Minggu, 12 Mei 2013

Kejutan Dari Seniman Jalanan

Sore itu seperti biasanya, gue pulang dengan kendaraan roda empat berwarna hijau-putih dekil dan dengan tampilannya yang menunjukan betapa tuanya kendaraan ini. Kopaja, biasa disebutnya. Duduk manis di bangku yang sudah banyak kerusakan, juga besi yang menopangnya sudah sangat berkarat. Mungkin pemilik memang tidak pernah mencoba merawat tampilannya. Hmm ya sudah, bukan itu yang menjadi topik pemikiran gue sore ini.
Ya dengan suasana yang seperti biasanya bis kota sore hari, sesak, penuh, bau keringat, huh kenyataan hidup di ibu kota, gue diam dan sesekali melihat ke layar telepon genggam gue untuk mengecek ada atau tidaknya pesan singkat yang masuk dari pacar gue. Selalu. Hal itu gue selingi dengan mencoba melihat keadaan sekitar gue. Wajah-wajah pekerja yang sudah sangat lelah beraktifitas, pelajar-pelajar yang lelah berfikir dan menerima ilmu, atau beberappa orang yang masih segar wajahnya karena memang punya janji di sore hari. Dinamika sore hari tampaknya.
Tak jauh dari tempat gue naik angkutan ini, menyusul beberapa orang masuk dan sesaki bis, semakin bau dan penat wujudnya. Gue menatap seorang lelaki, mungkin umurnya belum ada 30 tahun, wajahnya sih lumayan, gak jelek, berjenggot, berkumis, berkacamata. Gue pikir dia itu mahasiswa dari kampus gue juga, secara dia naik gak jauh dari tempat gue naik. Hanya beberapa meter. Selain itu juga dia memakai ransel yang mendukung tampilannya sebagai mahasiswa. Hmm.
Begitu sang kenek ini menagih ongkos perjalanan laki-laki itu, dia hanya merapatkan tangannya menunjukan ia meminta maaf dan menggerakan bibirnya menunjukan satu percakapan yang membuat laki-laki itu bukanlah seorang penumpang. Hmm mungkin dia pengamen, pengamen sekarang kan tampilannya keren, pikirku.
Ya benar, dia itu pengamen, atau bahasa halusnya, seniman jalanan. Gak lama dari itu dia mengeluarkan satu buah suling dari ranselnya yang berwarna hitam itu. Gue semakin yakin kalau dia adalah seorang pengamen yang akan bernyanyi sekaligus memainkan suling. Wah jarang juga nih gue ketemu pengamen kayak gini di kopaja, lagi-lagi gue berbicara dalam hati.
Gue memalingkan pandangan gue ke luar bis, melihat keadaan jalanan yang padat dengan kendaraan bermotor roda dua. Makin banyak dan semakin merajalela. Ketika gue asik dengan pandangan gue, seketika gue terkejut dan menoleh ke laki-laki tadi. Wajah gue pasti menunjukan mimik terkejut. Laki-laki yang gue bilang 'lumayan' ganteng dan yang sempat gue pikir seorang mahasiswa, dia berbicara dengan bahasa isyarat. Hah? Dia gagu? Ya Allah, sayang banget, padahal cakep, kok gagu? Pikir gue dari sisi penilaian gue dari luar. Laki-laki itu memberi isyarat yang sama sekali gak gue ngerti artinya apa, diselingi dengan permainan sulingnya yang menurut gue sebagai orang awam sih ya baguss deh. Ada sekitar 7 menit dia memainkan suling dan berpuisi dengan isyaratnya. Hmm sayang banget yah ini orang, kembali gue berkata dalam hati.
Di tengah kegiatan laki-laki itu, sempat terpikir sama gue kalau orang ini adalah orang jahat yang lagi mencoba menghipnotis penumpang dengan suara yang keluar dari sulingnya. Ya namanya orang zaman sekarang, berbuat jahat mah gimana saja bisa. Itu sih menurut gue. Lanjutlah karena gue waspada, gue dzikir dalam hati, supaya keadaan gue ini dalam lindungan Allah. Ketika gue konsentrasi dalam dzikir gue, Ibu tua yang duduk di samping gue memecahkan dengan bertanya 'itu beneran dia ga bisa ngomong'. Gue jawab dengan ketidaktahuan dan kembali meneruskan dzikir gue. Fokus, konsentrasi, eling.
Seraya menyebut takbir dalam hati, gue mencoba bermain dengan mata agar terus dalam kondisi fokus, melihat keadaan sekitar, jalanan, dalam bis, sesekali melihat ke laki-laki itu. Lagi-lagi gue terkejut. Konsentrasi gue dan dzikir gue terhenti ketika laki-laki itu mengeluarkan kata-kata dan berbicara dengan lancarnya. Ha? Ternyata dia gak gagu. Dia cuma memainkan perannya. Dia mulai mengeluarkan kata-kata yang menurut gue itu menyentuh. Pantasnya sih gue juga simpatik dan berusaha untuk mengintropeksi diri. Dia mengingatkan kita akan hal-hal kecil yang gak pernah kita bayangkan. Hal kecil seperti mulai mendengarkan apa yang orang bicarakan di depan kita. Menghargai tiap jerih payah orang-orang yang ada di sekitar kita. Mensyukuri apapun yang kita punya, yang telah Tuhan berikan kepada kita. Sekecil dan semudah bernafas, berbicara, melihat, mendengar. Cukup menyentuh. Dengan kata-kata sederhananya, laki-laki itu membuka pikiran gue untuk mulai intropeksi. Terlebih atas apa yang gue alami kemarin dan tadi paginya. Mungkin, Allah sedang membuat gue untuk kembali berpikir dan kembali merenungkan atas kesalahan yang gue lakuin.
Satu hal kecil ini yang gue dapet dari sore yang begitu penat, di luar dari biasanya.

Salah Tingkah

"Kamu mau duduk dimana, Res?"
"Aku duduk samping Firman saja."
Pilihan yang tepat untuk merangkai kisah melepas rindu.
Jantungku kembali berdegup kencang, bibir bawahku mulai ku gigit yang kemudian gigi ini saling bergesekan. Mataku terpandang pada Olay yang duduk di hadapanku. Mulutku masih terkunci untuk memulai pembicaraan padanya. Rasa grogi ini belum mampu aku kendalikan. Semua masih berjalan dengan kurang rasa percaya diri.
"Cie, yang hari ini Anniversarry." Olay memecahkan rasa grogi itu, yang membuatku menoleh ke sebelah kiri, reflek.
Aku melihatnya menarik bibirnya ke kanan, merasakan gerak pundaknya yang terbawa arus hembusan dari mulut. Mulutku terbuka sedikit, mataku terbelak. Dan aku, masih dalam rasa grogi.
"Woi! Kenapa tercengang gitu?" Olay menegurku.
"Ha? Engga." Pandangan ini beralih dengan cepat, dari Firman menuju Olay, kemudian kembali ke Firman.
Masih melihatnya asik dengan smartphonenya dan juga tetap dengan posisi bibir yang ia tarikkan ke kanan.
Mataku mulai menjalar mengarungi setiap lekukan indah di wajahnya. Matanya, masih indah seperti ketika ia menatapku dulu hanya dengan jarak satu jengkal. Hidungnya, aduhai mancungnya membuat bibirku kembali ku gigit. Pipinya yang terlihat melengkung karena senyumnya saat itu. Bibirnya, mulai kembali tersenyum normal dan secara proporsional, menawan dan sexy. Dagunya, kini sudah mulai terlihat jelas janggutnya. Tuhan, wajahnya itu menggetarkan hati untuk serius memintanya dari Engkau.
"Apa kabar?" Oh tidak ! Nekat sekali aku bertanya padanya. Tasku? Mana tasku. Aku harus mengalihkan rasa rinduku dengan tasku. Ku temukan. Dompet? Mana dompetku yang ku taruh dalam tas? Aku harus menemukannya untuk melanjutkan pengalihan. Mati aku! Aku pasti terlihat sangat panik. Aku pasti terlihat sangat salah tingkah.
"Baik, Res. Kamu?". Aku tercengang mendengarnya menjawab pertanyaanku. Berhenti. Serasa waktu berhenti. Tanganku reflek terdiam. Mataku kembali terbuka lebar karena terkejut."Tadi dari rumah teman? Jadinya kamu telat?" Ia berbisik di telingaku.
Dalam kondisi mematung seperti ini, apa yang harus ku lakukan kemudian? Menarik nafas terlebih dahulu baru menjawab dengan tenang atau mengigit bibir seperti biasa untuk menahan rasa grogi kemudian baru menjawab atau melanjutkan mencari dompet sekaligus menjawab.
Diam. Itu yang dilakukan oleh aku untuk lima detik mengejutkan ini.
Tarik nafas, dan, "aku baik, Fir. Iya tadi aku menginap di rumah temanku." Sangat singkat tanpa basa-basi. Mungkin itu efek dari rasa grogi.
Dia mengambil smartphoneku, aku tidak tau mau dia apakan. Aku melirik untuk mengintip pun tidak terlihat. Itu karena antispy yang ku pasangkan pada layarnya.
"Nih." Ia mengembalikan benda itu, kemudian menatapku dalam. Aku perhatikan matanya, kali ini jelas dibandingkan yang tadi. Luar biasa. Tatapan yang sudah lama tak kulihat itu masih saja sama. Selalu dapat membuat aku lemah dan tidak dapat bersikap normal. Ini gila !
Lalu aku sandarkan punggungku di bangku supaya aku merasa lebih nyaman. Tapi. Dia pun bersandar di bangkunya, itu membuat lengan kanannya itu berada di depan lengan kiriku. Tuhan. Jangan sampai dia menyadari kalau perempuan di sampingnya itu sedang merasakan gejolak perasaan melepas rindu yang sangat kacau di dalam. Tuhan. Ingin sekali rasanya memegang lengannya, menggandengnya hanya untuk beberapa saat saja. Biarkan rasa grogi ini berubah menjadi kenyamanan. Dan rasa rindu ini pun hilang karena hari ini.
Jantungku masih dengan tempo yang cepat. Mataku masih menatap kosong ke arah Olay. Duh, luar biasa. Take control please, you can do it. Selalu itu menjadi kata-kata motivasi. Tapi. Hah. Sudahlah. Memang susah diandalkan.
Dia kembali mengajakku bicara, untuk kesekian kalinya kami saling menatap. Dan setiap tatapan itu, membuat rasa grogi ini tak kunjung berhenti. Setidaknya, rasa grogi itu menghapus kerinduan atasnya selama ini. Aku mengedipkan mataku dan menarik nafas panjang yang kemudian aku hembuskan. Aku lakukan hanya untuk menghilangkan rasa grogi ini.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...