Jumat, 24 Juli 2015

Perubahan Itu Ada, Pasti, Juga Terasa.

Sejak beberapa hari yang lalu, aku sudah memikirkan hal ini. Bahkan aku juga sudah membayangkan seperti apa jadinya di tahun ini. Akan ada banyak perbedaan dikarenakan takdir-takdir Allah yang tidak pernah aku bisa ketahui di tahun sebelumnya. 

Aku tipikal orang yang mudah tersentuh terhadap sesuatu yang hilang, apapun itu. Aku orang yang sangat tidak suka perpisahan, kehilangan, atau semacamnya. Aku senang dengan kebersamaan, tawa dan suka cita, sampai kuharap hidupku hanya untuk berbahagia. Tapi hidup pun berpasang-pasangan. Ada kebahagiaan, ada kesedihan. Ada pertemuan, ada perpisahan. 

Oke, balik pada realita. Aku sekarang sudah mencapai rencana hidupku yang kesekian, aku tidak memastikan keberapanya. Di tahun ini, aku sudah selesai kuliah D3 dan memiliki gelar Ahli Madya. Aku bekerja di sebuah perusahaan milik pribadi dengan gaji yang menurutku lumayan untuk pemula. Eh tapi, kecil deh. 
Dengan gaji kecil itu, lebaran tahun ini aku bisa membelikan baju keluargaku, Bapak, Ibu, dan kedua Adikku. Ini impianku yang kesekian yang sudah dapat terwujud. Selain itu, aku juga bisa menghadiahkan satu set gamis untuk Embah dari Bapak yang sudah tiga bulan sakit. 
Nah, Embahku sudah tiga bulan sakit. Sekitar bulan April sepertinya. Beliau jatuh dari bangku ketika ingin membenarkan posisi antena tv di rumahnya. Saat itu, kami sekeluarga, bahkan seluruh keluarga Bapak tidak tau kalau ternyata tulang kaki beliau retak. Tepatnya di bagian selangkangan. Hal itulah yang pada akhirnya membuat Embah dirawat secara intensif di rumahku selama dua bulan lebih, sampai hari ini. 

Dari kisah tadi, dapat diketahui bahwa ada suka dan duka yang terjadi di tahun ini. Jelas terlihat. 

Sepercik kisah lainnya yang melengkapi tahun ini pun datang dari diri pribadiku sendiri. Setelah setahun menjalin hubungan tanpa status dengan teman sekolahku. Aku bertemu dengan sosok laki-laki yang amat sangat baik. Sekarang dia sudah menjadi pacarku, bukan lagi dalam hubungan tanpa status. Hubungan kami sudah terjalin tujuh bulan lebih dan Alhamdulillah kedua orang tua kami sudah saling tau dan mengerti. Kami berdua berharap hubungan ini bukan lagi untuk main-main. Hal ini dikarenakan memang kami sudah sama-sama tidak ingin "membaca buku baru lainnya". Itu istilah yang aku buat. Bahkan, di hari kemenangan ini, ketika aku berkunjung ke rumah keluarga besar Bapak yang di daerah Jakarta Pusat, laki-laki itu sudah cukup dikenal mereka. Mereka pun mendoakan yang terbaik untuk kita. Tinggal keluarga besar dari Ibu saja yang belum kuketahui tanggapannya sampai aku menulis paragraf ini. Alhamdulillah bahkan banyak yang sudah mendoakan agar aku dan dia bisa sampai ke ikatan yang lebih dari ini. Aamiiin o:) Insya Allaah. 

Berkenaan dengan datangnya aku ke rumah keluarga besar di Jakarta Pusat, muncul pula sisi lain dari kebahagiaan tersebut. 
Awal bulan Ramadhan, aku dikejutkan kabar duka datang dari sana. Ibu Haji, aku biasa memanggilnya, Beliau dipanggil oleh Allah SWT di hari pertama Ramadhan. Duka yang sangat mendalam atas kembalinya beliau ke hadapan Sang Khalik. Hari itu aku gemetar di kantor. Pikirku langsung melayang ke hari ini. "Bagaimana lebaran tahun ini ya?" 
Semua terjawab saat aku memasuki gang kecil di Cempaka Baru. Beda rasanya dibandingkan beberapa tahun yang lalu dimana banyak Jama'ah Ibu Haji dan Engkong Haji, suaminya, datang untuk silaturahmi di hari Idul Fitri. Sepi dan biasa saja. Tidak lagi ada aktivitas seperti dulu. Suasana haru semakin menyelimuti ketika aku masuk ke rumah yang dulu sering dijadikan tempat pengajian keluarga besar Al-Ikhlas. Ibu mulai menangis, aku pun merasa ingin mengeluarkan air mata. Namun, aku tahan sebisaku. Allah tau apa yang terbaik yang akan terjadi setelah ini. Tidak ada yang mampu memrediksinya. 
Kami bersalaman saling memohon maaf antar anggota keluarga. Kemudian di lanjutkan dengan perbincangan hangat seputar meninggalnya Bu Haji dan kelanjutan nasip pengajian ini. Aku tidak ikut dengan para orang tua, aku memilih berkumpul dengan saudara-saudaraku yang kisarannya "anak-anak" dari orang tua itu. Aku mencoba menetralisir keadaan dan kuyakin semua akan baik-baik saja. Lalu, sebuah harapan mengenai kembali aktifnya keluarga besar ini tetap ada.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...