Matahari tak lagi menyinari dengan sempurna. Cahayanya sudah mulai tergilir oleh hadirnya sang bulan. Pantulan warna kuning kemerahan terlihat di setiap sisi dan ruang. Diiringi dengan hembusan-hembusan angin sore yang membuat kain ini menjadi megar.
Suasana semakin hening, setiap orang mulai melangkahkan kakinya menuju pintu gerbang. Berbondong-bondong dan saling berebutan untuk dapat lebih dulu mengeluarkan dirinya dan kendaraan yang mereka bawa dari parkiran. Dengan segala beban pikiran akan tugas dan tentengan buku yang tebalnya bukan kepalang. Mereka adalah orang-orang yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa. Mereka pergi meninggalkan dengan berbagai rona.
Bangku panjang berwarna hijau yang terpampang antara dua pohon yang tidak begitu besar namun rindang telah lama ku duduki. Sengaja ku singgah untuk menunggu datangnya seseorang. Seraya menikmati setiap hembus angin yang lewat di sekitarku, mataku tak henti melirik. Mulai mencari sesuatu yang semakin lama semakin tidak pasti.
Sesekali aku melihat jam tangan berwarna coklat yang terpasang di pergelangan tangan kiriku. Wajah lusuh ini sudah mulai menunjukan emosinya. Dahi ini muali terlihat mengkerut. Tak sesekali aku menggigit bibir ini, tak lain hanya untuk mengurangi rasa kegelisahan.
“Lun, gue balik duluan ya.” Ucap Septi dengan cepatnya.
“Iya, Sep. Bye !” jawabku.
Kegelisahan akan menunggu sesuatu yang indah itu tidak memiliki ujung yang pasti. Semua harapan rasanya sudah mulai pergi tertiup angin. Setiap detik telah dihabiskan dengan setiap kedipan mata. Desah nafas yang penuh dengan rasa bahagia itu mulai sirna.
Cahaya matahari yang semakin lama semakin meredup adalah gambaran sebuah harapan yang mulai bosan menunggu. Ingin langkah kaki pergi dan segera melupakan. Tapi entah, berat rasanya untuk meninggalkan. Jika meninggalkan dia adalah yang terbaik katanya, maka mungkin yang terburuklah yang akan aku ambil. Karena bertemu dengannya adalah hal terindah yang sedang kuinginkan.
“Lun… Luna!”
“Ha?” mataku melirik penuh harapan.
“Kok belum pulang?”
“Eh, Aray. Iya nih belum.”
“Kenapa belum?”
“Lagi nunggu temen. Lu kenapa gak pulang?”
“Gue lagi nunggu nyokap gue nih. Bentar lagi juga mau pulang.” Kemudian ia duduk di sampingku.
“Oh.” Aku menatap layar handphone itu.
“Emang siapa si yang lu tunggu? Anak sini?”
“Engga, Ray. Temen SMA gue.”
“Cowok?”
“Iya.”
“Cowok lu kali?”
“Engga. Belum sih tepatnya.”
“Udah gak available nih kayaknya.”
“Ha? Engga kok. Masih.” Aku tersenyum, “sebentar ya. Gue mau telpon dulu.” Lalu ku ketik beberapa nomor di handphone itu. Ku mulai menunggu tersambungnya panggilan itu.
“Gak diangkat?” tanyanya ketika melihat wajahku nampak kecewa. Dan ku balas dengan menggelengkan kepala.
“Ray, lu udah punya pacar?”
“Hm?” wajahnya terkejut.
“Emm jangan berpikir macem-macem Ray. Gue cuma mau nanya aja.”
“Oh, maaf deh. Gue udah punya pacar, Lun. Kenapa?”
“Pacar lu kuliah atau kerja?”
“Kuliah, Lun. Di universitas swasta. Memangnya kenapa deh?”
“Gak kenapa-kenapa sih. Yakin buat long distance?”
“Siap ataupun engga, ya harus siap. Jalanin aja gitu, Lun.” Ia melihat jam tangannya, “Lun, nyokap gue udah selesai. Gue pulang duluan ya.”
“Oh, iya. Hati-hati ya Ray. Salam buat pacar lu.”
“Lah?” ia menaikkan alis kanannya, “hehe oke deh” memberiku jempolnya dan kemudian pergi.
Tuhan, jika memang aku harus menjalin suatu hubungan dengannya. Kuatkanlah perasaan ini dan jauhilah dari segala rasa curiga. Tuhan, jika tidak terjadi apapun antara aku dan dia. Biarkan semua itu terjadi nanti. Izinkan aku dengannya, Tuhan. I love him because You.
Ternyata matahari memperlambat pergerakannya. Sudah hampir tiga puluh menit dan ia tak datang. Tak ada satu pun kabar. Tak ada satu pun panggilan.
Rasanya bercampur aduk. Ingin marah, menangis, mengamuk, memaki, menjerit, yang pasti aku kecewa. Dia kemana? Kenapa dia tak datang? Dia kenapa? Apa yang dia lakukan? Dia? Dia tak ingat. Dia sengaja melupakan. Dia memang tidak peduli. Dia tidak menginginkannya. Dia.
Air mata ini mulai keluar. Mulai membasahi pipi. Mengalir dari mata, turun melewati lengkungan pipi, terdiam di bibir dan ku hapus dengan kain merah penutup kepala. Aku menunduk. Dari kejauhan sudah terlihat segukkan rasa kecewa itu. Tapi, tak ada yang pahami.
Julian…
“Kenapa kamu gak datang? Kenapa kamu gak ingat? Julian, kenapa kamu jahat?” aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajah ini dari air mata. Kemudian handphone itu berdering. Ia menelponku, ia mengingatku, ia menyayangiku juga.
“Halo?” aku memulai.
“Luna…” suara perempuan itu. Memang bukan orang asing. Ia … “ini Dewi, Luna. Julian…” suaranya terdiam kembali, tergambarkan sebuah suasana yang panik dan mengganggu, “Luna, maafkan Julian, Luna. Julian gak bisa datang ke tempat kamu, Luna.” Suara itu semakin bergetar, namun jantung ini berdegup jauh lebih kencang dari gemetar suaranya. Mulut ini tak mampu berkata, begitu takut untuk bertanya.
“Luna, Julian kecelakaan di depan kampus gue. Dia gak bisa ke kampus lu untuk menepati janjinya. Julian kritis, Luna. Dia sekarang di rumah sakit deket kampus gue. Gue udah minta tolong Aska ke kampus lu, jemput lu dan membawa lu kesini. Buat ketemu sama Julian, Luna.” Penjelasan panjang lebar itu dibuatnya terbata. Setiap kata yang keluar melemahkan raga, meneteskan air mata, dan menggetarakan hati.
Di depan sebuah cermin kamar kecil aku menatap wajahku yang sudah penuh dengan kesedihan. Di depan sebuah cermin ku membayangkan dirinya berdiri di belakangku. Di depan sebuah cermin aku melihat ia memelukku. Di depan sebuah cermin aku melihatnya mengatakan “I Love You”.
Aku berlari keluar. Aku mencoba menyadarkan diriku dari sebuah khayalan. Ku berlari menuju tempat awal. Aku berdiri di tempat ku menunggu. Entah makhluk bodoh apa aku ini. Gak tahu malu menangis di depan umum. Di tempat orang banyak yang berjalan. Aku gak peduli.
Ku bayangkan wajahnya yang indah. Yang dulu selalu dapat ku lihat dengan sepuasnya. Matanya yang terbingkai kacamata. Hidungnya yang mancung selalu menggoda jari jemariku untuk menariknya. Bibirnya yang menggoda membentuk senyuman indah yang selalu membuatku teringat dengan manis gingsulnya. Mulutnya yang manis selalu memberikanku motivasi yang dapat membuatku terus bangkit dari kesedihan. Kini, ia terjatuh, ia tak mampu berkata ketika ku sedih. Tak mampu memberiku semangat ketika ku sekarang merasakan sedih yang lebih dari sebelumnya. Tak mampu memberiku tatapan percaya akan hidup yang tak hanya sampai disini. Tak mampu menggoda jariku untuk tidak mengepal memendam kekecewaan. Tak mampu membariku senyuman kepastian akan hadirnya rasa bahagia yang tak pernah usai. Julian.