini pecah.

Aku terniang ketika ia berbisik menanyakan kabarku. Suaranya yang ku dengar sangat dekat itu membuat jantung ini semakin tidak karuan detakkannya. Aku yakin dia merasakannya. Melalui desah nafasku yang menutupi rasa cinta. Aku menoleh kepadanya ketika ia mulai menjauhkan wajahnya. Senyumku lebih tajam ke kanan. Kemudian aku tertunduk. Melihatnya berbicara dengan Miky mulai mencairkan suasana tegang yang bergejolak di hatiku. Sesekali ia menoleh ke arahku dan berusaha mengajakku berbicara. Tanpa banyak pikir, aku menyambut ajakannnya dengan manis.

Aku teringat ketika ia mengajakku untuk pergi ke musholah dan mengajakku sholat ashar berjamaah. Aku dengan semua rasa grogiku menerimanya. Kemudian aku berjalan menuju musholah yang berada pada lantai dasar gedung ini. Berdua, hanya berdua. Keadaan saat itu mendukung sekali, Miky bukan lah seorang muslim, maka dari itu dia tidak ikut kami menuju musholah. Di musholah yang kecil itu kami melakukan sholat berjamaah. Hingga selesai sholat, hanya satu hal yang belum pernah kami lakukan. Mungkin nanti, yaitu ketika aku mencium tangannya ketika aku sudah selesai dalam semua kekhusyukkanku menghadap Allah. Tapi kali ini, hanya menoleh kepadaku dan tersenyum yang dapat ia lakukan, dan aku membalas senyum itu.

Aku terbayang beberapa saat berlalu setelah itu. Duduk di sampingnya dan  mulai memakan makanan yang sudah 15 menit tadi kami pesan. Nasi goreng seafood favoritku ketika aku makan di restoran ini membumbui pertemuanku dengannya. Dan ia, masih dengan menu favoritnya juga, begitu yang ia katakan dua menit lalu. Tak menyangka, ia kembali mau menyuapiku dengan makanan yang ada di hadapannya itu. Kembali, setelah satu tahun lalu ia melakukannya di sekolah kami dulu. Masih dengan alasan yang sama, hanya untuk mencicipi menu yang ia pesan. Padahal aku pun pernah mencobanya sesekali ketika aku makan disini.

Aku terhenti pada langkahku yang sebentar lagi sampai di depan rumah. Aku menunduk, kedua tangannku menyentuh lututku yang sudah basah terkena air hujan. Senyumku masih terpasang, tak sedikit pun memudar. Mataku tertutup mencoba mengingat hal-hal indah yang aku lewati tadi. Nafasku kutarik panjang mengendalikan suasana hati. Air hujan juga mulai mengenai punggungku dan dingin semakin menjalar di seluruh kulit.

Kembali aku mengingat hal terakhir yang membuatku tersenyum bahagia. Setelah melalui perbincangan hangat yang panjang, setelah kita sudah mengulas semua kenangan kita bertiga di masa sekolah, setelah sepiring dan semangkuk makanan yang kami pesan habis, setelah Miky bersendawa panjang memecahkan suasana serius, setelah semua rencana yang kami buat seminggu yang lalu usai dan berakhir, ia bersandar di pundakku dan mengeluhkan dirinya yang lelah dengan aktivitasnya saat ini. Aku kaget dan semakin tidak bisa mengontrol dengan baik antara pikiran, hati, dan raga. Ternyata ia benar-benar menyadarinya dan mencetuskannya begitu saja, membuatku merasa malu dan sangat bingung harus mengeluarkan kata-kata apa lagi. Wajahku memucat seketika kata Miky. Tapi kemudian, ia mengeluarkan kalimat penenang, ia bilang semua tidak masalah, aku hanya terkejut karena ia tiba-tiba bersandar. Benar-benar menutupi rasa grogiku saat itu.

Luar biasa, ternyata perasaan itu masih ada. Dan kini aku tersadar. Seraya kembali aku menyeruput teh ini, aku telah mendustakan diriku sendiri yang kemarin sudah mendeklarasikan di hadapan dua orang teman baruku jika aku sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya. Semua ini bukan tumbuh kembali, melainkan semakin kuat bersinar ketika semua terwujud di hadapannya. Ya, aku masih mencintainya.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...