Sore itu seperti biasanya, gue pulang dengan kendaraan roda empat
berwarna hijau-putih dekil dan dengan tampilannya yang menunjukan betapa
tuanya kendaraan ini. Kopaja, biasa disebutnya. Duduk manis di bangku
yang sudah banyak kerusakan, juga besi yang menopangnya sudah sangat
berkarat. Mungkin pemilik memang tidak pernah mencoba merawat
tampilannya. Hmm ya sudah, bukan itu yang menjadi topik pemikiran gue
sore ini.
Ya dengan suasana yang seperti biasanya bis kota sore hari, sesak,
penuh, bau keringat, huh kenyataan hidup di ibu kota, gue diam dan
sesekali melihat ke layar telepon genggam gue untuk mengecek ada atau
tidaknya pesan singkat yang masuk dari pacar gue. Selalu. Hal itu gue
selingi dengan mencoba melihat keadaan sekitar gue. Wajah-wajah pekerja
yang sudah sangat lelah beraktifitas, pelajar-pelajar yang lelah
berfikir dan menerima ilmu, atau beberappa orang yang masih segar
wajahnya karena memang punya janji di sore hari. Dinamika sore hari
tampaknya.
Tak jauh dari tempat gue naik angkutan ini, menyusul beberapa orang
masuk dan sesaki bis, semakin bau dan penat wujudnya. Gue menatap
seorang lelaki, mungkin umurnya belum ada 30 tahun, wajahnya sih
lumayan, gak jelek, berjenggot, berkumis, berkacamata. Gue pikir dia itu
mahasiswa dari kampus gue juga, secara dia naik gak jauh dari tempat
gue naik. Hanya beberapa meter. Selain itu juga dia memakai ransel yang
mendukung tampilannya sebagai mahasiswa. Hmm.
Begitu sang kenek ini menagih ongkos perjalanan laki-laki itu, dia
hanya merapatkan tangannya menunjukan ia meminta maaf dan menggerakan
bibirnya menunjukan satu percakapan yang membuat laki-laki itu bukanlah
seorang penumpang. Hmm mungkin dia pengamen, pengamen sekarang kan
tampilannya keren, pikirku.
Ya benar, dia itu pengamen, atau bahasa halusnya, seniman jalanan.
Gak lama dari itu dia mengeluarkan satu buah suling dari ranselnya yang
berwarna hitam itu. Gue semakin yakin kalau dia adalah seorang pengamen
yang akan bernyanyi sekaligus memainkan suling. Wah jarang juga nih gue
ketemu pengamen kayak gini di kopaja, lagi-lagi gue berbicara dalam
hati.
Gue memalingkan pandangan gue ke luar bis, melihat keadaan jalanan
yang padat dengan kendaraan bermotor roda dua. Makin banyak dan semakin
merajalela. Ketika gue asik dengan pandangan gue, seketika gue terkejut
dan menoleh ke laki-laki tadi. Wajah gue pasti menunjukan mimik
terkejut. Laki-laki yang gue bilang 'lumayan' ganteng dan yang sempat
gue pikir seorang mahasiswa, dia berbicara dengan bahasa isyarat. Hah?
Dia gagu? Ya Allah, sayang banget, padahal cakep, kok gagu? Pikir gue
dari sisi penilaian gue dari luar. Laki-laki itu memberi isyarat yang
sama sekali gak gue ngerti artinya apa, diselingi dengan permainan
sulingnya yang menurut gue sebagai orang awam sih ya baguss deh. Ada
sekitar 7 menit dia memainkan suling dan berpuisi dengan isyaratnya. Hmm
sayang banget yah ini orang, kembali gue berkata dalam hati.
Di tengah kegiatan laki-laki itu, sempat terpikir sama gue kalau
orang ini adalah orang jahat yang lagi mencoba menghipnotis penumpang
dengan suara yang keluar dari sulingnya. Ya namanya orang zaman
sekarang, berbuat jahat mah gimana saja bisa. Itu sih menurut gue.
Lanjutlah karena gue waspada, gue dzikir dalam hati, supaya keadaan gue
ini dalam lindungan Allah. Ketika gue konsentrasi dalam dzikir gue, Ibu
tua yang duduk di samping gue memecahkan dengan bertanya 'itu beneran
dia ga bisa ngomong'. Gue jawab dengan ketidaktahuan dan kembali
meneruskan dzikir gue. Fokus, konsentrasi, eling.
Seraya menyebut takbir dalam hati, gue mencoba bermain dengan mata
agar terus dalam kondisi fokus, melihat keadaan sekitar, jalanan, dalam
bis, sesekali melihat ke laki-laki itu. Lagi-lagi gue terkejut.
Konsentrasi gue dan dzikir gue terhenti ketika laki-laki itu
mengeluarkan kata-kata dan berbicara dengan lancarnya. Ha? Ternyata dia
gak gagu. Dia cuma memainkan perannya. Dia mulai mengeluarkan kata-kata
yang menurut gue itu menyentuh. Pantasnya sih gue juga simpatik dan
berusaha untuk mengintropeksi diri. Dia mengingatkan kita akan hal-hal
kecil yang gak pernah kita bayangkan. Hal kecil seperti mulai
mendengarkan apa yang orang bicarakan di depan kita. Menghargai tiap
jerih payah orang-orang yang ada di sekitar kita. Mensyukuri apapun yang
kita punya, yang telah Tuhan berikan kepada kita. Sekecil dan semudah
bernafas, berbicara, melihat, mendengar. Cukup menyentuh. Dengan
kata-kata sederhananya, laki-laki itu membuka pikiran gue untuk mulai
intropeksi. Terlebih atas apa yang gue alami kemarin dan tadi paginya.
Mungkin, Allah sedang membuat gue untuk kembali berpikir dan kembali
merenungkan atas kesalahan yang gue lakuin.
Satu hal kecil ini yang gue dapet dari sore yang begitu penat, di luar dari biasanya.
Melihat apa yang dilihat. Memikirkan apa yang terlintas. Menulis apa yang ingin ditulis.
Minggu, 12 Mei 2013
Salah Tingkah
"Kamu mau duduk dimana, Res?"
"Aku duduk samping Firman saja."
Pilihan yang tepat untuk merangkai kisah melepas rindu.
Jantungku kembali berdegup kencang, bibir bawahku mulai ku gigit yang kemudian gigi ini saling bergesekan. Mataku terpandang pada Olay yang duduk di hadapanku. Mulutku masih terkunci untuk memulai pembicaraan padanya. Rasa grogi ini belum mampu aku kendalikan. Semua masih berjalan dengan kurang rasa percaya diri.
"Cie, yang hari ini Anniversarry." Olay memecahkan rasa grogi itu, yang membuatku menoleh ke sebelah kiri, reflek.
Aku melihatnya menarik bibirnya ke kanan, merasakan gerak pundaknya yang terbawa arus hembusan dari mulut. Mulutku terbuka sedikit, mataku terbelak. Dan aku, masih dalam rasa grogi.
"Woi! Kenapa tercengang gitu?" Olay menegurku.
"Ha? Engga." Pandangan ini beralih dengan cepat, dari Firman menuju Olay, kemudian kembali ke Firman.
Masih melihatnya asik dengan smartphonenya dan juga tetap dengan posisi bibir yang ia tarikkan ke kanan.
Mataku mulai menjalar mengarungi setiap lekukan indah di wajahnya. Matanya, masih indah seperti ketika ia menatapku dulu hanya dengan jarak satu jengkal. Hidungnya, aduhai mancungnya membuat bibirku kembali ku gigit. Pipinya yang terlihat melengkung karena senyumnya saat itu. Bibirnya, mulai kembali tersenyum normal dan secara proporsional, menawan dan sexy. Dagunya, kini sudah mulai terlihat jelas janggutnya. Tuhan, wajahnya itu menggetarkan hati untuk serius memintanya dari Engkau.
"Apa kabar?" Oh tidak ! Nekat sekali aku bertanya padanya. Tasku? Mana tasku. Aku harus mengalihkan rasa rinduku dengan tasku. Ku temukan. Dompet? Mana dompetku yang ku taruh dalam tas? Aku harus menemukannya untuk melanjutkan pengalihan. Mati aku! Aku pasti terlihat sangat panik. Aku pasti terlihat sangat salah tingkah.
"Baik, Res. Kamu?". Aku tercengang mendengarnya menjawab pertanyaanku. Berhenti. Serasa waktu berhenti. Tanganku reflek terdiam. Mataku kembali terbuka lebar karena terkejut."Tadi dari rumah teman? Jadinya kamu telat?" Ia berbisik di telingaku.
Dalam kondisi mematung seperti ini, apa yang harus ku lakukan kemudian? Menarik nafas terlebih dahulu baru menjawab dengan tenang atau mengigit bibir seperti biasa untuk menahan rasa grogi kemudian baru menjawab atau melanjutkan mencari dompet sekaligus menjawab.
Diam. Itu yang dilakukan oleh aku untuk lima detik mengejutkan ini.
Tarik nafas, dan, "aku baik, Fir. Iya tadi aku menginap di rumah temanku." Sangat singkat tanpa basa-basi. Mungkin itu efek dari rasa grogi.
Dia mengambil smartphoneku, aku tidak tau mau dia apakan. Aku melirik untuk mengintip pun tidak terlihat. Itu karena antispy yang ku pasangkan pada layarnya.
"Nih." Ia mengembalikan benda itu, kemudian menatapku dalam. Aku perhatikan matanya, kali ini jelas dibandingkan yang tadi. Luar biasa. Tatapan yang sudah lama tak kulihat itu masih saja sama. Selalu dapat membuat aku lemah dan tidak dapat bersikap normal. Ini gila !
Lalu aku sandarkan punggungku di bangku supaya aku merasa lebih nyaman. Tapi. Dia pun bersandar di bangkunya, itu membuat lengan kanannya itu berada di depan lengan kiriku. Tuhan. Jangan sampai dia menyadari kalau perempuan di sampingnya itu sedang merasakan gejolak perasaan melepas rindu yang sangat kacau di dalam. Tuhan. Ingin sekali rasanya memegang lengannya, menggandengnya hanya untuk beberapa saat saja. Biarkan rasa grogi ini berubah menjadi kenyamanan. Dan rasa rindu ini pun hilang karena hari ini.
Jantungku masih dengan tempo yang cepat. Mataku masih menatap kosong ke arah Olay. Duh, luar biasa. Take control please, you can do it. Selalu itu menjadi kata-kata motivasi. Tapi. Hah. Sudahlah. Memang susah diandalkan.
Dia kembali mengajakku bicara, untuk kesekian kalinya kami saling menatap. Dan setiap tatapan itu, membuat rasa grogi ini tak kunjung berhenti. Setidaknya, rasa grogi itu menghapus kerinduan atasnya selama ini. Aku mengedipkan mataku dan menarik nafas panjang yang kemudian aku hembuskan. Aku lakukan hanya untuk menghilangkan rasa grogi ini.
"Aku duduk samping Firman saja."
Pilihan yang tepat untuk merangkai kisah melepas rindu.
Jantungku kembali berdegup kencang, bibir bawahku mulai ku gigit yang kemudian gigi ini saling bergesekan. Mataku terpandang pada Olay yang duduk di hadapanku. Mulutku masih terkunci untuk memulai pembicaraan padanya. Rasa grogi ini belum mampu aku kendalikan. Semua masih berjalan dengan kurang rasa percaya diri.
"Cie, yang hari ini Anniversarry." Olay memecahkan rasa grogi itu, yang membuatku menoleh ke sebelah kiri, reflek.
Aku melihatnya menarik bibirnya ke kanan, merasakan gerak pundaknya yang terbawa arus hembusan dari mulut. Mulutku terbuka sedikit, mataku terbelak. Dan aku, masih dalam rasa grogi.
"Woi! Kenapa tercengang gitu?" Olay menegurku.
"Ha? Engga." Pandangan ini beralih dengan cepat, dari Firman menuju Olay, kemudian kembali ke Firman.
Masih melihatnya asik dengan smartphonenya dan juga tetap dengan posisi bibir yang ia tarikkan ke kanan.
Mataku mulai menjalar mengarungi setiap lekukan indah di wajahnya. Matanya, masih indah seperti ketika ia menatapku dulu hanya dengan jarak satu jengkal. Hidungnya, aduhai mancungnya membuat bibirku kembali ku gigit. Pipinya yang terlihat melengkung karena senyumnya saat itu. Bibirnya, mulai kembali tersenyum normal dan secara proporsional, menawan dan sexy. Dagunya, kini sudah mulai terlihat jelas janggutnya. Tuhan, wajahnya itu menggetarkan hati untuk serius memintanya dari Engkau.
"Apa kabar?" Oh tidak ! Nekat sekali aku bertanya padanya. Tasku? Mana tasku. Aku harus mengalihkan rasa rinduku dengan tasku. Ku temukan. Dompet? Mana dompetku yang ku taruh dalam tas? Aku harus menemukannya untuk melanjutkan pengalihan. Mati aku! Aku pasti terlihat sangat panik. Aku pasti terlihat sangat salah tingkah.
"Baik, Res. Kamu?". Aku tercengang mendengarnya menjawab pertanyaanku. Berhenti. Serasa waktu berhenti. Tanganku reflek terdiam. Mataku kembali terbuka lebar karena terkejut."Tadi dari rumah teman? Jadinya kamu telat?" Ia berbisik di telingaku.
Dalam kondisi mematung seperti ini, apa yang harus ku lakukan kemudian? Menarik nafas terlebih dahulu baru menjawab dengan tenang atau mengigit bibir seperti biasa untuk menahan rasa grogi kemudian baru menjawab atau melanjutkan mencari dompet sekaligus menjawab.
Diam. Itu yang dilakukan oleh aku untuk lima detik mengejutkan ini.
Tarik nafas, dan, "aku baik, Fir. Iya tadi aku menginap di rumah temanku." Sangat singkat tanpa basa-basi. Mungkin itu efek dari rasa grogi.
Dia mengambil smartphoneku, aku tidak tau mau dia apakan. Aku melirik untuk mengintip pun tidak terlihat. Itu karena antispy yang ku pasangkan pada layarnya.
"Nih." Ia mengembalikan benda itu, kemudian menatapku dalam. Aku perhatikan matanya, kali ini jelas dibandingkan yang tadi. Luar biasa. Tatapan yang sudah lama tak kulihat itu masih saja sama. Selalu dapat membuat aku lemah dan tidak dapat bersikap normal. Ini gila !
Lalu aku sandarkan punggungku di bangku supaya aku merasa lebih nyaman. Tapi. Dia pun bersandar di bangkunya, itu membuat lengan kanannya itu berada di depan lengan kiriku. Tuhan. Jangan sampai dia menyadari kalau perempuan di sampingnya itu sedang merasakan gejolak perasaan melepas rindu yang sangat kacau di dalam. Tuhan. Ingin sekali rasanya memegang lengannya, menggandengnya hanya untuk beberapa saat saja. Biarkan rasa grogi ini berubah menjadi kenyamanan. Dan rasa rindu ini pun hilang karena hari ini.
Jantungku masih dengan tempo yang cepat. Mataku masih menatap kosong ke arah Olay. Duh, luar biasa. Take control please, you can do it. Selalu itu menjadi kata-kata motivasi. Tapi. Hah. Sudahlah. Memang susah diandalkan.
Dia kembali mengajakku bicara, untuk kesekian kalinya kami saling menatap. Dan setiap tatapan itu, membuat rasa grogi ini tak kunjung berhenti. Setidaknya, rasa grogi itu menghapus kerinduan atasnya selama ini. Aku mengedipkan mataku dan menarik nafas panjang yang kemudian aku hembuskan. Aku lakukan hanya untuk menghilangkan rasa grogi ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV
Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...
-
Contoh dialog MAKING REQUEST jangan lupa mampir ke -> http://mymudarsih.blogspot.com/search/label/CERPEN yaaa (´ ⌣ `ʃƪ) thank youuu...
-
S a t u d a ri se j u t a c e r i t a Guys, gue pernah ngebahas kan tentang kelas yang pernah gue singgahin di SMA ini. Yaa .. yang gu...
-
Ass. Yang terhormat Ibu kepala sekolah, Yang terhormat Bapak/Ibu guru panitia pendamping acara pelepasan kelas XII tahun 2010/2011. serta...