Rabu, 05 Agustus 2015

Dua Puluh Enam Sobekan

Setelah tiga tahun kita lost contact, sesuatu yang mengejutkanku datang. Dini hari di hari Minggu, pertengahan Agustus, baru saja aku rapih tadarus, seseorang mengetuk pintu kamarku. Ada titipan, kata Mama. Aku ke luar setelah merapihkan sajadah dan mukenah. Aku ikat rambutku yang mulai panjang sebahu. Aku menghampiri Mama, namun beliau malah meneriakiku dari kamar mandi, "titipannya ada di atas kulkas". Segera aku memutar arahku yang sebelumnya ingin ke arah kamar kedua orang tuaku menuju dapur. Seraya meraih sebotol air putih di lemari pendingin tersebut, aku mengambil titipan yang berbentuk kotak sebesar dus sepatu.
Aku berjalan ke ruang tamu dengan botol air mineral di tangan kiri dan kotak yang memang dari dus sepatu itu kujepit di ketiak kananku.
"Orang gila macam apa ya pagi-pagi gini ngasih paket? Semangatnya lebih-lebih dari Go-Jek", suatu perusahaan yang mengelola banyak tukang ojeg di Jakarta, yang memang saat ini sedang hits-hitsnya.
Aku memrediksi secara percaya diri bahwa kotak ini adalah dus bekas sepatu. Benar saja, setelah aku buka secara acak kertas koran yang membungkus seluruh permukaan dus terlihatlah merek sepatunya. Vans, sepatu yang memang lagi trend di kalangan anak gaul masa kini.
"Gue tau ini dari siapa," aku tersenyum seketika setelah membaca merek dus tersebut. Kemudian, Mama datang dari arah kamarnya. Beliau duduk di sampingku yang masih belum membuka dus titipan tadi.
"Ini tadi yang nganter siapa, Ma? Subuh-subuh gini ada aja orang kerajinan."
"Mama juga gak tau. Tadi pas Mama mau ke luar buat ambil sapu lidi, Mama lihat ada orang naro itu di pagar. Pas Mama teriakin mau ngapain, eh dia malah pergi gitu aja."
"Oh jadi tadi Mama teriakin itu orang. Mama mah kebiasaan. Pintu rumah sama pagar jaraknya dua meter aja pake teriak."
"Itu Mama reflek, Nak. Namanya Mama kaget ada orang ngendap-ngendap gitu. Mama kira kan maling."
"Dia laki-laki kan, Ma?"
"Iya. Kok kamu tau? Kamu tau itu dari siapa?"
"Ya mana mungkin sih, Ma, cewek subuh gini ngendap-ngendap gitu ke rumah orang."
"Iya juga sih. Tapi itu paket isinya apa ya? Hati-hati deh. Takutnya itu isi macem-macem. Buang aja deh. Nanti neror kamu. Udah mana tertuju banget ada nama kamu di atasnya. Kamu punya musuh? Siapa, Nak? Kamu jahatin orang ya? Sampai ada orang misterius gitu kasih kamu paket? Kok Mama baru sadar untuk hati-hati ya? Mama jadi takut. Udah buang aja sana. Atau Mama yang buangin sini." Mama seketika panik dan aku justru merasa Mama lucu dan berlebihan.
"Tenang, Ma. Aku tau ini dari siapa." Aku mencoba menenangkan Mama yang sudah bawel karena panik. Tidak mudah. Tapi tidak sampai aku harus membuka dus tersebut. Aku tidak mau isi dari dus ini membawaku ke masa abu-abu.
Aku sudah mulai melupakan yang memang harus aku lupakan. Dus ini yang kemungkinan besar adalah bagian dari kisah yang pernah membuatku merasa terjebak, takkan menjadi penyebab rusaknya suasana hati yang kini sudah mulai biasa lagi. Aku meninggalkan Mama dan membawa dus ini ke kamar. Aku letakkan dus itu di meja samping tempat tidur. Aku mengambil selembar post-it dan menuliskan serangkaian kata yang kini mengganjal di pikiranku.
"Seperti takkan pernah habis kisah yang dimulai dengan ketulusan, dijedakan dengan pendewasaan, dipertemukan kembali dengan ketidaksengajaan, dijelaskan melalui teka-teki, namun terhenti karena rasa sakit hati."

Bersambung...

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...