Kamis, 10 Oktober 2013

Tentang Kita, Kenangan yang Belum Pernah Kita Rasakan Indahnya



Malam itu, aku sepertinya galau.
Bukan karena aku baru saja putus dengan pacarku. Bukan juga karena suasana di bis ini, malam hari, dengan kemacetan tol dalam kota. Apalagi karena lagu yang terputar di bis ini adalah lagu galau dan sesuai dengan kisah aku sama rekan kerjaku itu yang ceritanya sudah kandas setelah ia memutuskan untuk melabuhkan cintanya pada sahabatku sendiri.
Galau kali ini terlebih menoleh ke orang lain, orang baru yang saat itu masih ku pikir hanya sekedar ketertarikan biasa.
Aku pikir aku menyukaimu dengan alasan seseorang yang aku panggil “Ibu” itu telah jatuh hati sama kamu. Tapi ternyata itu hanya alasan pendukung saja. Setelah ku pikir kita sudah terlalu dekat. Dekat seperti saat kamu menatap mataku setiap kali kita bicara. Seolah mata kamu itu menunjukkan bahwa akulah satu-satunya perempuan yang ingin kamu dampingi hingga akhir hayat kamu.
Panjang aku memikirkanmu di malam hari. Aku ingat kita selalu di takdirkan untuk berdua, di setiap kesempatan di sekolah. Aku pun teringat ketika salah satu guru kita menganggap kita sebagai sepasang kekasih dan kamu bilang ‘iya’ karena kamu terlihat bangga ada di sampingku. Aku juga teringat ketika kita jalan berdua di berbagai kesempatan. Hingga kita dua kali bertemu dengan seorang teman kita, kemudian dia bertanya atas kecurigaannya “kalian jadian ya? Kenapa gak pacaran aja sih? Kalian kan cocok?”
Terdiam lagi, kemudian aku ingat ketika kita main kucing-kucingan di sekolah saat kita mau pergi ke suatu tempat dengan beberapa teman kita lainnya. Kamu mulai merayu ketika sudah bertemu denganku, agar aku tetap ikut dengan rombongan untuk pergi ke tempat itu. Sepertinya itu pertama kali aku duduk di belakangmu. Sayangnya, aku tidak punya keberanian untuk memelukmu dari belakang. Mungkin lebih seperti menghargai batas diantara kita, seperti yang dijabarkan di ajaran agama kita.
Tapi, sadarkah kamu? Aku tersenyum ketika aku ingat kamu yang saat itu menyuapiku dengan menu makanan yang kamu pesan di tempat impian kita berdua itu. Kamu memaksa aku untuk menerima sesendok nasi goreng dari piring kamu. Terlihat manis, jujur sangat merasuk dalam hatiku dan membuat aku seperti ingin memiliki kamu seutuhnya. Lalu, ada juga percakapan kita melalui ponsel. Kamu bilang mau memberikan aku yang terbaik dari hidup kamu. Sehingga aku juga merasa untuk menjaga diriku ini dari semua nafsu jiwa mudaku yang haus akan hal-hal yang terjadi di dunia kita.
Mungkin iya kamu juga jatuh hati, sama seperti yang aku rasakan. Akan tetapi, kamu kurang agresif dan cekatan untuk meraih kebahagiaan kita. Malam itu di bis, aku rasa kamu mau memanfaatkan waktu indah itu, ya walaupun hanya di bis kota yang keadaannya sudah buruk itu. Kamu duduk di samping aku, di bangku panjang paling belakang bis, beberapa menit kita habiskan sampingan tanpa saling berdiskusi. Tatapan kita jatuh pada mobil-mobil yang berlalu di samping bis ini. Jujur aku berharap, aku dan kamu bisa menjadi kita saat itu. Tapi ternyata, tidak.
Kekecewaanku malam itu berlanjut sampai detik ini. Sampai saat ini aku menjalin status dengan orang lain. Saat kamu menyanyikan satu lagu girlband dalam negeri, yang liriknya menunjukkan agar aku tetap tinggal, hanya untuk sebentar saja agar kita bisa bersama. Aku pikir, itu yang membuat aku yakin kalau kamu jatuh hati. Tetapi balik lagi, kamu kurang cekatan dalam memanfaatkan kesempatan yang sudah ada di depan kamu. Tapi mungkin, itu juga takdir dari Allah. Indahnya bukan sekarang, Insya Allah nanti.
Seandainya bisa aku utarakan semuanya dan memberikan semua bukti kalau kamu sudah cukup membuat kamu jauh merasuk dalam pikiranku. Semua masih terangkum jelas walaupun gak ada bukti nyata. Tapi memori otakku kalau bisa kamu ambil buat bukti, aku ikhlas menunjukkannya. Seandainya juga, ponsel itu masih bisa ku gunakan, mungkin ponsel itu saksi bisunya. Dan ponsel itu penuh dengan kenangan kita yang belum pernah bisa kita rasakan indahnya.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...