Rabu, 15 Januari 2014

Di Balik Derasnya Hujan



Sudah dua puluh menit aku berdiri disini tapi belum sekalipun aku melihat ada angkutan yang lewat. Rambutku sudah basah dan lepek akibat kehujanan tadi. Dari pelajaran terakhir, aku sudah tau hari ini akan berakhir seperti apa. Hujan di awal Januari memang selalu terjadi menyambut semester genap. Baru dua hari aku masuk sekolah, hujan sudah mulai sering membasahi kawasan tropis di bumi ini.
Sweater merah jambu yang kebesaran ini memang jadi andalanku ketika aku merasa mulai kedinginan. Sweater ini juga menjadi pelindungku dari derasnya hujan ketika aku harus menerjangnya menuju depan gang untuk menunggu angkutan umum agar aku bisa pulang. Tapi hujan hari ini membuat sweater yang juga memiliki hoodie ini tidak berguna. Walaupun aku telah memasangkan hoodienya untuk menutup kepalaku, hujan yang begitu deras masih meresap di setiap lembar benangnya hingga merembas dan membasahi rambutku yang baru tadi pagi aku keramasi. Kesal rasanya ketika rambut harus terlihat lusuh dan kotor kembali padahal tadi pagi sudah aku bersihkan.
Sepatu kets hitam bermerek converse ini pun sudah basah, bahkan sudah merembas airnya ke dalam. Kaos kaki putih yang aku kenakan juga mungkin sudah basah. Hujan hari ini memang benar-benar membuat keadaanku kuyup. Ransel merah favoritku juga sudah basah, untungnya ransel ini tidak mudah tembus air. Kalau tidak, seluruh buku pelajaran yang aku bawa juga akan kebasahan.
Dari balik derasnya air hujan, aku melihat beberapa temanku yang mengendarai sepeda motor keluar dari gang sekolah. Kebanyakan dari mereka mengenakan jas hujan, maka dari itu mereka berani nekat pulang dengan hujan yang masih deras ini. Di depan toko klontong aku menunggu angkutan umum berwarna merah. Bersama beberapa murid lainnya yang juga dalam keadaan basah. Namun, nampaknya hanya aku yang benar-benar kuyup. Karena mereka membawa payung untuk melindungi diri mereka sendiri.
Ada sekitar tujuh orang yang sedang menunggu sama seperti aku. Dua di antaranya aku kenal. Yang satu memang teman kelas sepuluh dan yang satunya lagi adalah seseorang yang sedang menjalani satu masa pendekatan denganku. Aku agak sedikit jaga sikap disini, aku berpura-pura tidak merasakan dingin karena aku tidak ingin dia melepaskan sweaternya untuk aku kenakan. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi beberapa menit yang lalu dia memang menawarkan sweaternya.
Aku berlari bersama dia dari depan sekolah menuju tempat menunggu ini. Aku memang mengatur janji agar bisa pulang bersama dia. Dan aku merasakan bahwa sore ini memang indah.
Tadi, dari depan gerbang sekolah dia mengajakku untuk bersama-sama menerjang hujan agar bisa segera menunggu di depan gang. Awalnya aku menolak, alasanku karena tidak mau rambutku yang baru dikeramasi tadi pagi harus basah dan kotor karena air hujan. Namun setelah menunggu sekitar tujuh menit di depan gerbang, tiba-tiba dia menarik tanganku dan membawaku berlari di bawah rintik hujan.
Cukup jauh aku berlari dari depan gerbang menuju ke depan gang, sekitar seratus meter. Jelas membuat seluruh badanku basah. Begitu pun dia. Tapi sweater yang dia simpan dalam tasnya itu memang tidak sama sekali basah. Maka dari itu, dia menawarkan aku untuk mengenakannya.
Aku tak banyak bicara atau membantah ajakan dia yang memang memaksa untuk berlari. Aku lebih merasakan degup jantung yang kencang ketika dia menarik tanganku dan terus menggenggamnya. Sesekali dia berkata, “sebentar lagi sampai”. Kemudian, aku hanya tersenyum mendengarnya berusaha memotivasi dirinya juga aku. Sesekali aku juga tertawa ketika kita sama-sama melangkah dalam kubangan air, karena cipratannya akan mengenai satu sama lain yang kemudian akan membuat celana ataupun rok semakin basah.
Begitupun ketika aku dan dia telah sampai disini, di depan warung ini. Bukannya langsung merapihkan badan, kita malah tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang kita tertawakan, tapi kita merasa memang kita perlu tertawa. Kemudian dia berkata, “ya sudahlah, kita udah hebat melawan derasnya hujan. Lo mau pakai sweater gue gak? Lo kuyup banget.”. Lalu aku menatap matanya dan kemudian menolak tawarannya. Aku melihat dia terus saja memandangku, seperti ada yang dia pikirkan atau mungkin dia nilai dari penampilanku. Yang pasti, itu membuatku merasa malu.
Sekarang, sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu angkutan umum itu bersama dia dan sudah lima belas menit aku dan dia saling terdiam tanpa berbicara apapun. Mungkin topik pembahasan kita sore ini sudah habis atau mungkin aku sudah malu untuk berkata-kata setelah dia bertanya, “kamu suka sama aku gak?”.
Aku tidak terbiasa menyampaikan perasaanku terhadap seorang cowok secara langsung. Nyaliku baru berani di pesan singkat. Selain itu juga, dia bertanya dengan nada tinggi sehingga beberapa orang di sekitar kita menoleh dan menunggu jawabanku dari pertanyaannya.
Aku sudah berkali-kali menguap, aku rasa kebosanan mulai mendatangiku.
“Ngantuk?” tanyanya setelah sekian lama tidak ada perbincangan disini.
“Iyah. Cuacanya mendukug buat tidur. Angkotnya juga lama, bikin bosen.” Aku menjawab.
“Sebentar lagi juga angkotnya datang. Nanti tidur di angkot aja.”
“Gak ah, malu kali tidur di angkot. Nanti kepalanya gimana? Bersandar di orang-orang dong? Malu ah.”
“Ya kamu bersandar di aku aja, jadinya kan gak malu.”
“Apa sih, lu? Tetep ah gue malu.”
“Bandel nih dikasih solusi juga. Kan enak juga bisa tidur.”
“Iya juga sih. Tapi liat deh, angkotnya saja gak kelihatan.”
“Mau tau gak caranya biar gak ngantuk?”
“Gimana?” tanyaku seraya mengucak mata kananku yang terkena tetesan air hujan.
“Jawab pertanyaan aku yang tadi aja. Jadi kan kita bisa mengobrol.”
Aku diam, merasa agak malu untuk menyampaikannya disini. Sebenarnya bukan karena malu mengutarakan perasaanku, akan tetapi ada hal lain yang memang mengganjal dalam pikiranku.
“Jawab dong!” ujarnya sedikit memaksa.
“Aku cuma bingung sama perasaan aku sendiri. Yang pasti aku bahagia sama kamu. Bahagia ketika berhubungan sama kamu.”
“Itu bukan jawaban.” Sahutnya ketus.
“Ada hal yang mengganjal di pikiranku, Bim.”
“Apa? Kamu cerita dong! Jangan buat aku bertanya-tanya terus. Aku merasa kamu berubah belakangan ini. Komunikasi kita udah gak kayak dulu. Mungkin emang salah aku sih, kita udah lima bulan deket tapi aku juga belum kasih kepastian. Justru baru kali ini aku bertanya seperti itu ke kamu.”
“Ya, itu kamu tau. Mungkin ini efek kita terlalu lama pendekatan tanpa mencoba beranjak dari zona nyaman di masa pendekatan.”
“Ya… ya… ya… aku emang salah. Dua bulan awal kamu terus yang menanyakan hal itu tapi aku selalu aja gak siap buat kasih jawaban dari suatu kepastian.”
Aku membalas pernyataannya dengan tersenyum dan mengangkat kedua bahuku.
“Jadi gimana? Kamu suka kan sama aku? Atau kamu sudah bosan? Kalau gitu sih gak apa-apa. Mungkin kamu udah dapetin yang lebih baik dari aku.”
Aku kembali mengangkat kedua bahuku.
“Kok kamu diem aja sih?”
“Aku harus ngomong apa? Aku udah sering ngomong sama kamu tentang hal ini. Kenapa sekarang gak kamu aja yang terus-terusan ngomong dan aku hanya dengerin aja.”
“Kamu kasih penjelasan aja, kenapa kamu agak berubah? Cuma tadi aja tuh, pas kita hujan-hujanan aku liat kamu tertawa lagi lepas kayak dulu.”
“Terlalu banyak masalah disini,” aku menunjuk keningku, “banyak hal yang masuk dalam pikiran aku setelah tiga bulan lalu kamu cuekin aku seminggu”.
“Apa?” mulutnya memang bertanya untuk aku, akan tetapi matanya menoleh ke arah lain. Ternyata angkutan umum yang sudah setengah jam kami tunggu datang.
Ketika dia akan memberhentikannya, aku menarik tangannya, “biarin aja angkotnya lewat. Gue rasa kita masih perlu mengobrol disini. Gue gak masalah pulang lebih lama dari biasanya. Lagi pula kalau masih hujan deras gini nanti gue turun dari angkot dan jalan ke rumahnya kebasahan lagi. Baju gue udah mulai kering juga disini.” Kemudian kami membiarkan angkutan itu lewat begitu saja.
“Oke. Sekarang apa yang mau lo sampaiin ke gue. Cerita semuanya.” Dia mulai menggunakan subjek gue dan elo lagi setelah sekitar tiga bulan dia rutin menggunakan subjek aku dan kamu.
“Tiga bulan lalu, yang pas kita jalan bareng. Terus pas pulang aku buat kamu marah karena aku bilang sikap kita udah berlebihan kalau dalam ukuran teman dan kemudian kamu cuek sama aku. Sms engga, boro-boro ngucapin selamat pagi. Apalagi untuk telpon. Satu sekolah, satu lantai, tapi kalau ketemu gak pernah menyapa. Seakan kita gak pernah kenal. Satu minggu kamu kayak gitu. Aku pikir semuanya udah selesai sampai hari itu. Tiga malam berturut-turut aku menangis. Aku pikir aku salah bicara sama kamu. Tapi aku pikir mungkin ini caranya agar kita berhenti. Tapi tiba-tiba pas event itu kamu tarik tangan aku ke belakang panggung padahal aku lagi sibuk mengurusi acara dan disitu kamu minta untuk aku gak pergi dan kita kembali seperti dulu. Dan setelah hari itu kamu kembali hubungi aku dan terus-terusan mencari aku kalau aku gak balas sms kamu. Lalu semua keulang seperti awalnya sampai berjalan dua bulan hingga hari ini. Aku capek ngikutin sikap kamu, mood kamu, yang kamu bisa ubah tiga ratus enam puluh derajat tanpa proses. Semua teman-teman aku sudah melarang aku untuk berhenti menghubungi kamu dan mencoba menjalani cerita baru sama yang lain. Tapi hati aku milih kamu. Aku gak bisa menjalani cerita lain. Aku gak bisa jauh dari kamu walaupun memang saat ini seperti aku harus memilih untuk mengabaikan nasehat sahabat-sahabat aku.” Jelasku panjang lebar dan dia hanya menyimak.
“Sebenarnya ini  adalah satu hal yang sulit untuk gue jalanin sama lu. Kadang gue harus berpikir panjang untuk maju. Bukan karena gue takut, tapi gue cuma mau menyiapkan diri untuk lebih banyak menghadapi resikonya. Lo tau kan kalau ada beberapa cewek di sekolah yang lagi suka sama gue dan emang gue juga merespon mereka. Gue tau emang gue salah yang terus-terusan menanggapi mereka padahal gue cuma mau berteman biasa sama mereka. Tapi, lo juga tau kan sebagai perempuan pasti ada dong perasaan ingin lebih kalau udah sering komunikasi. Dan jujur gue ngerasa ada di posisi yang rumit sedari beberapa bulan yang lalu. Gue bingung buat ambil sikap. Gue dari dulu mau lo untuk gue pilih. Tapi gue juga gak mau lo akan jadi punya masalah dengan mereka. Pastilah gue udah bayangin itu, kalian pasti akan adu mulut selayaknya perempuan. Gue gak mau ambil resiko yang jauh untuk orang yang akan gue pilih. Gue perlu menyelesaikan urusan sama mereka terlebih dahulu baru gue tentuin yang gue pilih.” Balasnya dengan penjelasan yang panjang juga. Kemudian dia menarik nafas panjang sebagai jeda, “tapi, gue juga gak berani untuk menjanjikan apa-apa sama lo selain gue mau buat lo bahagia ketika ada di samping gue. Seperti saat ini.”
Aku mendengarkan semua yang dia sampaikan dengan tatapan kosong menatap rintik hujan di depan kita. Aku merasakan tidak ada yang jelas untuk kisah ini. Bagaimana ini akan selesai? Ini tidak akan selesai hingga aku meninggalkannya dan membiarkan kisah yang sudah terjalin selama lima bulan ini hanya sebagai persinggahan saja.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...