Suasana terasa sangat ramai dan dingin disini.
Kumpulan air yang terus berlari berkejaran membuat suara gaduh mengganggu
keheningan. Hembusan angin yang terus menerus menyentuh tubuh dengan penuh
kelembutan. Menyentuh setiap ujung jemari yang sudah terkepal karena rasa
dingin yang mencambuk kulit luar dari pergelangan tangan. Satu cahaya berwarna
oranye menerangi tempat raga ini berdiri menatap langit yang sudah berwarna
hitam pekat. Bentangan langit itu terlihat sangat tidak indah, tidak ada satu
pun penerang disana. Hanya akan nampak sekumpulan awan hitam yang menyelimuti
malam yang dingin. Dari sisi barat, sesekali terlihat satu garis cahaya yang
keluar dari sekumpulan awan hitam. Garis yang secara samar namun bisa dibilang
bentuknya seperti tanda yang diberikan Voldemort pada Harry Potter dalam
filmnya tersebut dapat menandakan akan adanya tetesan air yang segera turun
melanjuti kenampakan awan dan garis.
Masih dalam suasana gaduh dari kumpulan air yang
saling berlomba untuk menghempas setiap butir pasir. Masih terasa dinginnya
angin merenggut kehangatan malam. Aku duduk di bangku paling dekat dengan bibir
pantai. Tempat yang selalu menjadi andalanku ketika aku harus memanjakan
seseorang yang telah membuat hariku berubah. Bangku kayu itu tertancap pada
pasir. Dengan dihadapkan pada satu meja bundar dan satu bangku kayu yang sama
persis dengan yang aku duduki. Meja bundar yang berhiaskan dua tangkai bunga
mawar merah dan satu tangkai bunga mawar putih sudah layak untuk segera
digunakan. Dua piring diletakan berhadapan dengan masing-masing bangku. Di
sampingnya sudah siap sendok, garpu, dan pisau. Dua gelas cantik juga sudah
mendampingi. Lampion yang berwarna merah itu juga sudah siap menerangi makan
malam setiap pasangan di mejanya masing-masing, termasuk di meja yang ada di
hadapanku.
Telapak tanganku mengepal satu sama lain, ku
sandarkan kepalan itu di depan mulutku. Kaki dan tanganku tidak berhenti
bergerak untuk membunuh suasana menyebalkan ini. Aku gerakan kedua bola mataku
ke kanan dan ke kiri secara bersamaan. Hanya satu yang aku harapkan disini.
Tuhan menggerakkan dia untuk datang kesini menemani aku dalam dinginnya malam
ini.
Sepuluh menit pertama, aku masih merasa bahwa aku
menunggunya untuk datang dan duduk di depanku seperti biasanya. Seperti
malam-malam indah sebelumnya. Malam yang tidak pernah aku lewati dengan
hembusan angin sekencang ini, deburan ombak yang sangat ricuh, ataupun segaris
kilat yang menakutiku dari datangnya hujan.
Waktu terus berjalan, air dari langit itu tidak juga
turun. Seandainya turunpun, mungkin aku tidak akan beranjak dari sini tanpa
hadirnya. Secara sadar, aku masih menunggunya disini. Menunggu keajaiban Tuhan.
Tapi mungkin aku harus mengerti. Dia tidak akan
pernah datang lagi kesini. Bukan kesalahanku yang membuatnya seperti itu. Bukan
juga salah orang tuanya, keluarganya, teman-temannya. Ternyata semua itu
tentang dia.
Dia. Seorang teman, tempat curhat, yahoo answer
pribadiku, solution maker dalam setiap masalahku, miss world dalam duniaku,
penyanyi di panggung hiburanku, guru dari seluruh pelajaran hidupku, alarm di
setiap pagiku, dosen pembimbing dalam setiap tugas-tugasku, dia adalah
segalanya.
“Happy Birthday to you, Happy Birthday to you, Happy
Birthday, Happy Birthday, Happy Birthday to…” aku menahan air mataku, “you.”
Terasa berat di tahun ini menyanyikan lagu spesial
di hari spesialnya tapi tanpa kehadiran dirinya. Aku turunkan kepalan tanganku
dan aku tundukan kepalaku. Terasa sepi disini. Di satu tempat dalam jiwaku.
Walaupun disini akan selalu ada dia, disaat dia tidak akan pernah ada lagi
untuk aku. Tempat ini akan selalu terasa seperti lubang hitam besar.
Hari pertama, hari kedua, hingga sekarang hari
ketigapuluh, lubang itu tidak juga tertutup. Aku juga masih tidak tau bagaimana
aku harus kembali tanpa dia. Tapi sepertinya sosok wanita seperti dia hanya
satu, dan itu dia.
Hari itu, sebulan yang lalu. Dia pergi ke tempat
yang tidak pernah aku singgahi. Dia bilang bahwa ia ingin berusaha mengejar
impiannya menjadi seorang perancang busana ternama. Keinginan yang sudah ia
bulatkan sejak kami melompat bersama di lapangan sekolah setelah seorang wanita
separuh baya memberikan kabar gembira untuk murid kelas duabelas. Dia pergi
dengan senyumannya yang indah itu dan memelukku untuk mengucapkan selamat
tinggal.
Tiket pesawat tidak bisa dipulangkan, katanya saat
aku mencegah ia untuk pergi. Aku merasa tidak perlu baginya pergi kesana tanpa
ada aku di sampingnya untuk mendukungnya. Aku juga ingin bersama dia, berjalan
bersama menuju apa yang ia inginkan. Sama seperti yang ia lakukan padaku enam
bulan yang lalu. Saat ia berjanji untuk menemani hari-hariku kedepannya. Tapi
ia, tetap dengan impiannya. Keputusan ia pergi meninggalkan aku adalah hal yang
ia inginkan sepertinya.
Perempuan itu menginginkan aku bertahan tanpa adanya
dia. Berjalan tanpa bimbingannya lagi. Seperti dulu saat aku belum mengenalnya
di bangku sekolah. Namun, saat itu berbeda dengan aku yang sekarang setelah
mengenal dia.
“Tuhan, andai ia bersama-Mu. Katakan padanya Tuhan,
aku tidak mampu mengganti waktu duabelas tahunku mengenal dia dengan waktu
seumur hidupku tanpa adanya dia. Tapi jika Engkau memang memilihnya untuk
bahagia dengan-Mu. Bantu aku Tuhan, hapus luka ini tanpa hadirnya ia sebagai
seorang calon pendamping hidupku hingga ia pergi ke tempat-Mu.”
Kemudian kurasakan angin lembut memelukku dengan
kehangatan. Aku merasakan ia hadir disini atas izin Tuhan. Malam ini, dengan
semua keributan dari suara ombak, aku memaksakan untuk memejamkan mata
menikmatinya dan kemudian rintik hujan menyambut kepergiannya seperti siang itu
di makam.