Dia menatap mataku tajam seperti
biasa. Tepat di hadapanku. Aku yang memergokinya tak sanggup untuk mengalihkan
pandanganku. Aku membalas seluruh binar matanya yang jatuh tepat di kedua bola
mataku. dari bali kaca setebal tiga millimeter berbingkai plastik warna hitam.
Empat bola mata saling berhadapan.
“Boleh aku buka?” ucapnya
menunjuk mata kananku. Bukan mataku yang ingin ia buka, itu pasti, “maaf ya,
sebentar” ia lanjutkan menyentuh batang dari kacamata ini. kemudian ia tarik
keluar dari sela telinga, perlahan tapi benar-benar ia melepasnya dari depan
mata.
Aku terdiam, sama sekali tidak
bisa berkata apapun. Seolah waktu berhenti, aku mematung, namun hanya dia yang
bisa beraksi. Mulutku terbuka sedikit menunjukkan aku terkejut melihat apa yang
dia lakukan. Bukan tentang cara dia menatapku, karena aku sudah sering
merasakannya berkali-kali dulu. Tapi aku menyadari, ada yang beda disini.
Maksud dia menatapku beberapa detik ini.
Benda itu terlepas. Seluruh
bentuk mata tampak sangat jelas. Ia tak berhenti menatapku walau satu detik.
Walau dia bergerak untuk melepaskan kacamata itu. Tatapanku pun masih terpaku
penuh. Kali ini aku bingung dan tidak bisa mengelak seperti biasanya. Ya, dia
menghipnotis aku dengan matanya.
Bola mataku mulai lelah dengan
diamnya. Mereka bergerak ke kanan dan ke kiri, namun tak lepas dari matanya.
Mulutku yang terbuka mulai tertutup rapat dan tertarik pada kedua sisi.
“Aku seneng lihat mata kamu
telanjang seperti ini. tanpa benda ini, tanpa alat pembantu apapun walaupun
kamu memang membutuhkan benda-benda itu.”
Senyum itu tampak semakin
memanjang. Mungkin reflek dari dalam hati yang senang mendengar pujian. Mulai tersadar, aku menghelakan nafas dan
melepas tatapanku. Kemudian aku lanjutkan dengan senyum sinisku, seolah aku
tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Kamu gak percaya? Ya, walaupun
dengan seperti ini mata kamu lebih terlihat judes. Tapi percayalah, kejudesan
mata kamu timbul akibat sudutnya yang terbentuk tajam. Semua itu akan dinilai
oleh orang lain kalau kamu orang yang mampu menjamin dan yakin terhadap apa
yang kamu lihat. Sesuai dengan mata hati kamu. Dua hal itu, jujur menunjukkan
apa yang akan kamu lakukan.”
“Berhenti memuji aku seperti itu.
Itu tidak benar. Aku tidak selalu sama dengan apa yang kamu lihat dan
pikirkan.” Aku menundukkan kepalaku dan mendorong perutnya dengan kepalan
tangan kananku.
“Look at me!” ia menarik kedua
sisi lenganku dan memaksaku kembali menatapnya. Aku mengikuti intruksinya
dengan benar, “aku bicara seperti itu karena aku melihat mata kamu. Kesungguhan
yang ada di lingkar bola mata yang berwarna coklat itu!” aku diam, “kamu tau?
Mata kamu dan senyum kamu itu yang membuat semua orang di sekitar kamu
menghormati kamu sebagai wanita yang tidak bisa dipermainkan. Wanita tangguh
yang selalu membuat pria sungkan” aku mengerutkan keningku, “tapi aku yakin,
aku sudah menaklukan kamu.”
Keteganganku buyar mendengar
kalimat narsisnya, “percaya diri banget kamu!” tatapanku pun kembali lepas dan
mengacaukan suasana yang sudah ia buat sedari tadi.
“Look at me, now! Jangan lepas
itu kalau memang kamu tidak berhasil aku taklukan!” kembali ia membuat aku
menatapnya. Ini sudah ketiga kalinya, aku harap ini yang terakhir, “aku sering
melihat kamu, melihat mata kamu, tapi aku tidak pernah seyakin ini untuk
menatapmu lebih dari biasanya. Karena sekarang aku sudah berhasil melepaskan
penghalang rasa yakin aku ke kamu. Ketika aku melepasnya dari pangkuan hidung
kamu yang mancung itu, aku melihat sesuatu yang aku cari. Tatapan yang bisa
meyakinkan aku untuk menatap masa depan. Tatapan yang bisa membuat aku selalu
termotivasi untuk maju. Tatapan yang aku yakini bisa menjadi solusi dari sudut
pandang orang lain. Tatapan kamu, itu yang tidak bisa aku lupain dari awal
pertama kali aku menatap kamu dulu” ia menghela nafas, aku juga, “I love you”
ucapnya setelah menghempaskan nafas panjang.
“Ha?” ekspresiku tidak beda
dengan orang lain pada umumnya. Terkejut tetapi tersenyum. Bola mataku bergerak
melihat bibirnya yang baru saja mengatakan hal yang tidak pernah aku bayangkan
akan keluar di saat seperti ini. jantungku merasakan semua itu. Ia
mengekspresikannya dengan degup yang sangat kuat dan cepat. Semua nampak sangat
kuat di dalam sana, hingga aku harus terus menerus menarik dan membuang nafas.
Mungkin rasa grogi yang memicunya.
“Bilang sama aku kalau kamu juga
merasakan hal yang sama. Aku tidak akan mengulangi kalimat itu kedua kalinya.
Aku tidak mau hal tersebut akan terlihat seperti omong kosong. Satu kali aku
keluari, satu kesungguhan dari hati aku. Katakan! Katakan kalau kamu juga
merasakan apa yang aku rasakan! Aku merasakan perasaan itu disini,” ia menunjuk
ke dadanya, “aku bisa merasakan seperti yang disini, tapi itu ada di kamu.” Aku
masih terdiam. Aku tidak bisa berkata apapun dalam beberapa detik ini. aku masih
bingung dengan apa yang terjadi. aku senang, aku bahagia, tapi semua orang akan
merasakan malu untuk mengungkapkannya.
“Jawab! Aku merasakan semua itu
ada di kamu juga. Aku melihatnya di mata kamu, di senyum kamu, bahkan di degup
jantung kamu. Kamu grogi kan kalau ketemu aku. Ayo bilang!” ia mulai memaksaku
berkata.
Mataku masih ada dalam
lingkarannya, kekuatan dalam hati ini membantuku mengeluarkan kata-kata, “kalau
kamu memang merasakannya di dalam mata aku, di senyum aku, di degup jantung
aku. Kenapa kamu masih bertanya? Apa perlu aku bilang lagi padahal kamu sudah
tau jawabannya?”
“Aku hanya ingin kamu
mengatakannya dan mengakuinya. Aku mau lebih yakin dari sekarang ini. dan aku
akan yakin seratus bahkan seribu atau sepuluh ribu kalau kamu benar-benar
mengatakannya dari mulut kecil kamu itu.”
“Masih perlukah? Semua ada
disini,” aku menunjuk dadaku, “semua aku rasain disini. Sama seperti apa yang
kamu rasa kok.”
“Ah!” ia mulai emosi melihat aku
yang bersikukuh untuk tidak mengatakan apa yang ia suruh. Ia melepaskan
tatapannya, membalikkan badannya seperti sebuah rasa kecewa. Ia berjalan beberapa langkah ke
belakang, mengusap rambutnya seperti sebuah penyesalan. Yang ia mau hanya
sebuah pengakuan dari mulutku.
Aku menghampirinya dari belakang,
aku raih telapak tangan kanannya. Aku genggam erat, “Aku juga mencintai kamu.
Lebih dari yang kamu lihat di mata aku, di senyum aku, bahkan lebih bergejolak
dari degup jantungku. Bahkan jika aku mau berlebihan lagi, aku merasakan semua
itu lebih dari yang kamu rasakan.”
Ia membalik dan memelukku dengan
kebahagiaan yang ia rasakan dalam hati dan pikirannya, “aku hanya perlu itu.
Pengakuan dari kamu.”