Matahari kali ini gak gue lihat dengan sempurna wujudnya.
Hanya setitik cahaya kuning yang nampak dengan dikelilingi awan colombus. Gue
masih berpacu pada langkah kaki yang semakin lama semakin cepat pergerakannya.
Masih terlihat mengejar dan mencoba menyaingi langkah kaki pria setinggi 185
sentimeter itu. Semakin cepat temponya, semakin terasa menyesak di dada.
Sesekali gue mengeluh, berhenti dan menarik nafas panjang. Sesekali juga gue melihat
pria itu menoleh ke arah gue dan terus berkata “Ayo, Fah! Nanti kita
ketinggalan.” Gue selalu saja menggerlingkan mata gue ketika gue mendengar
kalimat itu. Nafas gue yang semakin gak tertatur, wajah gue yang mulai memucat
harusnya membuat beliau mengerti kalau gue sudah lelah berjalan sejauh sekitar
850 meter.
“Oke. Tinggal 100 meter lagi. Ganbatte !” gue memotivasi
diri gue sendiri. Gue tarik nafas panjang-panjang dan melangkahkan kaki dengan
cepat. Sejajarlah gue dengan beliau yang sedari tadi gue kejar. Beliau
merangkul gue dan kembali mengeluarkan kalimat penyemangatnya. Dan untuk yang
kali ini, gue membalasnya dengan senyum
semangat gue.
“Pak, beli tiketnya dimana?” kata gue terengah-engah.
“Di loket lah, Fah.”
“Iya, loketnya yang mana, Pak? Itu ada dua.”
“Yang sebelah sana.” Menunjuk ke loket yang berada di
seberang rel.
Berdiri di depan loket, Bapak mulai bicara dengan petugas
loket untuk membeli tiketnya. Dan gue, gue melihat sekitar gue. Baru kali ini
gue menginjakkan kaki disini setelah 13 tahun tinggal di daerah ini.
“Terima kasih, Mas.” Gue mendengar beliau sudah dengan
pembicaraan singkat dengan pria muda yang berada di balik kaca. Kemudian gue
berjalan ke arah pintu masuk.
“Loketnya udah elektrik ya,Pak.” Gue menempelkan kartu tiket
itu di atas tulisan ‘Tap Your Ticket Here!’. Gue berjalan mencari tempat duduk
yang menurut gue paling nyaman untuk menunggu.
Suasana disini hening, gak banyak orang di dalamnya. Hanya
tiga orang calon penumpang kereta commuter line, gue, Bapak gue, dan seorang
perempuan seumuran gue. Kita bertiga duduk di satu bangku panjang. Mata gue
masih saja memantau seluruh penjuru stasiun. Suasananya sangat indah saat itu.
Indah untuk merenung, mencari inspirasi, atau segala hal yang perlu dilakukan
tanpa ada gangguan orang lain. Awan dan matahari pun mendukung untuk siapapun
berdiam disini melepaskan segala masalahnya. Tapi ada satu catatan,
menyelesaikan masalah disini hanya dengan cara merenungkan, bukan nekat tiduran
di antara dua besi panjang yang di tengahnya diselingi batu-batu, atau yang
mudah disebutnya di tengah rel. Jangan!
Bapak sibuk dengan handphonenya, gue juga. Tapi sialnya
sedari tadi siang smartphone gue sama sekali gak bisa beroperasi. Gak tau
kenapa, mungkin gangguan server dan provider. Biasalah, smartphone ini sudah
usang nampaknya. Ups.
Gue simpan baik-baik smartphone gue ini ketika gue sudah
merasa sangat kesal dengan kerusakan yang terjadi. Dan kesialan selanjutnya,
gue lupa membawa headset, setidaknya kalau gue gak bisa chatting, gue kan bisa
dengerin musik. Huh. Akhirnya gue hanya diam dan melantunkan beberapa bait lagu
Pink yang berjudul Just Give Me A Reason, Untukmu Semalanya punya band asal
Indonesia yaitu Ungu, lagu dari One Direction yang judulnya One Way Or Another,
dan juga beberapa lagu dalam dan luar negeri. Sekedar untuk mengisi kekosongan
ini.
Sepertinya sudah 10 menit gue duduk disini, tapi gue sama
sekali gak merasa kereta akan datang. Gue memutuskan untuk bertanya sama Bapak.
Bapak pun gak tau dan beliau juga mulai kecewa. Mata gue menjelajah ke belakang
tempat duduk gue. “Nah!” gue melihat spanduk yang berisikan jadwal kedatangan
kereta. Gue mengecek jam tangan gue, gue gak bisa menerjemahkannya. Akhirnya
gue melihat jam di smartphone gue. Oke, sekarang jam 3 lewat 17 menit. Gue berbalik
dan mencari jadwal kereta yang akan datang. What? Jam 15.54, masih lama
rupanya. Gue sampaikan informasi singkat itu ke Bapak, Bapak pun semakin
terlihat kesal. Tapi mau gimana lagi, namanya naik kereta kita harus mengikuti
jadwal.
Oke gue menunggu kereta yang akan paling cepat tiba. Gue
kembali menyanyikan beberapa lagu yang gue tau liriknya. Sesekali gue juga
mengecek smartphone gue, siapa tau kan sudah gak eror lagi dan gue bisa
mengirim pesan whatsapp ke pacar gue.
Tapi ternyata masih saja seperti tadi.
Yap, ingat dengan pacar gue. Mulai deh gue merasa keingetan ini
ditambah suasana stasiun ditambah lagi cuaca yang mendukung. Gue galau.
Kabar terakhir yang gue tau, tepatnya kemarin, Selasa Siang,
dia akan pergi ke Yogyakarta besok malam. Jam Sembilan. Dari stasiun Senen. Dia
mau mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Yogya, yang sudah
terkenal itu di Indonesia, iya UGM. Dia masih terobsesi dengan impiannya yang
sudah tertunda setahun. Karena jalan yang terjadi tahun lalu lah yang membuat
timbulnya kisah gue sama dia di kampus sementaranya, Insya Allah.
Karena gue tersadar kalau smartphone ini sedang ada gangguan
server dan membuat gue sulit mengakses ke internet, atau mengirim pesan whatsapp ke pacar gue tepatnya. Gue
memutuskan untuk mengirim sms saja ke dia. Mengetik empat hurup yang berpadu
menjadi nama tengahnya. Send dan menunggu adanya balasan.
Lama juga, gue semakin bosan dengan keadaan ini. Bahkan
sudah mulai kesal. Kening gue juga sudah mulai mengkerut. Sip. Ada balasan.
“Aduh, pulsanya cuma
200 car -.-” Yap kalimat itu menunjukkan gak akan ada hal postif yang
membuat gue tersenyum hari ini. Gue melirik ke jam tangan, gue lihat jarum
panjangnya sudah ke angka lima lewat sedikit. Mungkin tepatnya jam 3 lewat 26
menit.
“Ah!” gue sewot sendiri. Bapak menoleh ke gue dan kembali
sibuk dengan handphonenya lagi. Gue tinggalin smartphone itu di dalam tas. Gue
kembali bernyanyi-nyanyi sedikit untuk menghilangkan kekesalan gue saat itu.
Penasaran. Akhirnya gue balas sms itu.
“Ya, sorry.” Gue
harap dia mengerti perasaan gue dari balasan gue yang singkat itu. Gue mulai
kembali dengan kebiasaan gue jika gue mulai merasa kesal dan gelisah, menggigit
bibir bawah. Sambil mengeluarkan suara geregetan, gue bicara sendiri dalam
hati. Ibaratnya sekarang di sisi kanan dan kiri gue lagi ada malaikat dan iblis
yang lagi mengacaukan pikiran gue.
Sang Malaikat selalu berbicara hal-hal positif dan memberi
gue motivasi. Malaikat ini sepertinya memberikan gue sugesti baik, supaya gue
gak negative thinking sama pacar gue. Gue harus sabar dan mengerti keadaan dia.
Mungkin dia lagi sibuk rapih-rapih perlengkapan dia untuk di Yogya dan sedang
menghemat pengeluaran buat ongkos disana. Jadi dia harus hemat terhadap
pulsanya.
Sedangkan sang Iblis ini mulai memberikan gue
pikiran-pikiran yang membuat gue merasa kesal. Seharusnya dia sms gue dengan
baik. Beli pulsa kek buat balas sms gue. Memangnya gue ini siapanya? Masih di
Jakarta saja sudah malas menghubungi pacar sendiri. Apalagi kalau sudah di
Yogya? Dilupakan iya kayaknya.
Tapi semua argument itu berakhir dengan pikiran positif. Oke
positif. Dia balas sms gue lagi.
“Yeee justru aku yg
minta maaf. Maaf yee, last pulsa nih. L “ itu isi balasannya. Semakin menjadi emosi gue
dan semakin kuat juga sang malaikat menentramkan hati gue.
“Iya. Selau. Take care
ya buat perjalanan besok” gue berusaha positif thinking di matanya. Tapi
sebenarnya, ingin sekali gue lompat dari bangku panjang ini ke tengah rel dan
berteriak. Setidaknya supaya gue gak perlu terus-terusan menarik nafas panjang.
Kembali mata gue melihat jam di smartphone ini. 15.41 Waktu
Indonesia Bagian Barat. Gue bangun dari bangku ini, berjalan menjauh dari
tempat duduk. Sekedar untuk mencari suasana hening di sisi lainnya. Sekitar
tujuh langkah kaki gue ini bergerak, gue mendengar suara klakson dari kereta
commuter line. Dengan gaya reflek, gue menoleh ke dua arah datangnya kereta.
Ternyata kereta yang datang adalah kereta dari arah Duri ke Tangerang,
sedangkan gue perlu kereta yang arah sebaliknya.
Kejadian kecil itu kembali membuat gue mengingat pacar gue.
Dasar perempuan, apapun bisa dijadikan sumber perasaan. Kali ini gue gak
merenung memikirkan hal itu. Gue mencoba mengilanginya dengan mengajak Bapak
berbincang. Obrolan kecil seputar kereta commuter line ini. Satu hal yang
membuat gue bingung adalah stasiun ini. Kenapa ini masih disebut stasiun kereta
api? Padahal sekarang yang beroperasi bukan kereta api lagi, tetapi kereta
listrik. Pemikiran itu gue utarakan ke Bapak. Seperti biasanya, watak humoris
Bapak membuat pertanyaan itu semakin gak jelas ujungnya. Setidaknya gue gak
galau mikirin pacar gue. Huh.
Berhenti sejenak, gue melihat jam di smartphone gue. Waktu
menunjukan pukul 15.50. Empat menit lagi kereta datang. Tiga puluh tujuh menit
waktu menunggu gue dengan kegalauan pacar gue yang gak bisa gue ajak berbincang
akan segera berakhir. Suara kereta itu pun sudah terdengar jelas di telinga
gue. Gue bangun dari tempat nyaman gue itu dan berdiri di garis batas tunggu.
Bapak juga bangun dan berdiri di samping gue. Tepat jam 15.54 kereta itu
berhenti di depan gue. Gue menarik nafas panjang sedetik sebelum pintu gerbong
terbuka. Ketika gue melepasnya, pintu itu terbuka dan gue melangkahkan kaki
masuk ke gerbong kereta. “Sudah, Fah. Lupakan dia sejenak. Ambil waktu liburan
ini tanpa sedetik pun mikirin dia. Fine.” Perjalanan gue menuju ke kampung
halaman untuk menjemput Ibu di mulai sekarang. Dengan perjalanan kereta menuju
Bekasi, kemudian transit naik mobil pribadi ke Puncak. Halo kesegaran
sementara!