Minggu, 03 November 2013

KU INGIN, KATAKANLAH



Dia menatap mataku tajam seperti biasa. Tepat di hadapanku. Aku yang memergokinya tak sanggup untuk mengalihkan pandanganku. Aku membalas seluruh binar matanya yang jatuh tepat di kedua bola mataku. dari bali kaca setebal tiga millimeter berbingkai plastik warna hitam. Empat bola mata saling berhadapan.
“Boleh aku buka?” ucapnya menunjuk mata kananku. Bukan mataku yang ingin ia buka, itu pasti, “maaf ya, sebentar” ia lanjutkan menyentuh batang dari kacamata ini. kemudian ia tarik keluar dari sela telinga, perlahan tapi benar-benar ia melepasnya dari depan mata.
Aku terdiam, sama sekali tidak bisa berkata apapun. Seolah waktu berhenti, aku mematung, namun hanya dia yang bisa beraksi. Mulutku terbuka sedikit menunjukkan aku terkejut melihat apa yang dia lakukan. Bukan tentang cara dia menatapku, karena aku sudah sering merasakannya berkali-kali dulu. Tapi aku menyadari, ada yang beda disini. Maksud dia menatapku beberapa detik ini.
Benda itu terlepas. Seluruh bentuk mata tampak sangat jelas. Ia tak berhenti menatapku walau satu detik. Walau dia bergerak untuk melepaskan kacamata itu. Tatapanku pun masih terpaku penuh. Kali ini aku bingung dan tidak bisa mengelak seperti biasanya. Ya, dia menghipnotis aku dengan matanya.
Bola mataku mulai lelah dengan diamnya. Mereka bergerak ke kanan dan ke kiri, namun tak lepas dari matanya. Mulutku yang terbuka mulai tertutup rapat dan tertarik pada kedua sisi.
“Aku seneng lihat mata kamu telanjang seperti ini. tanpa benda ini, tanpa alat pembantu apapun walaupun kamu memang membutuhkan benda-benda itu.”
Senyum itu tampak semakin memanjang. Mungkin reflek dari dalam hati yang senang mendengar pujian.  Mulai tersadar, aku menghelakan nafas dan melepas tatapanku. Kemudian aku lanjutkan dengan senyum sinisku, seolah aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Kamu gak percaya? Ya, walaupun dengan seperti ini mata kamu lebih terlihat judes. Tapi percayalah, kejudesan mata kamu timbul akibat sudutnya yang terbentuk tajam. Semua itu akan dinilai oleh orang lain kalau kamu orang yang mampu menjamin dan yakin terhadap apa yang kamu lihat. Sesuai dengan mata hati kamu. Dua hal itu, jujur menunjukkan apa yang akan kamu lakukan.”
“Berhenti memuji aku seperti itu. Itu tidak benar. Aku tidak selalu sama dengan apa yang kamu lihat dan pikirkan.” Aku menundukkan kepalaku dan mendorong perutnya dengan kepalan tangan kananku.
“Look at me!” ia menarik kedua sisi lenganku dan memaksaku kembali menatapnya. Aku mengikuti intruksinya dengan benar, “aku bicara seperti itu karena aku melihat mata kamu. Kesungguhan yang ada di lingkar bola mata yang berwarna coklat itu!” aku diam, “kamu tau? Mata kamu dan senyum kamu itu yang membuat semua orang di sekitar kamu menghormati kamu sebagai wanita yang tidak bisa dipermainkan. Wanita tangguh yang selalu membuat pria sungkan” aku mengerutkan keningku, “tapi aku yakin, aku sudah menaklukan kamu.”
Keteganganku buyar mendengar kalimat narsisnya, “percaya diri banget kamu!” tatapanku pun kembali lepas dan mengacaukan suasana yang sudah ia buat sedari tadi.
“Look at me, now! Jangan lepas itu kalau memang kamu tidak berhasil aku taklukan!” kembali ia membuat aku menatapnya. Ini sudah ketiga kalinya, aku harap ini yang terakhir, “aku sering melihat kamu, melihat mata kamu, tapi aku tidak pernah seyakin ini untuk menatapmu lebih dari biasanya. Karena sekarang aku sudah berhasil melepaskan penghalang rasa yakin aku ke kamu. Ketika aku melepasnya dari pangkuan hidung kamu yang mancung itu, aku melihat sesuatu yang aku cari. Tatapan yang bisa meyakinkan aku untuk menatap masa depan. Tatapan yang bisa membuat aku selalu termotivasi untuk maju. Tatapan yang aku yakini bisa menjadi solusi dari sudut pandang orang lain. Tatapan kamu, itu yang tidak bisa aku lupain dari awal pertama kali aku menatap kamu dulu” ia menghela nafas, aku juga, “I love you” ucapnya setelah menghempaskan nafas panjang.
“Ha?” ekspresiku tidak beda dengan orang lain pada umumnya. Terkejut tetapi tersenyum. Bola mataku bergerak melihat bibirnya yang baru saja mengatakan hal yang tidak pernah aku bayangkan akan keluar di saat seperti ini. jantungku merasakan semua itu. Ia mengekspresikannya dengan degup yang sangat kuat dan cepat. Semua nampak sangat kuat di dalam sana, hingga aku harus terus menerus menarik dan membuang nafas. Mungkin rasa grogi yang memicunya.
“Bilang sama aku kalau kamu juga merasakan hal yang sama. Aku tidak akan mengulangi kalimat itu kedua kalinya. Aku tidak mau hal tersebut akan terlihat seperti omong kosong. Satu kali aku keluari, satu kesungguhan dari hati aku. Katakan! Katakan kalau kamu juga merasakan apa yang aku rasakan! Aku merasakan perasaan itu disini,” ia menunjuk ke dadanya, “aku bisa merasakan seperti yang disini, tapi itu ada di kamu.” Aku masih terdiam. Aku tidak bisa berkata apapun dalam beberapa detik ini. aku masih bingung dengan apa yang terjadi. aku senang, aku bahagia, tapi semua orang akan merasakan malu untuk mengungkapkannya.
“Jawab! Aku merasakan semua itu ada di kamu juga. Aku melihatnya di mata kamu, di senyum kamu, bahkan di degup jantung kamu. Kamu grogi kan kalau ketemu aku. Ayo bilang!” ia mulai memaksaku berkata.
Mataku masih ada dalam lingkarannya, kekuatan dalam hati ini membantuku mengeluarkan kata-kata, “kalau kamu memang merasakannya di dalam mata aku, di senyum aku, di degup jantung aku. Kenapa kamu masih bertanya? Apa perlu aku bilang lagi padahal kamu sudah tau jawabannya?”
“Aku hanya ingin kamu mengatakannya dan mengakuinya. Aku mau lebih yakin dari sekarang ini. dan aku akan yakin seratus bahkan seribu atau sepuluh ribu kalau kamu benar-benar mengatakannya dari mulut kecil kamu itu.”
“Masih perlukah? Semua ada disini,” aku menunjuk dadaku, “semua aku rasain disini. Sama seperti apa yang kamu rasa kok.”
“Ah!” ia mulai emosi melihat aku yang bersikukuh untuk tidak mengatakan apa yang ia suruh. Ia melepaskan tatapannya, membalikkan badannya seperti sebuah rasa  kecewa. Ia berjalan beberapa langkah ke belakang, mengusap rambutnya seperti sebuah penyesalan. Yang ia mau hanya sebuah pengakuan dari mulutku.
Aku menghampirinya dari belakang, aku raih telapak tangan kanannya. Aku genggam erat, “Aku juga mencintai kamu. Lebih dari yang kamu lihat di mata aku, di senyum aku, bahkan lebih bergejolak dari degup jantungku. Bahkan jika aku mau berlebihan lagi, aku merasakan semua itu lebih dari yang kamu rasakan.”
Ia membalik dan memelukku dengan kebahagiaan yang ia rasakan dalam hati dan pikirannya, “aku hanya perlu itu. Pengakuan dari kamu.”

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...