Belum
lama aku meruntuhkan pertahananku dalam cinta yang hambar dan yang tidak bisa
beranjak menuju tingkat selanjutnya walau cobaan terus menerpa kita. Belum lama
aku memutuskan untuk berhenti berpura-pura tegar demi menutupi kerapuhan hati
yang semakin hari semakin kehilangan bagian-bagian terpentingnya. Belum lama
aku mencoba untuk kembali memulihkan perasaan yang sudah terkikis oleh rasa
cemburu karena sikapnya yang tidak menunjukkan kekuatan cintanya kepadaku.
Belum lama, bahkan satu bulan saja belum ada.
Waktu
tiga minggu ternyata waktu yang tidak cukup lama untuk membangun kembali rasa
percaya terhadap orang lain. Rasa takut menjalin suatu hubungan dengan yang
lain ternyata masih menghantui setiap malamku. Walau kini, dua minggu ini, ada
orang lain yang hadir mewarnai malamku yang sempat dibuatnya kelabu dalam
beberapa bulan terakhir.
Rasa
nyaman yang orang lain berikan setelah kepergian mantan pacarku itu memang
mengukir senyuman yang telah lama tidak terukir. Dia, orang lain yang bisa
membuat aku tersenyum kembali. Memulainya dengan sikap manis, perhatian, dan
pesan singkat yang terus menerus membuat aku merasa terisi kembali. Dia yang
telah membuatku jatuh hati adalah tantangan terbaru dalam dunia percintaanku.
Dari
kemarin sore memang aku berniat untuk ke rumah sahabatku yang satu itu, Melan
namanya. Sejak satu minggu yang lalu Melan nyaris konstan menghubungiku melalui
pesan singkat. Ia selalu bercerita tentang mantan pacarnya, dia juga baru saja
putus. Niatku untuk berkunjung ke rumahnya bukan dikarenakan kondisi dia yang
belakangan ini selalu drop dan sering bolak-balik ke dokter untuk memeriksa
keadaannya yang tak kunjung sembuh dari sakitnya. Melan menyembunyikan apa yang
ia derita dari orang-orang di sekitarnya. Tapi aku, aku menerka dia terkena
satu penyakit yang cukup parah. Oleh karena itu, aku sangat menaruh perhatian
lebih padanya. Aku tidak ingin sahabatku ini terus menerus merasakan sakit,
apalagi kalau sakitnya itu muncul setelah ia memikirkan mantan pacarnya yang
tidak sama sekali memikirkan dirinya.
Sabtu
ini aku memutuskan tidak berangkat ke kampus untuk kuliah. Setelah semalam aku
baru tiba di rumah sekitar pukul sembilan, paginya badanku terasa sakit semua,
mungkin efek lelah karena berdiri lebih dari dua jam di bus. Setelah semua rasa
pegal di kaki hilang, aku membereskan seluruh kamar dan tubuhku kemudian
bersiap untuk pergi ke rumah Melan. Sekitar pukul satu siang aku berangkat.
Dalam
perjalanan, aku mencoba merangkai kata dan merapihkan cerita yang aku akan
sampaikan ke Melan. Aku tidak ingin perkataanku ini membuatnya terpikirkan dan
kembali sakit. Hari ini aku memang berniat untuk menyampaikan kedekatanku
dengan salah satu teman lama kita berdua. Cerita lama bagi Melan, tetapi cerita
baru untukku. Dadaku berdegup sangat kencang, aku sangat takut Melan tidak bisa
menerimanya. Walau aku tau, Melan sudah lama melupakan cerita lamanya dengan
laki-laki ini. Namun, pesan singkat yang ia kirim kemarin sore membuat aku
semakin resah dan takut rasa yang dulu ia punya kemudian muncul lagi.
Hampir
satu jam perjalanan menuju rumah Melan yang berada di Jakarta Pusat. Denyut
jantungku semakin menguat ketika aku sampai di depan gang rumahnya. Rasanya
ingin kembali pulang dan mengurungkan niatku. Tapi satu kalimat dari teman
kuliahku yang membuatku terus berjalan menuju rumahnya. “Sebelum dia atau
mereka tau dari orang lain. Lebih baik lo sendiri yang bilang, Zah.”
Langkah
kaki begitu cepat mengarungi dua ratus meter dari depan gang. Wajahku mungkin
terlihat panik dan tegang. Bahkan aku merasakan keringat mengalir dari dahiku.
Sampailah aku di depan rumahnya Melan, aku melihat satu kendaraan yang aku tau
itu milik siapa. Saat itulah aku mulai merasa cemburu. Semakin bercampur rasa
itu sekarang, sudah tegang dan panik, kini aku merasa cemburu juga. Raut wajahku
berubah. Lagi dan lagi aku merasakan ingin pulang. Semakin kuat rasa itu hingga
aku benar-benar membalikkan badanku dan berniat kembali pulang.
“Faizah?
Nyari Melan yah?” teriak seorang wanita dari saung yang berada di depan rumah
Melan. Aku tidak sadar kalau disana ada dua wanita dan satu orang pria yang
umurnya sudah sama seperti Ayahku.
Aku
menoleh ke arahnya dan menjawab sapaannya, “iya? Eh Tante.” Mati aku, begitu
dalam hatiku. Kalau sudah kepergok seperti ini, aku tidak mungkin kembali
pulang. Aku menghampiri mereka dan bersalaman dengan mereka. Yang menyapaku
adalah Ibu dari Melan, sedangkan pria yang di sampingnya adalah suaminya,
wanita yang satu lagi adalah adik dari Ayah Melan.
“Faizah,
kok malah balik lagi sih? Bukannya panggil Melannya. Melan ada di dalem kok
sama Wisnu.” Ujarnya. Terdiam mendengar nama itu. Benar pradugaku, walau aku
belum sering diboncengi di motor itu. Tapi aku sudah mantap menebak kalau itu
motor milik Wisnu.
“Oh,
ada Wisnu ya, Tan? Dari kapan Wisnu disini?”
“Dari
tadi jam sepuluh. Wisnu datang naik motornya itu. Tante seneng banget deh Wisnu
main lagi kesini. Kayaknya dia masih nanggepin Melan ya. Tante kangen banget
sama Wisnu, kemarin Tante suruh Melan sms Wisnu dan suruh dia main kesini.”
Curhatnya dengan wajah senang.
Aku
mendengarnya bukanlah hal yang baru, kemarin sore pun Melan sudah menceritakan
hal itu kepadaku. Hal itu lah yang membuat aku bertekad datang kesini. Tanpa
direncanakan, Wisnu sudah datang terlebih dahulu.
Pikiranku
semakin kacau, cemburu dan rasa takut kehilangan Wisnu mulai datang. Haruskah
aku yang mengalah? Perlukah aku memangkas bibit yang baru tumbuh supaya tidak
terus menerus tersiram air hujan yang lama kelamaan akan membuatnya layu?
“Yauda
Tante. Aku masuk saja nih? Tapi gak enak ah Tan kalau ada Wisnu. Mungkin mereka
berdua juga lagi lepas kangen.” Mengeluarkan kalimat terakhir itu seperti
mencambuk diriku sendiri. Begitu sakit menahannya. Tapi aku tersadar, ini tidak
boleh terjadi. Aku bukan siapa-siapa.
“Ya
sudah, kamu disini aja sama Tante. Biar Melan sama Wisnu dulu berdua. Siapa tau
mereka bisa balik seperti dulu.”
Aku
mengerutkan dahiku begitu mendengar Tante Maya mengatakan hal itu. Terasa
kembali sakit di dalam hati ini. Baru saja aku mengumpulkan puing-puing dari
hati yang masih rapuh, kini aku harus menerima kenyataan pahit yang ada di
antara aku, kamu, dan dia.
Dua
minggu menjalin komunikasi yang intensif dengan seluruh isi pesan singkat yang
manis dan menunjukkan rasa yang masih ditutupi waktu yang belum tepat untuk
mengutarakannya, jelas menggambarkan perasaan yang nyata adanya di antara aku
dan Wisnu. Harusnya dari kemarin aku dan Wisnu mewujudkan keinginan kita untuk
menghabiskan waktu berdua, berbagi kisah dan mengungkapkan perasaan yang ada di
antara kita sekaligus menyampaikan setiap masalah yang akan timbul dari
kedekatan kita berdua. Atau mungkin, disini hanya aku merasakan perasaan itu.
Rasa nyaman ketika kita saling perhatian dalam pesan singkat. Mungkin, aku yang
salah menerjemahkannya.
Aku
duduk di antara tiga orang tua ini. Tante Maya terus menerus menceritakan
kebahagiaannya yang bisa bertemu lagi dengan Wisnu. Semakin banyak cerita yang
diungkapkannya, semakin teriris hati ini meresapnya.
Tidak
lama aku berada di antara Tante Maya dan suaminya, Melan keluar dari rumahnya
bersama Wisnu. Mereka terlihat bahagia, mungkin habis cerita masa-masa indahnya
dulu. Sekedar nostalgia, tapi itu membuat mataku mulai berkaca-kaca. Mereka
melihatku duduk dan mencoba tersenyum dari kejauhan. Beberapa detik aku melihat
Melan, kemudian pandanganku beralih ke Wisnu. Ia melihat aku yang mulai tidak
kuat dengan keadaan yang ada. Aku menatap Wisnu penuh.
“Seeehhh…
ada Izah toh! Zah, lo kenapa gak masuk aja? Malah main sama Ibu-Ibu?” teriak
Melan dari depan pintu rumahnya.
Dahiku
masih mengkerut tapi senyum palsu itu nyaris tergambar seperti asli, “gue lagi
cerita-cerita sama nyokap lo, Mel. Kayaknya Tante Maya seneng banget ada
Wisnu,” kataku seraya melirik ke arah Wisnu. Aku menghampiri mereka berdua dan
mencoba tegar. “Gak nyangka ya, Nu. Gue ketemu lo disini. Di rumah Melan.”
Kalimatku sedikit dengan tekanan.
“Mel,
Wisnu di rumah aja yah. Kan ada Faizah nih, jadi Wisnu enak di rumah Melan.
Maaf ya gak bisa nganterin Melan.”ujar Wisnu seraya menarik tanganku dan aku
tidak melepaskannya.
“Nah!
Ya sudah itu lebih bagus, Nu. Melan ke warung dulu ya.”
Kemudian
Melan pergi ke warung, sedangkan aku dan Wisnu masuk ke dalam rumahnya. Tiga
orang tua yang duduk di saung hanya melihat kami dari kejauhan.
Aku
masuk ke rumah Melan dan duduk di ruang tamunya. Satu menit pertama, aku dan
Wisnu tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Aku menikmati acara televisi yang
terputar di layar dua puluh satu inci, sedangkan Wisnu tertunduk diam seolah
dia memiliki kesalahan disini.
“Maafin
gue ya, Zah” katanya kembali meraih tangan kiriku.
“Maaf?
Maaf buat apa ya, Nu?” tanyaku sinis.
“Maafin
gue, gue tau ini nyakitin hati lo banget, Zah. Ada di rumah sahabat lo di saat
gue pendekatan sama lo. Jujur ini cuma permintaan Tante Maya doang. Demi Tante
Maya, Zah. Tolong lo ngerti yah.”
“Kenapa
lo harus merasa bersalah gitu sih? Gue juga tau kalau emang Tante Maya yang
suruh lo kesini. Gue juga tau, Tante Maya masih sangat respect sama lo. Gue tau
keluarga ini masih terbuka buat lo. Termasuk sahabat gue itu.”
“Nah,
kalau lo tau. Kenapa lo judes gitu sih?”
“Aduh,
sorry ya kalau gue keliatan judes. Gue cuma mau nutupin perasaan gue di depan
mereka, Nu.”
“Perasaan?
Berarti lo ada rasa ya sama gue? Maafin gue ya, harusnya kita omongin ini gak
di rumah Melan. Tapi ini yang terjadi, gue harap bisa jadi yang terbaik ya,
Zah.”
“Udah
deh, bersikap biasa aja. Jangan buat sahabat gue drop lagi.”
“Janji
ya, kita harus bersikap biasa. Kita berdua pasang topeng kita masing-masing.”
Aku
tidak menjawabnya dengan kata-kata, aku membalas perkataannya dengan anggukan.
“Cie
yang suka sama gue,” ledeknya.
“Cie
yang juga suka sama gue,” balasku meledeknya. Seketika semua perasaan yang
buruk itu menghilang setelah aku tau bahwa bukan aku yang salah menanggapi
segala perhatian dari Wisnu.
“Zah,
tapi kenapa kita pakai topeng yah? Kenapa kita gak coba jujur sama Melan? Kan
waktu itu gue bilang yah, kalau kita takut mah kapan majunya? Stuck terus kan?”
“Wisnu,
ini posisinya beda. Gue gak mau Melan tiba-tiba kepikiran dan sakit lagi.
Tunggu waktu yang pas biar dia tau. Jadi dia juga gak kepikiran dan sakit. Dia
lagi rapuh banget. Senyum dia itu cuma kiasan, Nu. Dia berpura-pura tegar dan
senang. Gue tau itu.”
“Tapi
sampai kapan, Zah?” Wisnu menatap wajahku. Belum sempat aku menjawab, Melan
datang. Dan aku mengalihkan pandangannya dari wajahku.
“Nih
jajanannya!” Melan meletakkan sebungkus makanan di depan kami. Aku memintanya
duduk di sampingku, di antara Wisnu dan aku. Tapi ia menolaknya, ia memilih
duduk di depan kami berdua. Pikiranku mulai melayang, aku takut dia akan
menginterogasi kami. Ternyata benar.
“Jujur
sama gue, kalian lagi deket kan?” tanya Melan membuat keadaan di ruang tamu ini
memanas dan penuh dengan ketegangan. Dari balik badanku, Wisnu meraih telapak
tangan kiriku. Ia menggenggamnya erat ditutupi kedua badan kami. Mata kami
saling menatap, memberikan pertanyaan, haruskah kami ungkapkan semuanya.
“Engga
kok, Mel.” Jawabku spontan setelah merasakan genggaman dari Wisnu.
“Santai
aja kali, Zah. Kalau kalian berdua emang lagi deket dan sama-sama punya
perasaan lebih. Kenapa kalian tutup-tutupin?”
Aku
melepaskan genggamannya. “lo bilang sama dia kalau kita lagi deket?” tanyaku
berbisik kepada Wisnu ketika Melan mengalihkan pandangannya ke televisi.
“Engga,
sama sekali gue belum bilang.” Jawab Wisnu, “mending kita jujur aja deh.”
“Iya”
jawabku seraya menganggukkan kepalaku.
“Mel,
maafin Wisnu ya. Tadi kan Wisnu udah certain kenapa waktu itu Wisnu ninggalin
Melan dan jadian sama orang lain. Itu karena Melan udah Wisnu anggap sebagai
sahabat aja kok, Mel. Tapi sekarang Wisnu gak bohong kok kalau Wisnu tuh emang
gak lagi deket sama Faizah. Yak an, Zah?” ujar Wisnu, “gue gak kuat liat dia
sakit, Zah. Bohong dulu lah.” Lanjutnya.
“Iya
kok, Mel. Gue sama Wisnu sama sekali gak ada hubungan apa-apa. Kedekatan kita
biasa kayak temen aja.” Aku mengerti ketakutan Wisnu, begitu pun aku tidak
ingin melihat Melan sakit lagi. Begitu besar kekhawatiranku terhadap Melan,
“kayaknya Wisnu masih suka sama lo, Mel. Keluarga lo juga kan? Kenapa gue yang
harus jadi deket sama dia?”
“Bener
begitu, Nu?” tanya Melan, “kalian tau kan gue lagi sakit-sakitan terus. Tolong,
jangan sekalipun bohong sama gue! Karena gue gak mau terus-terusan kepikiran
kebohongan kalian dan gue kembali sakit. Lo tau kan, Zah? Gue gak boleh banyak
mikir” lanjutnya.
Aku
menghampiri Melan dan menggenggam kedua telapak tangannya, “engga kok, Mel. Gue
sayang sama lo, gue gak mungkin bohong sama lo. Lo percaya deh sama gue. Lo
jangan pernah mikir apapun tentang gue sama Wisnu. Gue sama dia gak ada apa-apa
kok. Kita hanya berteman, dan kita juga gak akan nyakitin lo kok dengan
berbohong.”
“Gue
juga sayang sama lo, Zah. Makanya gue gak mau orang yang gue sayang itu
berbohong sama gue. Ya sudah, gue udah tenang kok kalau kalian udah jujur.”
Aku
kembali ke tempat dudukku. Suasana mencair seperti tidak ada masalah walaupun
disini aku masih menutupi perasaanku. Aku berusaha tegar disini sebagai orang
yang lebih sehat dibandingkan perempuan seumuranku yang duduk di depanku. Wisnu
mulai mencurahkan perhatian kecilnya kepada Melan, aku melihatnya hanya sebagai
perjuangan untuk menjaga perasaan teman sendiri. Meskipun terasa sakit dan
sedih bagi hati yang baru saja terobati, tapi hal itu akan lebih bijaksana kami
lakukan demi Melan.
Sekuat
apapun aku, hati aku masih terlalu sensitif untuk melihat kedekatan mereka
kembali. Aku rasa aku sudah tidak tahan ada disini. Aku meminta izin kepada
Melan untuk pulang ke rumah. Setidaknya agar aku tidak terus menerus melihat
pemandangan yang paling aku benci.
“Mel,
gue balik duluan ya. Gue seneng liat lo udah gak drop lagi. Bingkisannya tadi
udah gue taruh di dapur ya. Hehe maaf cuma buah aja. Yang penting lo sehat dan
gue juga seneng lihat sahabat gue seneng.”
“Jangan
pulang, Zah!” kata Wisnu, “maksud gue, lo nanti balik sama gue aja.”
“Gak
perlu, Nu. Lo temenin Melan aja. Kayaknya juga gue mau ke kampus dulu. Ada
urusan.”
“Himpunan?”
tanya Wisnu.
“Iyah.”
Jawab aku dengan nada rendah. Nampaknya hati, pikiran, dan ragaku sudah lelah
disini.
“Kalau
gitu, kalian pulang aja sekarang. Udah sore juga,” kata Melan, “gue disini juga
udah seneng atas kedatangan kalian.”
“Bener,
Mel? Kalau gitu ya Wisnu sama Faizah pulang sekarang aja yah?” tanya Wisnu.
“Iya.
Kalian pulang sekarang aja.”
“Bener,
Mel? Gue pulang sama Wisnu gak apa-apa kan?”
“Iya
gak apa-apa kok. Wisnu kan orang yang bertanggung jawab. Makanya gue sempet
suka dulu sama dia.”
Pada
akhirnya, aku dan Wisnu memutuskan untuk pulang. Dari depan pintu rumahnya,
kami berpamitan. Begitu juga kepada kedua orang tua Melan. Sedikit lebih lega
buatku, karena aku tidak perlu memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah
aku pulang. Dan aku juga senang akhirnya aku bisa bersama Wisnu lagi. Mungkin
disini aku akan menghabiskan hari ini bersama Wisnu dan benar-benar saling
mengutarakan perasaan kami.
Begitu
selesai aku memakai helm, aku melambaikan tanganku kepada Melan. Ketika Wisnu
mau menarik gasnya, Melan terjatuh dan pingsan. Aku dan Wisnu panik dan dengan
sigap turun dari motor. Wisnu diminta Tante Maya untuk membawa Melan ke rumah
sakit. Dengan boncengan bertiga denganku, aku membawa Melan ke rumah sakit
terdekat. Ayah dan Ibu Melan menyusul dengan motornya di belakang. Pikiranku
semakin tidak karuan, baru saja aku berpikir tentang kesenanganku dengan Wisnu.
Kini aku harus panik dengan keadaan Melan dan secepat mungkin aku harus
menguburkan kesenanganku yang belum sempat aku rasakan.
Setibanya
di rumah sakit, dengan begitu perhatiannya Wisnu membawa Melan ke ICU. Melihat
perhatian Wisnu yang begitu lebih ke Melan sore hari itu membuat hatiku kembali
merasakan cemburu yang lebih dari sebelumnya. Harusnya aku sadari, aku tidak
boleh egois dengan temanku sendiri. Harusnya aku jujur dengan dia atas keadaan
yang terjadi. Sekalipun itu akan membuatnya terluka, tapi dia akan tau lebih
dulu. Harusnya aku tidak perlu berpura-pura tegar untuk hati yang baru saja
terobati. Tapi, di sisi lain, aku bersyukur. Aku melakukan ini untuk sahabatku.
Sehingga aku mengerti, apa arti sahabat. Lalu aku pergi dari rumah sakit
meninggalkan mereka dan kembali ke rumah untuk menghindari rasa sedih yang
mendalam. Maafin aku Melan, aku hanya tidak ingin terus menerus menyakiti hati
aku.