Sabtu, 16 November 2013

Aku, Kamu, dan Dia



Belum lama aku meruntuhkan pertahananku dalam cinta yang hambar dan yang tidak bisa beranjak menuju tingkat selanjutnya walau cobaan terus menerpa kita. Belum lama aku memutuskan untuk berhenti berpura-pura tegar demi menutupi kerapuhan hati yang semakin hari semakin kehilangan bagian-bagian terpentingnya. Belum lama aku mencoba untuk kembali memulihkan perasaan yang sudah terkikis oleh rasa cemburu karena sikapnya yang tidak menunjukkan kekuatan cintanya kepadaku. Belum lama, bahkan satu bulan saja belum ada.
Waktu tiga minggu ternyata waktu yang tidak cukup lama untuk membangun kembali rasa percaya terhadap orang lain. Rasa takut menjalin suatu hubungan dengan yang lain ternyata masih menghantui setiap malamku. Walau kini, dua minggu ini, ada orang lain yang hadir mewarnai malamku yang sempat dibuatnya kelabu dalam beberapa bulan terakhir.
Rasa nyaman yang orang lain berikan setelah kepergian mantan pacarku itu memang mengukir senyuman yang telah lama tidak terukir. Dia, orang lain yang bisa membuat aku tersenyum kembali. Memulainya dengan sikap manis, perhatian, dan pesan singkat yang terus menerus membuat aku merasa terisi kembali. Dia yang telah membuatku jatuh hati adalah tantangan terbaru dalam dunia percintaanku.
Dari kemarin sore memang aku berniat untuk ke rumah sahabatku yang satu itu, Melan namanya. Sejak satu minggu yang lalu Melan nyaris konstan menghubungiku melalui pesan singkat. Ia selalu bercerita tentang mantan pacarnya, dia juga baru saja putus. Niatku untuk berkunjung ke rumahnya bukan dikarenakan kondisi dia yang belakangan ini selalu drop dan sering bolak-balik ke dokter untuk memeriksa keadaannya yang tak kunjung sembuh dari sakitnya. Melan menyembunyikan apa yang ia derita dari orang-orang di sekitarnya. Tapi aku, aku menerka dia terkena satu penyakit yang cukup parah. Oleh karena itu, aku sangat menaruh perhatian lebih padanya. Aku tidak ingin sahabatku ini terus menerus merasakan sakit, apalagi kalau sakitnya itu muncul setelah ia memikirkan mantan pacarnya yang tidak sama sekali memikirkan dirinya.
Sabtu ini aku memutuskan tidak berangkat ke kampus untuk kuliah. Setelah semalam aku baru tiba di rumah sekitar pukul sembilan, paginya badanku terasa sakit semua, mungkin efek lelah karena berdiri lebih dari dua jam di bus. Setelah semua rasa pegal di kaki hilang, aku membereskan seluruh kamar dan tubuhku kemudian bersiap untuk pergi ke rumah Melan. Sekitar pukul satu siang aku berangkat.
Dalam perjalanan, aku mencoba merangkai kata dan merapihkan cerita yang aku akan sampaikan ke Melan. Aku tidak ingin perkataanku ini membuatnya terpikirkan dan kembali sakit. Hari ini aku memang berniat untuk menyampaikan kedekatanku dengan salah satu teman lama kita berdua. Cerita lama bagi Melan, tetapi cerita baru untukku. Dadaku berdegup sangat kencang, aku sangat takut Melan tidak bisa menerimanya. Walau aku tau, Melan sudah lama melupakan cerita lamanya dengan laki-laki ini. Namun, pesan singkat yang ia kirim kemarin sore membuat aku semakin resah dan takut rasa yang dulu ia punya kemudian muncul lagi.
Hampir satu jam perjalanan menuju rumah Melan yang berada di Jakarta Pusat. Denyut jantungku semakin menguat ketika aku sampai di depan gang rumahnya. Rasanya ingin kembali pulang dan mengurungkan niatku. Tapi satu kalimat dari teman kuliahku yang membuatku terus berjalan menuju rumahnya. “Sebelum dia atau mereka tau dari orang lain. Lebih baik lo sendiri yang bilang, Zah.”
Langkah kaki begitu cepat mengarungi dua ratus meter dari depan gang. Wajahku mungkin terlihat panik dan tegang. Bahkan aku merasakan keringat mengalir dari dahiku. Sampailah aku di depan rumahnya Melan, aku melihat satu kendaraan yang aku tau itu milik siapa. Saat itulah aku mulai merasa cemburu. Semakin bercampur rasa itu sekarang, sudah tegang dan panik, kini aku merasa cemburu juga. Raut wajahku berubah. Lagi dan lagi aku merasakan ingin pulang. Semakin kuat rasa itu hingga aku benar-benar membalikkan badanku dan berniat kembali pulang.
“Faizah? Nyari Melan yah?” teriak seorang wanita dari saung yang berada di depan rumah Melan. Aku tidak sadar kalau disana ada dua wanita dan satu orang pria yang umurnya sudah sama seperti Ayahku.
Aku menoleh ke arahnya dan menjawab sapaannya, “iya? Eh Tante.” Mati aku, begitu dalam hatiku. Kalau sudah kepergok seperti ini, aku tidak mungkin kembali pulang. Aku menghampiri mereka dan bersalaman dengan mereka. Yang menyapaku adalah Ibu dari Melan, sedangkan pria yang di sampingnya adalah suaminya, wanita yang satu lagi adalah adik dari Ayah Melan.
“Faizah, kok malah balik lagi sih? Bukannya panggil Melannya. Melan ada di dalem kok sama Wisnu.” Ujarnya. Terdiam mendengar nama itu. Benar pradugaku, walau aku belum sering diboncengi di motor itu. Tapi aku sudah mantap menebak kalau itu motor milik Wisnu.
“Oh, ada Wisnu ya, Tan? Dari kapan Wisnu disini?”
“Dari tadi jam sepuluh. Wisnu datang naik motornya itu. Tante seneng banget deh Wisnu main lagi kesini. Kayaknya dia masih nanggepin Melan ya. Tante kangen banget sama Wisnu, kemarin Tante suruh Melan sms Wisnu dan suruh dia main kesini.” Curhatnya dengan wajah senang.
Aku mendengarnya bukanlah hal yang baru, kemarin sore pun Melan sudah menceritakan hal itu kepadaku. Hal itu lah yang membuat aku bertekad datang kesini. Tanpa direncanakan, Wisnu sudah datang terlebih dahulu.
Pikiranku semakin kacau, cemburu dan rasa takut kehilangan Wisnu mulai datang. Haruskah aku yang mengalah? Perlukah aku memangkas bibit yang baru tumbuh supaya tidak terus menerus tersiram air hujan yang lama kelamaan akan membuatnya layu?
“Yauda Tante. Aku masuk saja nih? Tapi gak enak ah Tan kalau ada Wisnu. Mungkin mereka berdua juga lagi lepas kangen.” Mengeluarkan kalimat terakhir itu seperti mencambuk diriku sendiri. Begitu sakit menahannya. Tapi aku tersadar, ini tidak boleh terjadi. Aku bukan siapa-siapa.
“Ya sudah, kamu disini aja sama Tante. Biar Melan sama Wisnu dulu berdua. Siapa tau mereka bisa balik seperti dulu.”
Aku mengerutkan dahiku begitu mendengar Tante Maya mengatakan hal itu. Terasa kembali sakit di dalam hati ini. Baru saja aku mengumpulkan puing-puing dari hati yang masih rapuh, kini aku harus menerima kenyataan pahit yang ada di antara aku, kamu, dan dia.
Dua minggu menjalin komunikasi yang intensif dengan seluruh isi pesan singkat yang manis dan menunjukkan rasa yang masih ditutupi waktu yang belum tepat untuk mengutarakannya, jelas menggambarkan perasaan yang nyata adanya di antara aku dan Wisnu. Harusnya dari kemarin aku dan Wisnu mewujudkan keinginan kita untuk menghabiskan waktu berdua, berbagi kisah dan mengungkapkan perasaan yang ada di antara kita sekaligus menyampaikan setiap masalah yang akan timbul dari kedekatan kita berdua. Atau mungkin, disini hanya aku merasakan perasaan itu. Rasa nyaman ketika kita saling perhatian dalam pesan singkat. Mungkin, aku yang salah menerjemahkannya.
Aku duduk di antara tiga orang tua ini. Tante Maya terus menerus menceritakan kebahagiaannya yang bisa bertemu lagi dengan Wisnu. Semakin banyak cerita yang diungkapkannya, semakin teriris hati ini meresapnya.
Tidak lama aku berada di antara Tante Maya dan suaminya, Melan keluar dari rumahnya bersama Wisnu. Mereka terlihat bahagia, mungkin habis cerita masa-masa indahnya dulu. Sekedar nostalgia, tapi itu membuat mataku mulai berkaca-kaca. Mereka melihatku duduk dan mencoba tersenyum dari kejauhan. Beberapa detik aku melihat Melan, kemudian pandanganku beralih ke Wisnu. Ia melihat aku yang mulai tidak kuat dengan keadaan yang ada. Aku menatap Wisnu penuh.
“Seeehhh… ada Izah toh! Zah, lo kenapa gak masuk aja? Malah main sama Ibu-Ibu?” teriak Melan dari depan pintu rumahnya.
Dahiku masih mengkerut tapi senyum palsu itu nyaris tergambar seperti asli, “gue lagi cerita-cerita sama nyokap lo, Mel. Kayaknya Tante Maya seneng banget ada Wisnu,” kataku seraya melirik ke arah Wisnu. Aku menghampiri mereka berdua dan mencoba tegar. “Gak nyangka ya, Nu. Gue ketemu lo disini. Di rumah Melan.” Kalimatku sedikit dengan tekanan.
“Mel, Wisnu di rumah aja yah. Kan ada Faizah nih, jadi Wisnu enak di rumah Melan. Maaf ya gak bisa nganterin Melan.”ujar Wisnu seraya menarik tanganku dan aku tidak melepaskannya.
“Nah! Ya sudah itu lebih bagus, Nu. Melan ke warung dulu ya.”
Kemudian Melan pergi ke warung, sedangkan aku dan Wisnu masuk ke dalam rumahnya. Tiga orang tua yang duduk di saung hanya melihat kami dari kejauhan.
Aku masuk ke rumah Melan dan duduk di ruang tamunya. Satu menit pertama, aku dan Wisnu tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Aku menikmati acara televisi yang terputar di layar dua puluh satu inci, sedangkan Wisnu tertunduk diam seolah dia memiliki kesalahan disini.
“Maafin gue ya, Zah” katanya kembali meraih tangan kiriku.
“Maaf? Maaf buat apa ya, Nu?” tanyaku sinis.
“Maafin gue, gue tau ini nyakitin hati lo banget, Zah. Ada di rumah sahabat lo di saat gue pendekatan sama lo. Jujur ini cuma permintaan Tante Maya doang. Demi Tante Maya, Zah. Tolong lo ngerti yah.”
“Kenapa lo harus merasa bersalah gitu sih? Gue juga tau kalau emang Tante Maya yang suruh lo kesini. Gue juga tau, Tante Maya masih sangat respect sama lo. Gue tau keluarga ini masih terbuka buat lo. Termasuk sahabat gue itu.”
“Nah, kalau lo tau. Kenapa lo judes gitu sih?”
“Aduh, sorry ya kalau gue keliatan judes. Gue cuma mau nutupin perasaan gue di depan mereka, Nu.”
“Perasaan? Berarti lo ada rasa ya sama gue? Maafin gue ya, harusnya kita omongin ini gak di rumah Melan. Tapi ini yang terjadi, gue harap bisa jadi yang terbaik ya, Zah.”
“Udah deh, bersikap biasa aja. Jangan buat sahabat gue drop lagi.”
“Janji ya, kita harus bersikap biasa. Kita berdua pasang topeng kita masing-masing.”
Aku tidak menjawabnya dengan kata-kata, aku membalas perkataannya dengan anggukan.
“Cie yang suka sama gue,” ledeknya.
“Cie yang juga suka sama gue,” balasku meledeknya. Seketika semua perasaan yang buruk itu menghilang setelah aku tau bahwa bukan aku yang salah menanggapi segala perhatian dari Wisnu.
“Zah, tapi kenapa kita pakai topeng yah? Kenapa kita gak coba jujur sama Melan? Kan waktu itu gue bilang yah, kalau kita takut mah kapan majunya? Stuck terus kan?”
“Wisnu, ini posisinya beda. Gue gak mau Melan tiba-tiba kepikiran dan sakit lagi. Tunggu waktu yang pas biar dia tau. Jadi dia juga gak kepikiran dan sakit. Dia lagi rapuh banget. Senyum dia itu cuma kiasan, Nu. Dia berpura-pura tegar dan senang. Gue tau itu.”
“Tapi sampai kapan, Zah?” Wisnu menatap wajahku. Belum sempat aku menjawab, Melan datang. Dan aku mengalihkan pandangannya dari wajahku.
“Nih jajanannya!” Melan meletakkan sebungkus makanan di depan kami. Aku memintanya duduk di sampingku, di antara Wisnu dan aku. Tapi ia menolaknya, ia memilih duduk di depan kami berdua. Pikiranku mulai melayang, aku takut dia akan menginterogasi kami. Ternyata benar.
“Jujur sama gue, kalian lagi deket kan?” tanya Melan membuat keadaan di ruang tamu ini memanas dan penuh dengan ketegangan. Dari balik badanku, Wisnu meraih telapak tangan kiriku. Ia menggenggamnya erat ditutupi kedua badan kami. Mata kami saling menatap, memberikan pertanyaan, haruskah kami ungkapkan semuanya.
“Engga kok, Mel.” Jawabku spontan setelah merasakan genggaman dari Wisnu.
“Santai aja kali, Zah. Kalau kalian berdua emang lagi deket dan sama-sama punya perasaan lebih. Kenapa kalian tutup-tutupin?”
Aku melepaskan genggamannya. “lo bilang sama dia kalau kita lagi deket?” tanyaku berbisik kepada Wisnu ketika Melan mengalihkan pandangannya ke televisi.
“Engga, sama sekali gue belum bilang.” Jawab Wisnu, “mending kita jujur aja deh.”
“Iya” jawabku seraya menganggukkan kepalaku.
“Mel, maafin Wisnu ya. Tadi kan Wisnu udah certain kenapa waktu itu Wisnu ninggalin Melan dan jadian sama orang lain. Itu karena Melan udah Wisnu anggap sebagai sahabat aja kok, Mel. Tapi sekarang Wisnu gak bohong kok kalau Wisnu tuh emang gak lagi deket sama Faizah. Yak an, Zah?” ujar Wisnu, “gue gak kuat liat dia sakit, Zah. Bohong dulu lah.” Lanjutnya.
“Iya kok, Mel. Gue sama Wisnu sama sekali gak ada hubungan apa-apa. Kedekatan kita biasa kayak temen aja.” Aku mengerti ketakutan Wisnu, begitu pun aku tidak ingin melihat Melan sakit lagi. Begitu besar kekhawatiranku terhadap Melan, “kayaknya Wisnu masih suka sama lo, Mel. Keluarga lo juga kan? Kenapa gue yang harus jadi deket sama dia?”
“Bener begitu, Nu?” tanya Melan, “kalian tau kan gue lagi sakit-sakitan terus. Tolong, jangan sekalipun bohong sama gue! Karena gue gak mau terus-terusan kepikiran kebohongan kalian dan gue kembali sakit. Lo tau kan, Zah? Gue gak boleh banyak mikir” lanjutnya.
Aku menghampiri Melan dan menggenggam kedua telapak tangannya, “engga kok, Mel. Gue sayang sama lo, gue gak mungkin bohong sama lo. Lo percaya deh sama gue. Lo jangan pernah mikir apapun tentang gue sama Wisnu. Gue sama dia gak ada apa-apa kok. Kita hanya berteman, dan kita juga gak akan nyakitin lo kok dengan berbohong.”
“Gue juga sayang sama lo, Zah. Makanya gue gak mau orang yang gue sayang itu berbohong sama gue. Ya sudah, gue udah tenang kok kalau kalian udah jujur.”
Aku kembali ke tempat dudukku. Suasana mencair seperti tidak ada masalah walaupun disini aku masih menutupi perasaanku. Aku berusaha tegar disini sebagai orang yang lebih sehat dibandingkan perempuan seumuranku yang duduk di depanku. Wisnu mulai mencurahkan perhatian kecilnya kepada Melan, aku melihatnya hanya sebagai perjuangan untuk menjaga perasaan teman sendiri. Meskipun terasa sakit dan sedih bagi hati yang baru saja terobati, tapi hal itu akan lebih bijaksana kami lakukan demi Melan.
Sekuat apapun aku, hati aku masih terlalu sensitif untuk melihat kedekatan mereka kembali. Aku rasa aku sudah tidak tahan ada disini. Aku meminta izin kepada Melan untuk pulang ke rumah. Setidaknya agar aku tidak terus menerus melihat pemandangan yang paling aku benci.
“Mel, gue balik duluan ya. Gue seneng liat lo udah gak drop lagi. Bingkisannya tadi udah gue taruh di dapur ya. Hehe maaf cuma buah aja. Yang penting lo sehat dan gue juga seneng lihat sahabat gue seneng.”
“Jangan pulang, Zah!” kata Wisnu, “maksud gue, lo nanti balik sama gue aja.”
“Gak perlu, Nu. Lo temenin Melan aja. Kayaknya juga gue mau ke kampus dulu. Ada urusan.”
“Himpunan?” tanya Wisnu.
“Iyah.” Jawab aku dengan nada rendah. Nampaknya hati, pikiran, dan ragaku sudah lelah disini.
“Kalau gitu, kalian pulang aja sekarang. Udah sore juga,” kata Melan, “gue disini juga udah seneng atas kedatangan kalian.”
“Bener, Mel? Kalau gitu ya Wisnu sama Faizah pulang sekarang aja yah?” tanya Wisnu.
“Iya. Kalian pulang sekarang aja.”
“Bener, Mel? Gue pulang sama Wisnu gak apa-apa kan?”
“Iya gak apa-apa kok. Wisnu kan orang yang bertanggung jawab. Makanya gue sempet suka dulu sama dia.”
Pada akhirnya, aku dan Wisnu memutuskan untuk pulang. Dari depan pintu rumahnya, kami berpamitan. Begitu juga kepada kedua orang tua Melan. Sedikit lebih lega buatku, karena aku tidak perlu memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah aku pulang. Dan aku juga senang akhirnya aku bisa bersama Wisnu lagi. Mungkin disini aku akan menghabiskan hari ini bersama Wisnu dan benar-benar saling mengutarakan perasaan kami.
Begitu selesai aku memakai helm, aku melambaikan tanganku kepada Melan. Ketika Wisnu mau menarik gasnya, Melan terjatuh dan pingsan. Aku dan Wisnu panik dan dengan sigap turun dari motor. Wisnu diminta Tante Maya untuk membawa Melan ke rumah sakit. Dengan boncengan bertiga denganku, aku membawa Melan ke rumah sakit terdekat. Ayah dan Ibu Melan menyusul dengan motornya di belakang. Pikiranku semakin tidak karuan, baru saja aku berpikir tentang kesenanganku dengan Wisnu. Kini aku harus panik dengan keadaan Melan dan secepat mungkin aku harus menguburkan kesenanganku yang belum sempat aku rasakan.
Setibanya di rumah sakit, dengan begitu perhatiannya Wisnu membawa Melan ke ICU. Melihat perhatian Wisnu yang begitu lebih ke Melan sore hari itu membuat hatiku kembali merasakan cemburu yang lebih dari sebelumnya. Harusnya aku sadari, aku tidak boleh egois dengan temanku sendiri. Harusnya aku jujur dengan dia atas keadaan yang terjadi. Sekalipun itu akan membuatnya terluka, tapi dia akan tau lebih dulu. Harusnya aku tidak perlu berpura-pura tegar untuk hati yang baru saja terobati. Tapi, di sisi lain, aku bersyukur. Aku melakukan ini untuk sahabatku. Sehingga aku mengerti, apa arti sahabat. Lalu aku pergi dari rumah sakit meninggalkan mereka dan kembali ke rumah untuk menghindari rasa sedih yang mendalam. Maafin aku Melan, aku hanya tidak ingin terus menerus menyakiti hati aku.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...