Malam itu, aku sepertinya galau.
Bukan karena aku baru saja putus dengan pacarku. Bukan juga
karena suasana di bis ini, malam hari, dengan kemacetan tol dalam kota. Apalagi
karena lagu yang terputar di bis ini adalah lagu galau dan sesuai dengan kisah
aku sama rekan kerjaku itu yang ceritanya sudah kandas setelah ia memutuskan
untuk melabuhkan cintanya pada sahabatku sendiri.
Galau kali ini terlebih menoleh ke orang lain, orang baru
yang saat itu masih ku pikir hanya sekedar ketertarikan biasa.
Aku pikir aku menyukaimu dengan alasan seseorang yang aku
panggil “Ibu” itu telah jatuh hati sama kamu. Tapi ternyata itu hanya alasan
pendukung saja. Setelah ku pikir kita sudah terlalu dekat. Dekat seperti saat
kamu menatap mataku setiap kali kita bicara. Seolah mata kamu itu menunjukkan
bahwa akulah satu-satunya perempuan yang ingin kamu dampingi hingga akhir hayat
kamu.
Panjang aku memikirkanmu di malam hari. Aku ingat kita
selalu di takdirkan untuk berdua, di setiap kesempatan di sekolah. Aku pun
teringat ketika salah satu guru kita menganggap kita sebagai sepasang kekasih
dan kamu bilang ‘iya’ karena kamu terlihat bangga ada di sampingku. Aku juga
teringat ketika kita jalan berdua di berbagai kesempatan. Hingga kita dua kali
bertemu dengan seorang teman kita, kemudian dia bertanya atas kecurigaannya
“kalian jadian ya? Kenapa gak pacaran aja sih? Kalian kan cocok?”
Terdiam lagi, kemudian aku ingat ketika kita main
kucing-kucingan di sekolah saat kita mau pergi ke suatu tempat dengan beberapa
teman kita lainnya. Kamu mulai merayu ketika sudah bertemu denganku, agar aku
tetap ikut dengan rombongan untuk pergi ke tempat itu. Sepertinya itu pertama
kali aku duduk di belakangmu. Sayangnya, aku tidak punya keberanian untuk
memelukmu dari belakang. Mungkin lebih seperti menghargai batas diantara kita,
seperti yang dijabarkan di ajaran agama kita.
Tapi, sadarkah kamu? Aku tersenyum ketika aku ingat kamu
yang saat itu menyuapiku dengan menu makanan yang kamu pesan di tempat impian
kita berdua itu. Kamu memaksa aku untuk menerima sesendok nasi goreng dari
piring kamu. Terlihat manis, jujur sangat merasuk dalam hatiku dan membuat aku
seperti ingin memiliki kamu seutuhnya. Lalu, ada juga percakapan kita melalui
ponsel. Kamu bilang mau memberikan aku yang terbaik dari hidup kamu. Sehingga
aku juga merasa untuk menjaga diriku ini dari semua nafsu jiwa mudaku yang haus
akan hal-hal yang terjadi di dunia kita.
Mungkin iya kamu juga jatuh hati, sama seperti yang aku
rasakan. Akan tetapi, kamu kurang agresif dan cekatan untuk meraih kebahagiaan
kita. Malam itu di bis, aku rasa kamu mau memanfaatkan waktu indah itu, ya
walaupun hanya di bis kota yang keadaannya sudah buruk itu. Kamu duduk di
samping aku, di bangku panjang paling belakang bis, beberapa menit kita
habiskan sampingan tanpa saling berdiskusi. Tatapan kita jatuh pada mobil-mobil
yang berlalu di samping bis ini. Jujur aku berharap, aku dan kamu bisa menjadi
kita saat itu. Tapi ternyata, tidak.
Kekecewaanku malam itu berlanjut sampai detik ini. Sampai
saat ini aku menjalin status dengan orang lain. Saat kamu menyanyikan satu lagu
girlband dalam negeri, yang liriknya menunjukkan agar aku tetap tinggal, hanya
untuk sebentar saja agar kita bisa bersama. Aku pikir, itu yang membuat aku
yakin kalau kamu jatuh hati. Tetapi balik lagi, kamu kurang cekatan dalam
memanfaatkan kesempatan yang sudah ada di depan kamu. Tapi mungkin, itu juga
takdir dari Allah. Indahnya bukan sekarang, Insya Allah nanti.
Seandainya bisa aku utarakan semuanya dan memberikan semua
bukti kalau kamu sudah cukup membuat kamu jauh merasuk dalam pikiranku. Semua masih terangkum jelas walaupun gak ada bukti nyata. Tapi
memori otakku kalau bisa kamu ambil buat bukti, aku ikhlas menunjukkannya.
Seandainya juga, ponsel itu masih bisa ku gunakan, mungkin ponsel itu saksi bisunya.
Dan ponsel itu penuh dengan kenangan kita yang belum pernah bisa kita rasakan
indahnya.