Falling in love with you, it's like a drug
Once tried, it's hard to stop. There is no you, I'm gonna sick.
You always I needed if I'm going crazy
Everytime I spend thinking about how can I get you?
I'm willing to be bad for you.
Your presence is like a heaven of my flat world.
Always makes me laugh even though my heart is crying.
You make the world I lived is very easy when you're there with me.
You make me feel brave and challenged to fight the world.
Melihat apa yang dilihat. Memikirkan apa yang terlintas. Menulis apa yang ingin ditulis.
Jumat, 18 Juli 2014
Namanya Masih Menjadi Mimpi Buruk Gue
Namanya masih jadi mimpi buruk buat gue.
Itu yang gue rasakan seketika sesaat setelah teman tongkrongan gue menyebut satu nama yang gak asing pastinya. Badmood? Pasti! Buktinya? Gue langsung memutuskan untuk pulang. Padahal Ibu atau Ayah gue sama sekali belum menyuruh gue pulang seperti biasanya.
Mata gue? Jelas menggambarkan kecemburuan yang teramat sangat. Wajah? Sudah pasti menunjukkan mimik emosi yang memuncak. Walaupun gue tutupin itu semua dengan gurauan penutup sebelum gue pergi ke parkiran. Langkah kaki gue juga sudah seperti orang yang sedang muak dengan keadaan yang baru saja dilewati. Entahlah, yang jelas mood gue sudah buruk banget sekarang.
Di parkiran, gue melampiaskan semuanya. Gue kucek-kucek baju gue, gue pukulin speedometer motor gue. Gue acak-acak kerudung gue sendiri. Tapi itu doang yang bisa gue lakukan. Masih ada yang mengganjal di tenggorokan. Yaitu suara emosi yang mau banget gue keluarin sekencang-kencangnya.
Cukup puas dengan melampiaskan emosi, gue bersegera menyalakan mesin motor dan mengeluarkannya dari deretan moto yang terparkir. Sesaat sebelum gue menarik pedal gas, seseorang menepak pundah gue dari belakang. Otomatis gue gak jadi menarik pedalnya. Gue menoleh ke belakang.
"Elo? Ada apa?" Ucap gue dengan nada mencoba tenang. Gue gak mau dia mendapatkan apa yang sedang gue rasakan.
"Mau langsung pulang? Gue temani yah sampai rumah. Gak baik perempuan pulang sendirian, malam pula. Jalanan ke rumah lo kan gelap dan sepi."
"Gak. Gak perlu. Gue biasa pulang sendiri kok. Sekarang juga baru jam sepuluh. Biasanya jam sebelas juga gue nyantai aja."
"Biasanya kan lo pulang malem juga gak ada gue. Sekarang ada gue dan gue gak mau lihat perempuan pulang malem-malem sendirian."
"Udahlah, gak perlu. Gue bisa sendiri. Gue kan princess yang kuat." Nada bicara gue mulai tinggi karena gue ikut terbawa emosi mendengar kalimat keras kepala orang ini.
"Tapi, gak ada princess yang pulang sendiri. Ada pangeran atau jongosnya deh yang mengantar princess itu sampai ke depan istana."
Gue menarik nafas panjang, "okelah kalau lo memaksa."
"Gue akan mengikuti lo dari belakang ya. Jangan mengebut! Biar gue gak ketinggalan jejak lo."
"Ya sudah. Cepat ambil motor lo!"
Setelah ia selesai menyalakan motornya, kita jalan bersamaan. Sekitar lima belas menit kita berkendara menuju rumah gue. Sampai di depan gerbang, gue menawarkan dia untuk mampir hanya sekedar minum teh atau makan biskuit. Dengan ramah, dia menerima tawaran gue.
"Ini tehnya dan ini biskuitnya. Dicelupin lebih enak." Terjalanilah tawaran pertama gue. Kemudian, gue duduk di kursi samping dia.
Dia langsung menyeruput teh yang gue buat barusan. Gue menarik nafas panjang kembali dan membuka smartphone yang ada di saku celana jeans gue. Gue balas satu obrolan dari satu teman dekat gue. Setelah itu, gue kembali fokus terhadap orang di samping gue.
"Udah lama ya gue gak kesini? Setahun ada?"
"Enggalah, terakhir kan abis lebaran lo kesini."
"Oh iya." Dia menjedakan pembicaraannya untuk mengambil biskuit kelapa, "ada apa?"
"Ada apa? Maksudnya?" Gue mulai merasa bingung dengan pertanyaan orang ini.
"Iya, tadi ada apa? Tiba-tiba mau pulang? Gue tau, lo biasa pulang jam sebelasan. Lo akan pulang kalau orang tua lo sudah menyuruh balik kan? Terus, kenapa tadi lo pulang buru-buru?"
"Gak, gak ada apa-apa. Karena udah malam saja. Maka dari itu gue pulang."
"Yakin?"
"I... Iya... Yakinlah..." Gue mulai curiga dengan pertanyaannya. Pikiran gue menunjukkan kalau dia tau apa yang gue rasakan.
"Bukan karena itu sih. Mata sama wajah lo tuh gak bisa bohongin gue kali. Ceritalah sama gue. Lo udah gak pernah cerita sama gue."
"Cerita apa? Apa yang perlu gue ceritain?"
"Lo hutang banyak loh sama gue. Hutang banyak cerita. Lo gak inget? Waktu gue pergi, lo bilang sama gue kalau gue sudah pulang, lo akan cerita semua yang terjadi sama lo ke gue."
"Masa sih? Gue gak inget pernah ngomong kayak gitu."
"Iya, lo pernah ngomong kayak gitu."
Gue memainkan ujung jilbab, "gue... Gue gak kenapa-kenapa. Serius."
"Ah lo masih kaku saja sama gue!" Dia menunduk dan kemudian tatapannya penuh ke gue. Dia pegang telapak tangan gue, "gara-gara sebuah nama? Nama perempuan itu?"
Gue membalas tatapannya, gue mulai merasa ingin meneteskan air mata. Gue lepas tangannya dari tangan gue. Gue gak mau banyak hal terjadi disini.
"Tuh! Mata lo gak bisa bohong! Cerita sama gue!"
"Gue ... Nama itu masih jadi mimpi buruk buat gue. Gue gak tau kenapa, gue gak suka nama itu terdengar di telinga gue."
"Kenapa gitu? Bukannya lo sama sahabat gue itu juga sudah berjalan jauh dan semakin dalam? Lo sayang kan sama dia?"
"Gue sayang sama dia. Sayang banget." Gue meneteskan air mata, "tapi, gue gak paham kenapa rasa ketidakpercayaan itu memangkas rasa sayangnya. Ini lebih seperti, daun-daun yang berguguran di musim gugur, kemudian rasa dingin menyelimuti ketika musim saltu menggantikan, lalu daun-daun kembali tumbuh di musim semi, kemudian cinta ini menghangat seperti mentari yang ada di musim panas, lalu gugur lagi, lalu dingin lagi, lalu tumbuh, lalu panas, lalu gugur, lalu..."
"Stop!" Dia memberhentikan omongan gue.
Ekspresi wajah gue mulai sedih, kening gue mulai mengkerut. Air mata gue semakin banyak yang menetes. Gue juga gak berhenti menggerakkan kaki dan memainkan jari gue. Gue menggigit bibir bawah gue, gue mulai gusar dengan keadaan ini.
"Terlalu banyak yang gak kita bicarakan yah? Harusnya dari kemarin-kemarin gue ajak lo sharing ya."
"Gak tau, gak tau, gak tau. Gue benci keadaan ini."
"Maafin gue ya yang membiarkan lo berpikir sendiri." Ucapannya membuat gue menatap wajahnya yang menunjukkan mimik kecewa. "Maafin gue ya, gue ninggalin lo."
"Hey! Jangan kayak gitu! Lo gak pernah ninggalin gue. Gue yang menemukan sosok lain."
"Maksud lo?"
"Maafin gue ya, gue diam-diam menyimpan semua itu. Gue berharap, ketika lo pulang kemarin, gue sama lo bisa..."
"Maksud lo apa?"
"Sebelum dia masuk ke dunia gue, setelah gue selesai dengan masa lalu gue. Ada elo yang hadir. Dan entah kenapa, justru gue merasa gue ini salah satu korban lo. Korban atas kelabilan lo, korban atas pelampiasan lo sama masa lalu lo juga. Kemudian gue juga akhirnya beralih dengan cepat ke dia."
"Jadi, lo?" Dia mencoba membuat gue pengakuan.
"Iya, di saat gue bermasalah dengan masa lalu gue. Ada elo yang hadir bawa senyuman dan menghapus luka itu. Lo yang buat gue sembuh dari luka itu tapi gue gak berani menunjukkan lebih ke elo. Gue menutupi semuanya dengan kata persahabatan. Sampai akhirnya lo juga nyaman dengan sahabatan dan gue juga bertemu dia sebagai tokoh pengganti karena lo yang samar."
"Gue juga merasakan kalau lo emang memasuki gue dalam ruang untuk menggantikan masa lalu lo. Tapi, lo mengerti sendiri kan kalau kita ini hanya sahabat. Gue bahagia ketika lo sama dia, akhirnya lo bisa lepas dan gak berharap sama gue."
"Ya akhirnya. Tapi, kesedihan itu ada. Dia tokoh baru ini melibatkan gue dalam banyak pikiran dan konflik. Dan nama itu, nama yang menjadi mimpi buruk gue, adalah satu masalah yang sampai saat ini mengikis rasa sayangnya." Gue berhenti sejenak. "Gue mau ini selesai. Gue mau balik ke mimpi gue yang dulu. Kembali ke doa gue. Bukan elo, bukan dia, bukan masa lalu gue. Gue mau mempersiapkan diri buat doa gue. Mau itu." Tangisan gue semakin menjadi.
Dia menggenggam tangan gue. Dia menatap mata gue yang sudah penuh dengan air mata. "Lo perempuan yang kuat. Tapi perempuan kuat gak selalu harus bertahan pada rasa sakit. Perempuan kuat bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kalau itu hanya akan terus menyakiti, perempuan kuat berhak pergi dan mencari yang lain yang lebih pantas. Lo belum pernah berdoa atas masalah ini kan? Berdoa dong! Pintalah kepada Tuhan untuk melepaskan ikatan ini. Tuhan akan memberikan cara terbaiknya untuk bisa melepaskan lo dan dia. Dan untuk lo sama doa lo, gue akan mendoakan juga."
Suasana hening dan kita saling menatap. Disini benar-benar gue merasakan dimana persahabatan dengan lawan jenis gak perlu dibumbui dengan rasa lain.
"Okelah, sudah malam. Gue mau pulang. Perjalanan jauh, coy." Dia tertawa dan menghapus air mata gue. "Gue akan selalu mendengar cerita lo. Gue akan bantu menguatkan lo. Tapi inget ya! Kita ini sahabatan. Oke."
"Iya terima kasih, ya. Terima kasih banyak menunjukan arti sahabat yang baru ke gue."
Kemudian ia menghampiri motornya dan menyalakan mesin. "Gue pulang ya. Jangan tangisin dia! Perempuan kuat meneteskan air mata bahagia dengan orang yang tepat. Princess harus ceria dong. Jangan menangis! Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Itu yang gue rasakan seketika sesaat setelah teman tongkrongan gue menyebut satu nama yang gak asing pastinya. Badmood? Pasti! Buktinya? Gue langsung memutuskan untuk pulang. Padahal Ibu atau Ayah gue sama sekali belum menyuruh gue pulang seperti biasanya.
Mata gue? Jelas menggambarkan kecemburuan yang teramat sangat. Wajah? Sudah pasti menunjukkan mimik emosi yang memuncak. Walaupun gue tutupin itu semua dengan gurauan penutup sebelum gue pergi ke parkiran. Langkah kaki gue juga sudah seperti orang yang sedang muak dengan keadaan yang baru saja dilewati. Entahlah, yang jelas mood gue sudah buruk banget sekarang.
Di parkiran, gue melampiaskan semuanya. Gue kucek-kucek baju gue, gue pukulin speedometer motor gue. Gue acak-acak kerudung gue sendiri. Tapi itu doang yang bisa gue lakukan. Masih ada yang mengganjal di tenggorokan. Yaitu suara emosi yang mau banget gue keluarin sekencang-kencangnya.
Cukup puas dengan melampiaskan emosi, gue bersegera menyalakan mesin motor dan mengeluarkannya dari deretan moto yang terparkir. Sesaat sebelum gue menarik pedal gas, seseorang menepak pundah gue dari belakang. Otomatis gue gak jadi menarik pedalnya. Gue menoleh ke belakang.
"Elo? Ada apa?" Ucap gue dengan nada mencoba tenang. Gue gak mau dia mendapatkan apa yang sedang gue rasakan.
"Mau langsung pulang? Gue temani yah sampai rumah. Gak baik perempuan pulang sendirian, malam pula. Jalanan ke rumah lo kan gelap dan sepi."
"Gak. Gak perlu. Gue biasa pulang sendiri kok. Sekarang juga baru jam sepuluh. Biasanya jam sebelas juga gue nyantai aja."
"Biasanya kan lo pulang malem juga gak ada gue. Sekarang ada gue dan gue gak mau lihat perempuan pulang malem-malem sendirian."
"Udahlah, gak perlu. Gue bisa sendiri. Gue kan princess yang kuat." Nada bicara gue mulai tinggi karena gue ikut terbawa emosi mendengar kalimat keras kepala orang ini.
"Tapi, gak ada princess yang pulang sendiri. Ada pangeran atau jongosnya deh yang mengantar princess itu sampai ke depan istana."
Gue menarik nafas panjang, "okelah kalau lo memaksa."
"Gue akan mengikuti lo dari belakang ya. Jangan mengebut! Biar gue gak ketinggalan jejak lo."
"Ya sudah. Cepat ambil motor lo!"
Setelah ia selesai menyalakan motornya, kita jalan bersamaan. Sekitar lima belas menit kita berkendara menuju rumah gue. Sampai di depan gerbang, gue menawarkan dia untuk mampir hanya sekedar minum teh atau makan biskuit. Dengan ramah, dia menerima tawaran gue.
"Ini tehnya dan ini biskuitnya. Dicelupin lebih enak." Terjalanilah tawaran pertama gue. Kemudian, gue duduk di kursi samping dia.
Dia langsung menyeruput teh yang gue buat barusan. Gue menarik nafas panjang kembali dan membuka smartphone yang ada di saku celana jeans gue. Gue balas satu obrolan dari satu teman dekat gue. Setelah itu, gue kembali fokus terhadap orang di samping gue.
"Udah lama ya gue gak kesini? Setahun ada?"
"Enggalah, terakhir kan abis lebaran lo kesini."
"Oh iya." Dia menjedakan pembicaraannya untuk mengambil biskuit kelapa, "ada apa?"
"Ada apa? Maksudnya?" Gue mulai merasa bingung dengan pertanyaan orang ini.
"Iya, tadi ada apa? Tiba-tiba mau pulang? Gue tau, lo biasa pulang jam sebelasan. Lo akan pulang kalau orang tua lo sudah menyuruh balik kan? Terus, kenapa tadi lo pulang buru-buru?"
"Gak, gak ada apa-apa. Karena udah malam saja. Maka dari itu gue pulang."
"Yakin?"
"I... Iya... Yakinlah..." Gue mulai curiga dengan pertanyaannya. Pikiran gue menunjukkan kalau dia tau apa yang gue rasakan.
"Bukan karena itu sih. Mata sama wajah lo tuh gak bisa bohongin gue kali. Ceritalah sama gue. Lo udah gak pernah cerita sama gue."
"Cerita apa? Apa yang perlu gue ceritain?"
"Lo hutang banyak loh sama gue. Hutang banyak cerita. Lo gak inget? Waktu gue pergi, lo bilang sama gue kalau gue sudah pulang, lo akan cerita semua yang terjadi sama lo ke gue."
"Masa sih? Gue gak inget pernah ngomong kayak gitu."
"Iya, lo pernah ngomong kayak gitu."
Gue memainkan ujung jilbab, "gue... Gue gak kenapa-kenapa. Serius."
"Ah lo masih kaku saja sama gue!" Dia menunduk dan kemudian tatapannya penuh ke gue. Dia pegang telapak tangan gue, "gara-gara sebuah nama? Nama perempuan itu?"
Gue membalas tatapannya, gue mulai merasa ingin meneteskan air mata. Gue lepas tangannya dari tangan gue. Gue gak mau banyak hal terjadi disini.
"Tuh! Mata lo gak bisa bohong! Cerita sama gue!"
"Gue ... Nama itu masih jadi mimpi buruk buat gue. Gue gak tau kenapa, gue gak suka nama itu terdengar di telinga gue."
"Kenapa gitu? Bukannya lo sama sahabat gue itu juga sudah berjalan jauh dan semakin dalam? Lo sayang kan sama dia?"
"Gue sayang sama dia. Sayang banget." Gue meneteskan air mata, "tapi, gue gak paham kenapa rasa ketidakpercayaan itu memangkas rasa sayangnya. Ini lebih seperti, daun-daun yang berguguran di musim gugur, kemudian rasa dingin menyelimuti ketika musim saltu menggantikan, lalu daun-daun kembali tumbuh di musim semi, kemudian cinta ini menghangat seperti mentari yang ada di musim panas, lalu gugur lagi, lalu dingin lagi, lalu tumbuh, lalu panas, lalu gugur, lalu..."
"Stop!" Dia memberhentikan omongan gue.
Ekspresi wajah gue mulai sedih, kening gue mulai mengkerut. Air mata gue semakin banyak yang menetes. Gue juga gak berhenti menggerakkan kaki dan memainkan jari gue. Gue menggigit bibir bawah gue, gue mulai gusar dengan keadaan ini.
"Terlalu banyak yang gak kita bicarakan yah? Harusnya dari kemarin-kemarin gue ajak lo sharing ya."
"Gak tau, gak tau, gak tau. Gue benci keadaan ini."
"Maafin gue ya yang membiarkan lo berpikir sendiri." Ucapannya membuat gue menatap wajahnya yang menunjukkan mimik kecewa. "Maafin gue ya, gue ninggalin lo."
"Hey! Jangan kayak gitu! Lo gak pernah ninggalin gue. Gue yang menemukan sosok lain."
"Maksud lo?"
"Maafin gue ya, gue diam-diam menyimpan semua itu. Gue berharap, ketika lo pulang kemarin, gue sama lo bisa..."
"Maksud lo apa?"
"Sebelum dia masuk ke dunia gue, setelah gue selesai dengan masa lalu gue. Ada elo yang hadir. Dan entah kenapa, justru gue merasa gue ini salah satu korban lo. Korban atas kelabilan lo, korban atas pelampiasan lo sama masa lalu lo juga. Kemudian gue juga akhirnya beralih dengan cepat ke dia."
"Jadi, lo?" Dia mencoba membuat gue pengakuan.
"Iya, di saat gue bermasalah dengan masa lalu gue. Ada elo yang hadir bawa senyuman dan menghapus luka itu. Lo yang buat gue sembuh dari luka itu tapi gue gak berani menunjukkan lebih ke elo. Gue menutupi semuanya dengan kata persahabatan. Sampai akhirnya lo juga nyaman dengan sahabatan dan gue juga bertemu dia sebagai tokoh pengganti karena lo yang samar."
"Gue juga merasakan kalau lo emang memasuki gue dalam ruang untuk menggantikan masa lalu lo. Tapi, lo mengerti sendiri kan kalau kita ini hanya sahabat. Gue bahagia ketika lo sama dia, akhirnya lo bisa lepas dan gak berharap sama gue."
"Ya akhirnya. Tapi, kesedihan itu ada. Dia tokoh baru ini melibatkan gue dalam banyak pikiran dan konflik. Dan nama itu, nama yang menjadi mimpi buruk gue, adalah satu masalah yang sampai saat ini mengikis rasa sayangnya." Gue berhenti sejenak. "Gue mau ini selesai. Gue mau balik ke mimpi gue yang dulu. Kembali ke doa gue. Bukan elo, bukan dia, bukan masa lalu gue. Gue mau mempersiapkan diri buat doa gue. Mau itu." Tangisan gue semakin menjadi.
Dia menggenggam tangan gue. Dia menatap mata gue yang sudah penuh dengan air mata. "Lo perempuan yang kuat. Tapi perempuan kuat gak selalu harus bertahan pada rasa sakit. Perempuan kuat bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kalau itu hanya akan terus menyakiti, perempuan kuat berhak pergi dan mencari yang lain yang lebih pantas. Lo belum pernah berdoa atas masalah ini kan? Berdoa dong! Pintalah kepada Tuhan untuk melepaskan ikatan ini. Tuhan akan memberikan cara terbaiknya untuk bisa melepaskan lo dan dia. Dan untuk lo sama doa lo, gue akan mendoakan juga."
Suasana hening dan kita saling menatap. Disini benar-benar gue merasakan dimana persahabatan dengan lawan jenis gak perlu dibumbui dengan rasa lain.
"Okelah, sudah malam. Gue mau pulang. Perjalanan jauh, coy." Dia tertawa dan menghapus air mata gue. "Gue akan selalu mendengar cerita lo. Gue akan bantu menguatkan lo. Tapi inget ya! Kita ini sahabatan. Oke."
"Iya terima kasih, ya. Terima kasih banyak menunjukan arti sahabat yang baru ke gue."
Kemudian ia menghampiri motornya dan menyalakan mesin. "Gue pulang ya. Jangan tangisin dia! Perempuan kuat meneteskan air mata bahagia dengan orang yang tepat. Princess harus ceria dong. Jangan menangis! Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Lima Yang Ketujuh
Bertemu lagi dengan tanggal lima.
Kamis, 5 Juni 2014. Genap tujuh bulan kita menjalin komunikasi. Entah hanya aku saja yang menginginkan komunikasi ini berakhir dengan status yang indah, entah hanya aku saja yang merasakan indahnya jatuh cinta. Dimana aku ingin kamu selalu ada di dekatku, ingin kamu selalu bersama aku, menjalani setiap hari dan menghabiskan setiap waktu untuk bersama dan terus bersama. Entah. Aku engga tau.
Siang ini mendung. Mendung sekali. Langit gelap tapi tak pekat. Ronanya abu-abu. Dingin juga terasa akibat angin yang semilir menghempas ke seluruh tubuh dan terasa menyakitkan di telapak tanganku. Disini aku sendiri. Tanpa kamu.
Aku ingat kembali banyak hal yang sudah kita lewati. Hal-hal yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Bahkan dengan mantan-mantan kekasihku. Kamu yang pertama, bagaimana kita melanjutkan semua ini?
Tuhan tau, hatiku sedang sedih. Tapi, apa pernah kamu mengetahui itu? Tentu saja tidak.
Untuk pemuda yang seperti kamu, yang masih panas jiwanya untuk mengisi hidup kamu dengan cerita luar biasa. Apa masih perlu hadir aku?
Iya, perlu. Jawaban itu yang tepat. Aku hadir sebagai pendengar yang baik dari semua cerita-cerita kamu bersama teman-teman kamu, dengan segala semangat muda kamu. Bisakah aku menyebut diriku sebagai buku diarymu yang selalu kamu butuhkan setiap malam untuk mendengar seluruh kisah yang kamu sebut luar biasa itu. Aku? Hanya tersenyum. Aku bangga, sungguh aku bangga melihat semangatmu yang sungguh luar biasa itu. Kamu dengan semua obsesimu.
Tapi, sekali saja. Apa kamu pernah bertanya kepadaku? "Apa cerita kamu di hari ini, wahai wanita yang aku sayangi?"
Tidak, jelas tidak. Bahkan mungkin jika kamu bertanya seperti itu, aku tidak akan mengeluarkan kata apapun, aku akan mengembalikan pertanyaan itu ke kamu.
Hari ini, aku merasakan perih atas semua kebungkamanku. Perih itu selalu terasa setiap malam ketika aku mau memejamkan mata. Aku hanya mau menyampaikan semua isi hatiku yang tidak bisa aku ungkapkan langsung dari mulutku sendiri.
Sayang, kenapa kamu seperti ini? Aku sungguh menyayangimu. Aku ingin jadi milikmu seutuhnya. Hanya aku. Tapi kenapa ketika kamu bilang kalau aku satu-satunya, ada rasa tak percaya? Sayang, bisakah kamu merubah perasaan itu? Sayang sekali saja kamu dengar aku. Aku datang bukan untuk menjadi buku diarymu, menjadi teman curhat kamu, menjadi pendengar yang baik untuk semua cerita-cerita kamu. Bukan. Aku hadir untuk menjadi seseorang yang berharga untuk kamu. Bukan sekedar untuk menjadi saksi perjalanan hidup kamu yang labik ini. Aku ingin dicintai seutuhnya. Aku tau, aku bukan yang terbaik. Karena terbaik itu tidak pasti. Sayang, dengar rintihan aku yang meminta kepastian dari hubungan ini. Hingga hilang seluruh keraguan hati aku atas rasa sayang kamu. Aku butuh itu di bulan ketujuh kita menjalin hubungan. Sayang, aku menangis saat menulis ini. Bisakah kamu merasakannya?
Kamis, 5 Juni 2014. Genap tujuh bulan kita menjalin komunikasi. Entah hanya aku saja yang menginginkan komunikasi ini berakhir dengan status yang indah, entah hanya aku saja yang merasakan indahnya jatuh cinta. Dimana aku ingin kamu selalu ada di dekatku, ingin kamu selalu bersama aku, menjalani setiap hari dan menghabiskan setiap waktu untuk bersama dan terus bersama. Entah. Aku engga tau.
Siang ini mendung. Mendung sekali. Langit gelap tapi tak pekat. Ronanya abu-abu. Dingin juga terasa akibat angin yang semilir menghempas ke seluruh tubuh dan terasa menyakitkan di telapak tanganku. Disini aku sendiri. Tanpa kamu.
Aku ingat kembali banyak hal yang sudah kita lewati. Hal-hal yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Bahkan dengan mantan-mantan kekasihku. Kamu yang pertama, bagaimana kita melanjutkan semua ini?
Tuhan tau, hatiku sedang sedih. Tapi, apa pernah kamu mengetahui itu? Tentu saja tidak.
Untuk pemuda yang seperti kamu, yang masih panas jiwanya untuk mengisi hidup kamu dengan cerita luar biasa. Apa masih perlu hadir aku?
Iya, perlu. Jawaban itu yang tepat. Aku hadir sebagai pendengar yang baik dari semua cerita-cerita kamu bersama teman-teman kamu, dengan segala semangat muda kamu. Bisakah aku menyebut diriku sebagai buku diarymu yang selalu kamu butuhkan setiap malam untuk mendengar seluruh kisah yang kamu sebut luar biasa itu. Aku? Hanya tersenyum. Aku bangga, sungguh aku bangga melihat semangatmu yang sungguh luar biasa itu. Kamu dengan semua obsesimu.
Tapi, sekali saja. Apa kamu pernah bertanya kepadaku? "Apa cerita kamu di hari ini, wahai wanita yang aku sayangi?"
Tidak, jelas tidak. Bahkan mungkin jika kamu bertanya seperti itu, aku tidak akan mengeluarkan kata apapun, aku akan mengembalikan pertanyaan itu ke kamu.
Hari ini, aku merasakan perih atas semua kebungkamanku. Perih itu selalu terasa setiap malam ketika aku mau memejamkan mata. Aku hanya mau menyampaikan semua isi hatiku yang tidak bisa aku ungkapkan langsung dari mulutku sendiri.
Sayang, kenapa kamu seperti ini? Aku sungguh menyayangimu. Aku ingin jadi milikmu seutuhnya. Hanya aku. Tapi kenapa ketika kamu bilang kalau aku satu-satunya, ada rasa tak percaya? Sayang, bisakah kamu merubah perasaan itu? Sayang sekali saja kamu dengar aku. Aku datang bukan untuk menjadi buku diarymu, menjadi teman curhat kamu, menjadi pendengar yang baik untuk semua cerita-cerita kamu. Bukan. Aku hadir untuk menjadi seseorang yang berharga untuk kamu. Bukan sekedar untuk menjadi saksi perjalanan hidup kamu yang labik ini. Aku ingin dicintai seutuhnya. Aku tau, aku bukan yang terbaik. Karena terbaik itu tidak pasti. Sayang, dengar rintihan aku yang meminta kepastian dari hubungan ini. Hingga hilang seluruh keraguan hati aku atas rasa sayang kamu. Aku butuh itu di bulan ketujuh kita menjalin hubungan. Sayang, aku menangis saat menulis ini. Bisakah kamu merasakannya?
Langganan:
Postingan (Atom)
Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV
Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...
-
Contoh dialog MAKING REQUEST jangan lupa mampir ke -> http://mymudarsih.blogspot.com/search/label/CERPEN yaaa (´ ⌣ `ʃƪ) thank youuu...
-
S a t u d a ri se j u t a c e r i t a Guys, gue pernah ngebahas kan tentang kelas yang pernah gue singgahin di SMA ini. Yaa .. yang gu...
-
Ass. Yang terhormat Ibu kepala sekolah, Yang terhormat Bapak/Ibu guru panitia pendamping acara pelepasan kelas XII tahun 2010/2011. serta...