Sudah
dua puluh menit aku berdiri disini tapi belum sekalipun aku melihat ada
angkutan yang lewat. Rambutku sudah basah dan lepek akibat kehujanan tadi. Dari
pelajaran terakhir, aku sudah tau hari ini akan berakhir seperti apa. Hujan di
awal Januari memang selalu terjadi menyambut semester genap. Baru dua hari aku
masuk sekolah, hujan sudah mulai sering membasahi kawasan tropis di bumi ini.
Sweater
merah jambu yang kebesaran ini memang jadi andalanku ketika aku merasa mulai
kedinginan. Sweater ini juga menjadi pelindungku dari derasnya hujan ketika aku
harus menerjangnya menuju depan gang untuk menunggu angkutan umum agar aku bisa
pulang. Tapi hujan hari ini membuat sweater yang juga memiliki hoodie ini tidak
berguna. Walaupun aku telah memasangkan hoodienya untuk menutup kepalaku, hujan
yang begitu deras masih meresap di setiap lembar benangnya hingga merembas dan
membasahi rambutku yang baru tadi pagi aku keramasi. Kesal rasanya ketika
rambut harus terlihat lusuh dan kotor kembali padahal tadi pagi sudah aku
bersihkan.
Sepatu
kets hitam bermerek converse ini pun sudah basah, bahkan sudah merembas airnya
ke dalam. Kaos kaki putih yang aku kenakan juga mungkin sudah basah. Hujan hari
ini memang benar-benar membuat keadaanku kuyup. Ransel merah favoritku juga
sudah basah, untungnya ransel ini tidak mudah tembus air. Kalau tidak, seluruh
buku pelajaran yang aku bawa juga akan kebasahan.
Dari
balik derasnya air hujan, aku melihat beberapa temanku yang mengendarai sepeda
motor keluar dari gang sekolah. Kebanyakan dari mereka mengenakan jas hujan,
maka dari itu mereka berani nekat pulang dengan hujan yang masih deras ini. Di
depan toko klontong aku menunggu angkutan umum berwarna merah. Bersama beberapa
murid lainnya yang juga dalam keadaan basah. Namun, nampaknya hanya aku yang
benar-benar kuyup. Karena mereka membawa payung untuk melindungi diri mereka
sendiri.
Ada
sekitar tujuh orang yang sedang menunggu sama seperti aku. Dua di antaranya aku
kenal. Yang satu memang teman kelas sepuluh dan yang satunya lagi adalah
seseorang yang sedang menjalani satu masa pendekatan denganku. Aku agak sedikit
jaga sikap disini, aku berpura-pura tidak merasakan dingin karena aku tidak
ingin dia melepaskan sweaternya untuk aku kenakan. Bukannya aku terlalu percaya
diri, tapi beberapa menit yang lalu dia memang menawarkan sweaternya.
Aku
berlari bersama dia dari depan sekolah menuju tempat menunggu ini. Aku memang
mengatur janji agar bisa pulang bersama dia. Dan aku merasakan bahwa sore ini
memang indah.
Tadi,
dari depan gerbang sekolah dia mengajakku untuk bersama-sama menerjang hujan
agar bisa segera menunggu di depan gang. Awalnya aku menolak, alasanku karena
tidak mau rambutku yang baru dikeramasi tadi pagi harus basah dan kotor karena
air hujan. Namun setelah menunggu sekitar tujuh menit di depan gerbang,
tiba-tiba dia menarik tanganku dan membawaku berlari di bawah rintik hujan.
Cukup
jauh aku berlari dari depan gerbang menuju ke depan gang, sekitar seratus
meter. Jelas membuat seluruh badanku basah. Begitu pun dia. Tapi sweater yang
dia simpan dalam tasnya itu memang tidak sama sekali basah. Maka dari itu, dia
menawarkan aku untuk mengenakannya.
Aku
tak banyak bicara atau membantah ajakan dia yang memang memaksa untuk berlari.
Aku lebih merasakan degup jantung yang kencang ketika dia menarik tanganku dan
terus menggenggamnya. Sesekali dia berkata, “sebentar lagi sampai”. Kemudian,
aku hanya tersenyum mendengarnya berusaha memotivasi dirinya juga aku. Sesekali
aku juga tertawa ketika kita sama-sama melangkah dalam kubangan air, karena
cipratannya akan mengenai satu sama lain yang kemudian akan membuat celana
ataupun rok semakin basah.
Begitupun
ketika aku dan dia telah sampai disini, di depan warung ini. Bukannya langsung
merapihkan badan, kita malah tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang kita
tertawakan, tapi kita merasa memang kita perlu tertawa. Kemudian dia berkata,
“ya sudahlah, kita udah hebat melawan derasnya hujan. Lo mau pakai sweater gue
gak? Lo kuyup banget.”. Lalu aku menatap matanya dan kemudian menolak
tawarannya. Aku melihat dia terus saja memandangku, seperti ada yang dia
pikirkan atau mungkin dia nilai dari penampilanku. Yang pasti, itu membuatku
merasa malu.
Sekarang,
sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu angkutan umum itu bersama dia dan
sudah lima belas menit aku dan dia saling terdiam tanpa berbicara apapun.
Mungkin topik pembahasan kita sore ini sudah habis atau mungkin aku sudah malu
untuk berkata-kata setelah dia bertanya, “kamu suka sama aku gak?”.
Aku
tidak terbiasa menyampaikan perasaanku terhadap seorang cowok secara langsung.
Nyaliku baru berani di pesan singkat. Selain itu juga, dia bertanya dengan nada
tinggi sehingga beberapa orang di sekitar kita menoleh dan menunggu jawabanku
dari pertanyaannya.
Aku
sudah berkali-kali menguap, aku rasa kebosanan mulai mendatangiku.
“Ngantuk?”
tanyanya setelah sekian lama tidak ada perbincangan disini.
“Iyah.
Cuacanya mendukug buat tidur. Angkotnya juga lama, bikin bosen.” Aku menjawab.
“Sebentar
lagi juga angkotnya datang. Nanti tidur di angkot aja.”
“Gak
ah, malu kali tidur di angkot. Nanti kepalanya gimana? Bersandar di orang-orang
dong? Malu ah.”
“Ya
kamu bersandar di aku aja, jadinya kan gak malu.”
“Apa
sih, lu? Tetep ah gue malu.”
“Bandel
nih dikasih solusi juga. Kan enak juga bisa tidur.”
“Iya
juga sih. Tapi liat deh, angkotnya saja gak kelihatan.”
“Mau
tau gak caranya biar gak ngantuk?”
“Gimana?”
tanyaku seraya mengucak mata kananku yang terkena tetesan air hujan.
“Jawab
pertanyaan aku yang tadi aja. Jadi kan kita bisa mengobrol.”
Aku
diam, merasa agak malu untuk menyampaikannya disini. Sebenarnya bukan karena
malu mengutarakan perasaanku, akan tetapi ada hal lain yang memang mengganjal
dalam pikiranku.
“Jawab
dong!” ujarnya sedikit memaksa.
“Aku
cuma bingung sama perasaan aku sendiri. Yang pasti aku bahagia sama kamu.
Bahagia ketika berhubungan sama kamu.”
“Itu
bukan jawaban.” Sahutnya ketus.
“Ada
hal yang mengganjal di pikiranku, Bim.”
“Apa?
Kamu cerita dong! Jangan buat aku bertanya-tanya terus. Aku merasa kamu berubah
belakangan ini. Komunikasi kita udah gak kayak dulu. Mungkin emang salah aku
sih, kita udah lima bulan deket tapi aku juga belum kasih kepastian. Justru
baru kali ini aku bertanya seperti itu ke kamu.”
“Ya,
itu kamu tau. Mungkin ini efek kita terlalu lama pendekatan tanpa mencoba
beranjak dari zona nyaman di masa pendekatan.”
“Ya…
ya… ya… aku emang salah. Dua bulan awal kamu terus yang menanyakan hal itu tapi
aku selalu aja gak siap buat kasih jawaban dari suatu kepastian.”
Aku
membalas pernyataannya dengan tersenyum dan mengangkat kedua bahuku.
“Jadi
gimana? Kamu suka kan sama aku? Atau kamu sudah bosan? Kalau gitu sih gak
apa-apa. Mungkin kamu udah dapetin yang lebih baik dari aku.”
Aku
kembali mengangkat kedua bahuku.
“Kok
kamu diem aja sih?”
“Aku
harus ngomong apa? Aku udah sering ngomong sama kamu tentang hal ini. Kenapa
sekarang gak kamu aja yang terus-terusan ngomong dan aku hanya dengerin aja.”
“Kamu
kasih penjelasan aja, kenapa kamu agak berubah? Cuma tadi aja tuh, pas kita
hujan-hujanan aku liat kamu tertawa lagi lepas kayak dulu.”
“Terlalu
banyak masalah disini,” aku menunjuk keningku, “banyak hal yang masuk dalam
pikiran aku setelah tiga bulan lalu kamu cuekin aku seminggu”.
“Apa?”
mulutnya memang bertanya untuk aku, akan tetapi matanya menoleh ke arah lain.
Ternyata angkutan umum yang sudah setengah jam kami tunggu datang.
Ketika
dia akan memberhentikannya, aku menarik tangannya, “biarin aja angkotnya lewat.
Gue rasa kita masih perlu mengobrol disini. Gue gak masalah pulang lebih lama
dari biasanya. Lagi pula kalau masih hujan deras gini nanti gue turun dari
angkot dan jalan ke rumahnya kebasahan lagi. Baju gue udah mulai kering juga
disini.” Kemudian kami membiarkan angkutan itu lewat begitu saja.
“Oke.
Sekarang apa yang mau lo sampaiin ke gue. Cerita semuanya.” Dia mulai
menggunakan subjek gue dan elo lagi setelah sekitar tiga bulan dia rutin
menggunakan subjek aku dan kamu.
“Tiga
bulan lalu, yang pas kita jalan bareng. Terus pas pulang aku buat kamu marah
karena aku bilang sikap kita udah berlebihan kalau dalam ukuran teman dan
kemudian kamu cuek sama aku. Sms engga, boro-boro ngucapin selamat pagi.
Apalagi untuk telpon. Satu sekolah, satu lantai, tapi kalau ketemu gak pernah
menyapa. Seakan kita gak pernah kenal. Satu minggu kamu kayak gitu. Aku pikir
semuanya udah selesai sampai hari itu. Tiga malam berturut-turut aku menangis.
Aku pikir aku salah bicara sama kamu. Tapi aku pikir mungkin ini caranya agar
kita berhenti. Tapi tiba-tiba pas event itu kamu tarik tangan aku ke belakang
panggung padahal aku lagi sibuk mengurusi acara dan disitu kamu minta untuk aku
gak pergi dan kita kembali seperti dulu. Dan setelah hari itu kamu kembali
hubungi aku dan terus-terusan mencari aku kalau aku gak balas sms kamu. Lalu
semua keulang seperti awalnya sampai berjalan dua bulan hingga hari ini. Aku
capek ngikutin sikap kamu, mood kamu, yang kamu bisa ubah tiga ratus enam puluh
derajat tanpa proses. Semua teman-teman aku sudah melarang aku untuk berhenti
menghubungi kamu dan mencoba menjalani cerita baru sama yang lain. Tapi hati
aku milih kamu. Aku gak bisa menjalani cerita lain. Aku gak bisa jauh dari kamu
walaupun memang saat ini seperti aku harus memilih untuk mengabaikan nasehat
sahabat-sahabat aku.” Jelasku panjang lebar dan dia hanya menyimak.
“Sebenarnya
ini adalah satu hal yang sulit untuk gue
jalanin sama lu. Kadang gue harus berpikir panjang untuk maju. Bukan karena gue
takut, tapi gue cuma mau menyiapkan diri untuk lebih banyak menghadapi
resikonya. Lo tau kan kalau ada beberapa cewek di sekolah yang lagi suka sama gue
dan emang gue juga merespon mereka. Gue tau emang gue salah yang terus-terusan
menanggapi mereka padahal gue cuma mau berteman biasa sama mereka. Tapi, lo
juga tau kan sebagai perempuan pasti ada dong perasaan ingin lebih kalau udah
sering komunikasi. Dan jujur gue ngerasa ada di posisi yang rumit sedari
beberapa bulan yang lalu. Gue bingung buat ambil sikap. Gue dari dulu mau lo
untuk gue pilih. Tapi gue juga gak mau lo akan jadi punya masalah dengan
mereka. Pastilah gue udah bayangin itu, kalian pasti akan adu mulut selayaknya
perempuan. Gue gak mau ambil resiko yang jauh untuk orang yang akan gue pilih.
Gue perlu menyelesaikan urusan sama mereka terlebih dahulu baru gue tentuin
yang gue pilih.” Balasnya dengan penjelasan yang panjang juga. Kemudian dia
menarik nafas panjang sebagai jeda, “tapi, gue juga gak berani untuk
menjanjikan apa-apa sama lo selain gue mau buat lo bahagia ketika ada di
samping gue. Seperti saat ini.”
Aku
mendengarkan semua yang dia sampaikan dengan tatapan kosong menatap rintik hujan
di depan kita. Aku merasakan tidak ada yang jelas untuk kisah ini. Bagaimana
ini akan selesai? Ini tidak akan selesai hingga aku meninggalkannya dan
membiarkan kisah yang sudah terjalin selama lima bulan ini hanya sebagai
persinggahan saja.