Sabtu, 22 April 2017

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III

                Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan siap test drive bersama SIM A barunya.
                Jumat malam kami berangkat berdua dengan mobil yang masih mulus. Suasana terasa hening sekali dan angin dingin menunjukkan kenapa kaca mobil berembun. Lantunan lagu EDM menemani perjalanan kami. Meskipun suasana hati sedang sendu, tapi mobil ini terasa mengajak kami berjoget. Jalanan pun lancar jaya, mungkin karena sudah malam. Kami tidak banyak mengobrol di mobil. Bukan, bukan karena alasan seperti dulu di motor. Tetapi memang karena aku malas ngomong.
                Dia sangat mengerti perasaanku. Maka dari itu, walaupun dia hobby bercanda garing seperti memuji diri sendiri, kali ini dia diam saja. Dia memancing mood baikku dengan lagu EDM. Dia akhirnya tau kalau belakangan ini aku suka dengan musik EDM. Setelah jari jemariku mulai bergoyang, dia baru membuka suara.
“Gue balikan sama Andine.”
“Hah ? Lo gila ? Lo cinta mati gitu sama bule ?”
“Gue selalu menemukan alasan kenapa gue harus maafin dia.”
“Oke. Kalau gitu lo juga bisa mengerti dong kenapa gue memilih bertahan sama Wahyu padahal dua jam yang lalu gue nangisin dia karena gue tau dia jalan sama sahabat gue sendiri ?”
“Agnes Monica bener, Fay. Cinta kadang tak ada logika.”
                Aku menggelengkan kepalaku dan sangat amat tidak percaya kalau hal ini terjadi lagi.
“Gue kira kalian udah lost contact.”
“Iya, dia baru datang lagi,Fay. Sebenarnya dia berkali-kali datang setelah lulus SMA. Dia kan belum dapat universitas, dia sempat meminta tolong gue untuk nemenin dia daftar di swasta”
“Dan lo nemenin?” aku menyela.
“Iya. Kita sempat jalan. Bahkan makan dan nonton. Sampai rumah dia pun gue sempet cium keningnya. Terjadi gitu aja.”
“Setelah itu?”
“Setelah itu gue tau kalau dia cuma jadiin gue pelarian. Dia punya pacar sebenernya, calon pilot. Ya tapi karena si calon pilot jarang pulang, dia butuh kasih sayang.”
“Gue udah berkali-kali jatuh dan bangun lagi dengan orang yang berbeda. Tapi lo, jatuh dan bangun di tempat yang sama.”
“Itu yang gue bilang, Fay. Gue punya alasan kenapa gue masih mau maafin dia.”
“Ah pasti alas an klasik yang lo bilang sayang.”
“Hm… Terus sepulang dari Singapore, dia hubungi gue lagi. Dia cerita kalau udah ga jadi sama si calon pilot karena dia gak mau LDR-an. Dia meminta gue balik.”
“Trus?”
“Gue cuma balas dengan ciuman, Fay.”
“So… kalian resmi balikan ? Trus ngapain sekarang kita di Puncak? Mau bikin gue berantem sama Bule? Kayak waktu SMA dulu. Hal yang dijadiin bule alesan untuk selingkuh lagi dari lo? Lo mau kali ini bule selingkuhin lo lagi ?”
“Gue mau kita berdua tenang, Fay. Pas lo ajak gue ke Puncak, disitu gue berpikir buat take time dan sharing sama lo lebih dari waktu yang kita abisin untuk satu cup mocha float.”
“Kan kalau mau lebih lama, lo tinggal beli 2 sampai 3 cup mocha float lagi.”
“Puncak itu tenang, Fay. Lo akuin itu kan ? Nikmatin aja perjalanan kita yang semoga besok kita terbuka lagi untuk menjalani hari.”
“Hm…” aku beralih pandangan ke luar mobil,”jagung yuk!”
“Yuk.”
                Bintang di langit puncak sangat indah. Sama seperti yang kita berdua lihat di langit Bromo, di dua waktu yang berbeda. Ribuan bintang itu menyebar di langit yang gelap gulita. Kita hanya mendengar keheningan yang terkadang dihiasi suara klakson mobil. Tidak ada jangkrik karena masih saja goyonannya tidak berujung “krik krik”. Tawa kami sangat lepas, kami tidak pernah seperti ini selama pertemanan kami. Badannya yang masih gendut, hmm tepatnya berisi, sudah berkali-kali aku cubit. Kami sudah tidak lagi curhat satu sama lain. Kami lebih memperluas perbincangan. Kami membicarakan realita yang terjadi di sekitar kita, lingkungan hidup, reboisasi, fauna di taman safari, sampai ke bentuk dan arsitek dari Masjid At-Ta’awun di Puncak.
                Jam menunjukkan pukul 2 pagi. Dia mengajakku pergi mencari penginapan untuk mengistirahatkan mobil dan supir baruku. Beruntungnya kami, kami mendapatkan satu penginapan kecil dengan dua kamar. Pas untuk kami berdua.
                Rasanya drama ini harus berputar kembali. Di luar sana banyak kisah yang menyakitkan hati kami. Hingga kami harus merasakan jatuh dan jatuh. Tapi di penginapan ini hanya ada satu dunia, yaitu dunia persahabatan kami yang tidak pernah kami sangka akan berlangsung lama. Ini merupakan satu satunya persahabatanku dengan lawan jenis yang mampu bertahan lama tanpa rasa cinta. Ya, aku pernah mengalami sahabat jadi cinta. Namun, itu bukan karena kejujuran. Semua terjadi karena keegoisan satu sama lain yang tidak bisa memisahkan yang semestinya terjadi dan yang tidak boleh terjadi. Rasanya, malam ini keegoisan itu kembali terjadi. Kisah selanjutnya, kita masih menjalaninya masing-masing.
                Untuk pertama kalinya, aku menatap mata Naufal dengan cara pandang yang berbeda. Aku mengambil handphoneku yang berada di sampingnya yang tengah duduk di sofa. Kemudian dia menoleh ke arahku tanpa sengaja. Kami menjatuhkan pandangan bersamaan. Lalu aku memecahkan dengan berpaling dan berjalan kembali ke kamar.
                Naufal memanggilku dengan nada rendah. Aku berbalik badan kemudian ia menyiumku tepat di bibir. Aku mendorongnya karena aku langsung merasakan yang tak semestinya terjadi.
“Kenapa pertanyaan Mela yang dulu belum kamu jawab sampai sekarang?”
“Karena… karena aku tau, Fal, jatuh cinta sama kamu bukan hal yang benar. Aku sudah pernah merasakannya karena aku orangnya baperan. Mela sudah kasih tau kamu itu kan? Tapi aku memilih untuk menjalani yang namanya cinta dengan orang lain. Bukan dengan kamu.”
“Kalau kita memang ditakdirkan bersama bukan sekedar sahabat, ya mungkin sahabat yang memiliki hubungan bukan persahabatan, gimana, Fay?”
“Kalau itu terjadi, bukan untuk jatuh dan bangkit lagi.”
                Kami terdiam dan saling menatap dengan pikiran kosong. Untuk waktu yang cukup lama.
“Peluk aku, Fal.” Aku menyerah dengan keadaan karena air mata memang tak sanggup lagi tertahan. Aku tertunduk malu karena ketidak-konsistenan omonganku beberapa menit yang lalu.Seperti hari itu di lapangan setelah pelantikan, betisku sudah lelah menahan tubuh hingga akhirnya aku harus menjatuhkan diri ke posisi duduk dengan kepala tertunduk. Naufal datang membopong aku menuju UKS. Kali ini, dia datang memelukku.
“Be the last, Fal. Kalau kamu udah siap. Kita sudah sama-sama lelah untuk membuat banyak kesalahan yang sama. Kita sudah sama sama belajar. Betisku sudah lelah dan sakit sekali kalau bukan kamu yang membopongku.”
“Aku gak bisa janji.”



---END---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...