Kamis, 04 Juli 2013

Stasiun Kereta Api Bojong Indah (Tiga Puluh Tujuh Menit Pertama)


Matahari kali ini gak gue lihat dengan sempurna wujudnya. Hanya setitik cahaya kuning yang nampak dengan dikelilingi awan colombus. Gue masih berpacu pada langkah kaki yang semakin lama semakin cepat pergerakannya. Masih terlihat mengejar dan mencoba menyaingi langkah kaki pria setinggi 185 sentimeter itu. Semakin cepat temponya, semakin terasa menyesak di dada. Sesekali gue mengeluh, berhenti dan menarik nafas panjang. Sesekali juga gue melihat pria itu menoleh ke arah gue dan terus berkata “Ayo, Fah! Nanti kita ketinggalan.” Gue selalu saja menggerlingkan mata gue ketika gue mendengar kalimat itu. Nafas gue yang semakin gak tertatur, wajah gue yang mulai memucat harusnya membuat beliau mengerti kalau gue sudah lelah berjalan sejauh sekitar 850 meter.
“Oke. Tinggal 100 meter lagi. Ganbatte !” gue memotivasi diri gue sendiri. Gue tarik nafas panjang-panjang dan melangkahkan kaki dengan cepat. Sejajarlah gue dengan beliau yang sedari tadi gue kejar. Beliau merangkul gue dan kembali mengeluarkan kalimat penyemangatnya. Dan untuk yang kali ini,  gue membalasnya dengan senyum semangat gue.
“Pak, beli tiketnya dimana?” kata gue terengah-engah.
“Di  loket lah, Fah.”
“Iya, loketnya yang mana, Pak? Itu ada dua.”
“Yang sebelah sana.” Menunjuk ke loket yang berada di seberang rel.
Berdiri di depan loket, Bapak mulai bicara dengan petugas loket untuk membeli tiketnya. Dan gue, gue melihat sekitar gue. Baru kali ini gue menginjakkan kaki disini setelah 13 tahun tinggal di daerah ini.
“Terima kasih, Mas.” Gue mendengar beliau sudah dengan pembicaraan singkat dengan pria muda yang berada di balik kaca. Kemudian gue berjalan ke arah pintu masuk.
“Loketnya udah elektrik ya,Pak.” Gue menempelkan kartu tiket itu di atas tulisan ‘Tap Your Ticket Here!’. Gue berjalan mencari tempat duduk yang menurut gue paling nyaman untuk menunggu.
Suasana disini hening, gak banyak orang di dalamnya. Hanya tiga orang calon penumpang kereta commuter line, gue, Bapak gue, dan seorang perempuan seumuran gue. Kita bertiga duduk di satu bangku panjang. Mata gue masih saja memantau seluruh penjuru stasiun. Suasananya sangat indah saat itu. Indah untuk merenung, mencari inspirasi, atau segala hal yang perlu dilakukan tanpa ada gangguan orang lain. Awan dan matahari pun mendukung untuk siapapun berdiam disini melepaskan segala masalahnya. Tapi ada satu catatan, menyelesaikan masalah disini hanya dengan cara merenungkan, bukan nekat tiduran di antara dua besi panjang yang di tengahnya diselingi batu-batu, atau yang mudah disebutnya di tengah rel. Jangan!
Bapak sibuk dengan handphonenya, gue juga. Tapi sialnya sedari tadi siang smartphone gue sama sekali gak bisa beroperasi. Gak tau kenapa, mungkin gangguan server dan provider. Biasalah, smartphone ini sudah usang nampaknya. Ups.
Gue simpan baik-baik smartphone gue ini ketika gue sudah merasa sangat kesal dengan kerusakan yang terjadi. Dan kesialan selanjutnya, gue lupa membawa headset, setidaknya kalau gue gak bisa chatting, gue kan bisa dengerin musik. Huh. Akhirnya gue hanya diam dan melantunkan beberapa bait lagu Pink yang berjudul Just Give Me A Reason, Untukmu Semalanya punya band asal Indonesia yaitu Ungu, lagu dari One Direction yang judulnya One Way Or Another, dan juga beberapa lagu dalam dan luar negeri. Sekedar untuk mengisi kekosongan ini.
Sepertinya sudah 10 menit gue duduk disini, tapi gue sama sekali gak merasa kereta akan datang. Gue memutuskan untuk bertanya sama Bapak. Bapak pun gak tau dan beliau juga mulai kecewa. Mata gue menjelajah ke belakang tempat duduk gue. “Nah!” gue melihat spanduk yang berisikan jadwal kedatangan kereta. Gue mengecek jam tangan gue, gue gak bisa menerjemahkannya. Akhirnya gue melihat jam di smartphone gue. Oke, sekarang jam 3 lewat 17 menit. Gue berbalik dan mencari jadwal kereta yang akan datang. What? Jam 15.54, masih lama rupanya. Gue sampaikan informasi singkat itu ke Bapak, Bapak pun semakin terlihat kesal. Tapi mau gimana lagi, namanya naik kereta kita harus mengikuti jadwal.
Oke gue menunggu kereta yang akan paling cepat tiba. Gue kembali menyanyikan beberapa lagu yang gue tau liriknya. Sesekali gue juga mengecek smartphone gue, siapa tau kan sudah gak eror lagi dan gue bisa mengirim pesan whatsapp ke pacar gue. Tapi ternyata masih saja seperti tadi.
Yap, ingat dengan pacar gue. Mulai deh gue merasa keingetan ini ditambah suasana stasiun ditambah lagi cuaca yang mendukung. Gue galau.
Kabar terakhir yang gue tau, tepatnya kemarin, Selasa Siang, dia akan pergi ke Yogyakarta besok malam. Jam Sembilan. Dari stasiun Senen. Dia mau mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Yogya, yang sudah terkenal itu di Indonesia, iya UGM. Dia masih terobsesi dengan impiannya yang sudah tertunda setahun. Karena jalan yang terjadi tahun lalu lah yang membuat timbulnya kisah gue sama dia di kampus sementaranya, Insya Allah.
Karena gue tersadar kalau smartphone ini sedang ada gangguan server dan membuat gue sulit mengakses ke internet, atau mengirim pesan whatsapp ke pacar gue tepatnya. Gue memutuskan untuk mengirim sms saja ke dia. Mengetik empat hurup yang berpadu menjadi nama tengahnya. Send dan menunggu adanya balasan.
Lama juga, gue semakin bosan dengan keadaan ini. Bahkan sudah mulai kesal. Kening gue juga sudah mulai mengkerut. Sip. Ada balasan.
“Aduh, pulsanya cuma 200 car -.-” Yap kalimat itu menunjukkan gak akan ada hal postif yang membuat gue tersenyum hari ini. Gue melirik ke jam tangan, gue lihat jarum panjangnya sudah ke angka lima lewat sedikit. Mungkin tepatnya jam 3 lewat 26 menit.
“Ah!” gue sewot sendiri. Bapak menoleh ke gue dan kembali sibuk dengan handphonenya lagi. Gue tinggalin smartphone itu di dalam tas. Gue kembali bernyanyi-nyanyi sedikit untuk menghilangkan kekesalan gue saat itu. Penasaran. Akhirnya gue balas sms itu.
“Ya, sorry.” Gue harap dia mengerti perasaan gue dari balasan gue yang singkat itu. Gue mulai kembali dengan kebiasaan gue jika gue mulai merasa kesal dan gelisah, menggigit bibir bawah. Sambil mengeluarkan suara geregetan, gue bicara sendiri dalam hati. Ibaratnya sekarang di sisi kanan dan kiri gue lagi ada malaikat dan iblis yang lagi mengacaukan pikiran gue.
Sang Malaikat selalu berbicara hal-hal positif dan memberi gue motivasi. Malaikat ini sepertinya memberikan gue sugesti baik, supaya gue gak negative thinking sama pacar gue. Gue harus sabar dan mengerti keadaan dia. Mungkin dia lagi sibuk rapih-rapih perlengkapan dia untuk di Yogya dan sedang menghemat pengeluaran buat ongkos disana. Jadi dia harus hemat terhadap pulsanya.
Sedangkan sang Iblis ini mulai memberikan gue pikiran-pikiran yang membuat gue merasa kesal. Seharusnya dia sms gue dengan baik. Beli pulsa kek buat balas sms gue. Memangnya gue ini siapanya? Masih di Jakarta saja sudah malas menghubungi pacar sendiri. Apalagi kalau sudah di Yogya? Dilupakan iya kayaknya.
Tapi semua argument itu berakhir dengan pikiran positif. Oke positif. Dia balas sms gue lagi.
“Yeee justru aku yg minta maaf. Maaf yee, last pulsa nih. L itu isi balasannya. Semakin menjadi emosi gue dan semakin kuat juga sang malaikat menentramkan hati gue.
“Iya. Selau. Take care ya buat perjalanan besok” gue berusaha positif thinking di matanya. Tapi sebenarnya, ingin sekali gue lompat dari bangku panjang ini ke tengah rel dan berteriak. Setidaknya supaya gue gak perlu terus-terusan menarik nafas panjang.
Kembali mata gue melihat jam di smartphone ini. 15.41 Waktu Indonesia Bagian Barat. Gue bangun dari bangku ini, berjalan menjauh dari tempat duduk. Sekedar untuk mencari suasana hening di sisi lainnya. Sekitar tujuh langkah kaki gue ini bergerak, gue mendengar suara klakson dari kereta commuter line. Dengan gaya reflek, gue menoleh ke dua arah datangnya kereta. Ternyata kereta yang datang adalah kereta dari arah Duri ke Tangerang, sedangkan gue perlu kereta yang arah sebaliknya.
Kejadian kecil itu kembali membuat gue mengingat pacar gue. Dasar perempuan, apapun bisa dijadikan sumber perasaan. Kali ini gue gak merenung memikirkan hal itu. Gue mencoba mengilanginya dengan mengajak Bapak berbincang. Obrolan kecil seputar kereta commuter line ini. Satu hal yang membuat gue bingung adalah stasiun ini. Kenapa ini masih disebut stasiun kereta api? Padahal sekarang yang beroperasi bukan kereta api lagi, tetapi kereta listrik. Pemikiran itu gue utarakan ke Bapak. Seperti biasanya, watak humoris Bapak membuat pertanyaan itu semakin gak jelas ujungnya. Setidaknya gue gak galau mikirin pacar gue. Huh.
Berhenti sejenak, gue melihat jam di smartphone gue. Waktu menunjukan pukul 15.50. Empat menit lagi kereta datang. Tiga puluh tujuh menit waktu menunggu gue dengan kegalauan pacar gue yang gak bisa gue ajak berbincang akan segera berakhir. Suara kereta itu pun sudah terdengar jelas di telinga gue. Gue bangun dari tempat nyaman gue itu dan berdiri di garis batas tunggu. Bapak juga bangun dan berdiri di samping gue. Tepat jam 15.54 kereta itu berhenti di depan gue. Gue menarik nafas panjang sedetik sebelum pintu gerbong terbuka. Ketika gue melepasnya, pintu itu terbuka dan gue melangkahkan kaki masuk ke gerbong kereta. “Sudah, Fah. Lupakan dia sejenak. Ambil waktu liburan ini tanpa sedetik pun mikirin dia. Fine.” Perjalanan gue menuju ke kampung halaman untuk menjemput Ibu di mulai sekarang. Dengan perjalanan kereta menuju Bekasi, kemudian transit naik mobil pribadi ke Puncak. Halo kesegaran sementara!

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...