Rabu, 25 September 2013

Setelah Kau Pergi



Suasana terasa sangat ramai dan dingin disini. Kumpulan air yang terus berlari berkejaran membuat suara gaduh mengganggu keheningan. Hembusan angin yang terus menerus menyentuh tubuh dengan penuh kelembutan. Menyentuh setiap ujung jemari yang sudah terkepal karena rasa dingin yang mencambuk kulit luar dari pergelangan tangan. Satu cahaya berwarna oranye menerangi tempat raga ini berdiri menatap langit yang sudah berwarna hitam pekat. Bentangan langit itu terlihat sangat tidak indah, tidak ada satu pun penerang disana. Hanya akan nampak sekumpulan awan hitam yang menyelimuti malam yang dingin. Dari sisi barat, sesekali terlihat satu garis cahaya yang keluar dari sekumpulan awan hitam. Garis yang secara samar namun bisa dibilang bentuknya seperti tanda yang diberikan Voldemort pada Harry Potter dalam filmnya tersebut dapat menandakan akan adanya tetesan air yang segera turun melanjuti kenampakan awan dan garis.
Masih dalam suasana gaduh dari kumpulan air yang saling berlomba untuk menghempas setiap butir pasir. Masih terasa dinginnya angin merenggut kehangatan malam. Aku duduk di bangku paling dekat dengan bibir pantai. Tempat yang selalu menjadi andalanku ketika aku harus memanjakan seseorang yang telah membuat hariku berubah. Bangku kayu itu tertancap pada pasir. Dengan dihadapkan pada satu meja bundar dan satu bangku kayu yang sama persis dengan yang aku duduki. Meja bundar yang berhiaskan dua tangkai bunga mawar merah dan satu tangkai bunga mawar putih sudah layak untuk segera digunakan. Dua piring diletakan berhadapan dengan masing-masing bangku. Di sampingnya sudah siap sendok, garpu, dan pisau. Dua gelas cantik juga sudah mendampingi. Lampion yang berwarna merah itu juga sudah siap menerangi makan malam setiap pasangan di mejanya masing-masing, termasuk di meja yang ada di hadapanku.
Telapak tanganku mengepal satu sama lain, ku sandarkan kepalan itu di depan mulutku. Kaki dan tanganku tidak berhenti bergerak untuk membunuh suasana menyebalkan ini. Aku gerakan kedua bola mataku ke kanan dan ke kiri secara bersamaan. Hanya satu yang aku harapkan disini. Tuhan menggerakkan dia untuk datang kesini menemani aku dalam dinginnya malam ini.
Sepuluh menit pertama, aku masih merasa bahwa aku menunggunya untuk datang dan duduk di depanku seperti biasanya. Seperti malam-malam indah sebelumnya. Malam yang tidak pernah aku lewati dengan hembusan angin sekencang ini, deburan ombak yang sangat ricuh, ataupun segaris kilat yang menakutiku dari datangnya hujan.
Waktu terus berjalan, air dari langit itu tidak juga turun. Seandainya turunpun, mungkin aku tidak akan beranjak dari sini tanpa hadirnya. Secara sadar, aku masih menunggunya disini. Menunggu keajaiban Tuhan.
Tapi mungkin aku harus mengerti. Dia tidak akan pernah datang lagi kesini. Bukan kesalahanku yang membuatnya seperti itu. Bukan juga salah orang tuanya, keluarganya, teman-temannya. Ternyata semua itu tentang dia.
Dia. Seorang teman, tempat curhat, yahoo answer pribadiku, solution maker dalam setiap masalahku, miss world dalam duniaku, penyanyi di panggung hiburanku, guru dari seluruh pelajaran hidupku, alarm di setiap pagiku, dosen pembimbing dalam setiap tugas-tugasku, dia adalah segalanya.
“Happy Birthday to you, Happy Birthday to you, Happy Birthday, Happy Birthday, Happy Birthday to…” aku menahan air mataku, “you.”
Terasa berat di tahun ini menyanyikan lagu spesial di hari spesialnya tapi tanpa kehadiran dirinya. Aku turunkan kepalan tanganku dan aku tundukan kepalaku. Terasa sepi disini. Di satu tempat dalam jiwaku. Walaupun disini akan selalu ada dia, disaat dia tidak akan pernah ada lagi untuk aku. Tempat ini akan selalu terasa seperti lubang hitam besar.
Hari pertama, hari kedua, hingga sekarang hari ketigapuluh, lubang itu tidak juga tertutup. Aku juga masih tidak tau bagaimana aku harus kembali tanpa dia. Tapi sepertinya sosok wanita seperti dia hanya satu, dan itu dia.
Hari itu, sebulan yang lalu. Dia pergi ke tempat yang tidak pernah aku singgahi. Dia bilang bahwa ia ingin berusaha mengejar impiannya menjadi seorang perancang busana ternama. Keinginan yang sudah ia bulatkan sejak kami melompat bersama di lapangan sekolah setelah seorang wanita separuh baya memberikan kabar gembira untuk murid kelas duabelas. Dia pergi dengan senyumannya yang indah itu dan memelukku untuk mengucapkan selamat tinggal.
Tiket pesawat tidak bisa dipulangkan, katanya saat aku mencegah ia untuk pergi. Aku merasa tidak perlu baginya pergi kesana tanpa ada aku di sampingnya untuk mendukungnya. Aku juga ingin bersama dia, berjalan bersama menuju apa yang ia inginkan. Sama seperti yang ia lakukan padaku enam bulan yang lalu. Saat ia berjanji untuk menemani hari-hariku kedepannya. Tapi ia, tetap dengan impiannya. Keputusan ia pergi meninggalkan aku adalah hal yang ia inginkan sepertinya.
Perempuan itu menginginkan aku bertahan tanpa adanya dia. Berjalan tanpa bimbingannya lagi. Seperti dulu saat aku belum mengenalnya di bangku sekolah. Namun, saat itu berbeda dengan aku yang sekarang setelah mengenal dia.
“Tuhan, andai ia bersama-Mu. Katakan padanya Tuhan, aku tidak mampu mengganti waktu duabelas tahunku mengenal dia dengan waktu seumur hidupku tanpa adanya dia. Tapi jika Engkau memang memilihnya untuk bahagia dengan-Mu. Bantu aku Tuhan, hapus luka ini tanpa hadirnya ia sebagai seorang calon pendamping hidupku hingga ia pergi ke tempat-Mu.”
Kemudian kurasakan angin lembut memelukku dengan kehangatan. Aku merasakan ia hadir disini atas izin Tuhan. Malam ini, dengan semua keributan dari suara ombak, aku memaksakan untuk memejamkan mata menikmatinya dan kemudian rintik hujan menyambut kepergiannya seperti siang itu di makam.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...