“I love you” suara khasnya
menyentuh keseriusanku dengan kamera DSLR bermerek Canon yang baru empat bulan
aku miliki ini. Aku yang masih sibuk melihat ke layar digital kamera ini
membuat responku kurang terlihat. Aku hanya membalasnya dengan senyum kecil dan
lirikan sedikit ke arahnya yang ku yakin saat itu pun ia serius dengan
laptopnya. Aku menggelengkan kepalaku ketika beberapa menit kami duduk
bersebelahan tetapi sibuk dengan urusan masing-masing.
Aku mengarahkan hadapanku tepat
di depannya, di belakang laptopnya. Aku angkat kamera ini, mulai membidik
wajahnya yang serius dengan semua kumpulan kata yang sudah ia susun menjadi
beberapa paragraf dalam tulisannya. Ia menyadari kalau aku akan mengambil
gambarnya. Ia menutupi ujung lensa dengan telapak tangannya yang lebar.
“Sudahlah, Ema. Mau berapa banyak lagi foto aku di kamera kamu?” ucapnya tanpa
menoleh ke arahku.
“I love you too” aku balas ucapannya
tadi. Ia masih saja mengabaikanku untuk beberapa saat. Aku tau, kalau sudah
seperti ini bukan saatnya aku mengganggunya dengan keisenganku. Aku abaikan dia
dan mulai memotret sekeliling. Aku kembali mencari objek yang tepat untuk
koleksi fotoku selanjutnya. Tanpa sesenti pun aku beranjak dari sampingnya.
Suasana disini memang cukup
nyaman untuk kami mencari inspirasi. Ini bukan pertama atau kedua kalinya kami
memanfaatkan suasana ini untuk mengisi kekosongan waktu kami di kampus, sedikit
untuk menyalurkan hobi kami. Duduk di bangku kayu sepanjang dua meter yang
diberi cat warna hijau dan ditopang dengan tumpukan batu bata di dua titik
ujungnya, selalu menjadi tempat andalan kami. Disini, di antara dua pohon
rindang yang pasti aku tidak tau ini pohon jenis apa, yang pasti disinilah
bangku itu terpasang. Lima hari dalam seminggu kami pasti ada disini. Setiap pukul
satu siang di hari Rabu, Kamis, dan Sabtu, dan setiap pukul sebelas di hari
Selasa dan Jumat, tempat ini milik kami. Kami tidak pernah membuat jadwal
khusus sehingga tidak ada satu orang mahasiswa lainnya yang duduk disini, tapi
memang Tuhan selalu membuat tempat ini kosong di jam-jam tadi. Tapi bukan juga
tidak ada seorang mahasiswa pun yang tau-tau duduk santai disini ketika waktu
itu datang. Biasanya sih mahasiswa baru dari fakultas ini atau pun
mahasiswa-mahasiswa lainnya dari fakultas lain.
Seperti hari ini, Winan harus
bilang permisi dan meminta izin untuk duduk disini melakukan aktivitas
favoritnya itu. Karena sebelumnya ada tiga orang mahasiswi dari fakultas
sebelah yang asik bergosip setelah makan siangnya. Sepuluh menit Winan duduk
dan serius dengan laptopnya, ketiga mahasiswi itu pergi dan meninggalkannya
sendirian. Kesadaran untuk tidak mengganggu Winan yang serius atau memang sudah
bosan berada disini, entahlah.
Ternyata kali ini, aku yang sudah
jauh dengan bidikku. Winan mengacaukan konsentrasiku dengan sekotak pancake
durian yang ternyata ia sengaja belikan sebagai buah tangannya dari Medan
kemarin. Aku tidak sedikit pun merasa kesal karena ia telah menghalangi lensa
kamera dengan kotak itu. Karena aku tau, kami disini bukan hanya sekedar untuk
menyalurkan hobi masing-masing, tetapi untuk berkomunikasi dalam hubungan yang
serius, yang sudah satu tahun kami jalin. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum
untuk kedua kalinya disini, hari ini. Ia membalas senyumku.
“Kamu sudah selesai sama tulisan
kamu, Nan?” tanyaku seraya memasukkan kameraku ke dalam tas.
“Belum, tinggal sedikit lagi.
Tinggal aku selesaikan endingnya dan aku review kemudian aku perbaiki lagi
segala bentuk typo yang telah aku perbuat” kemudian ia tertawa.
Aku ikut tertawa, “typo? Bahasa
anak zaman sekarang kan itu. Dari mana asal kata typo itu ya? Yang baru
seminggu yang lalu aku tau kalau artinya adalah salah ketik. Ada-ada saja.”
“Emang kamu anak zaman dulu ya,
Ma? Kalau gak aku yang kasih tau artinya ke kamu, kamu gak akan pernah tau
kan?”
“Iya” aku tertawa, “kamu emang
update banget sama kosakata ABG zaman sekarang.”
“Aku hanya mengikuti perkembangan
zaman aja sih. Secara aku juga masih muda, perlu bereksplorasi dan terjun ke
dunianya. Membantu juga kok untuk variasi dalam tulisanku. Emangnya kamu? Hanya
berkutik sama kamera, lensa, dan apalah itu.”
“Ini keren tau. Ini juga
perkembangan anak zaman sekarang. Kamera kayak gini nih, anak SD atau SMP
sekarang tuh udah banyak yang pegang loh, Nan. Bisa dibilang aku termasuk
ketinggalan zaman.”
“Ketinggalan zaman? Bukannya
sudah dari lama ya kamera kayak gini menjajahi dunia remaja. Seinget aku, waktu
aku masih kelas 2 SMA, kamera kayak gini juga udah banyak dipakai sama anak SMA.”
“Iya sih, Nan. Waktu itu juga aku
masih kelas 1 SMA, Nan. Banyak juga kakak kelas aku yang ke sekolah bawa kamera
seperti ini. Padahal yang aku pikir, gak ada gunanya juga sih mereka bawa ke
sekolah. Kecuali kalau ada event penting gitu di sekolah. Tapi, karena mereka
juga sih aku jadi kenal kamera ini dan suka banget sama kamera ini.”
“Ya sama seperti kamu sekarang
ini. Kamu bawa-bawa kamera tanpa ada tujuan khusus atau penting” ia meberikan
satu potong pancake durian, “kenapa kamu pakai komentarin kakak kelas kamu?”
“Tapi kalau aku kan ketahuan,
sekarang aku aktif di fotografi, karena kegiatan itu aku harus menguras semua
tabunganku dan harus menjual baju-bajuku yang masih belum pernah aku pakai. “
“Itu yang aku suka dari kamu,
kamu orangnya serius sama apa yang kamu inginkan. Aku akan kamu perjuangin gak
seperti kamu berjuang untuk kamera kamu?”
Aku mengunyah potongan pancake
itu, terasa sekali durian Medan yang begitu manis. Kulitnya yang lembut
disambut ramah oleh lidah. Dalam setiap gigitan, terasa sekali nikmatnya surga
dunia. Daging dari buah durian yang sangat digemari sebagian banyak orang itu
meleleh dalam mulut, seketika menghantarkan keindahan dalam kenikmatan kue
lezat ini. Hmm… mataku ikut menikmatinya.
“Woi!” ia mengusap wajahku dengan
tangannya, membuatku tersadar bahwa aku berada di tempat umum, “enak banget ya
pancakenya?”
“Hmm… maaf ya, Nan” aku tertawa
kecil, “pancake durian ini emang selalu bisa bikin aku gak sadar keadaan
sekitar.”
“Termasuk jawab pertanyaan aku?”
ia menaruh kotak pancake itu di atas pahaku.
“Pertanyaan yang mana?”
“Yang tadi, soal kamu yg akankah
memperjuangkan mendapatkan cintaku seutuhnya seperti kamu berjuang untuk
mendapatkan kamera itu?” ia menatapku penuh harapan.
“Harusnya kamu gak perlu bertanya
seperti itu. Karena tanpa berjuang, aku udah bisa dapetin cinta kamu kan?” aku
mengambil lagi sepotong pancake durian itu, “hmm… tapi kalau kamu masih
penasaran sama jawaban aku, aku akan berjuang seperti saat kamu berjuang
meloloskan naskah buatan kamu ke penerbit. That’s simple, right?”
Aku memiringkan kepalaku ke
kanan. Gigi atasku menggigit bibir bawah. Ku tarik sudut bibir ini secara
proporsional ke kanan dan ke kiri. Angin yang berhembus menghempaskan tiap
helai rambutku yang berkumpul jatuh ke kanan, sejalan dengan kepalaku yang
miring. Alisku naik menunjukkan aku menunggu jawaban yang indah dari mulut
pacarku yang beberapa detik lalu mengalihkan pandangannya kembali menuju layar
laptop. Mataku terbuka lebar ketika ia menoleh ke arahku. Tangan kiriku
bergerak menutup layar laptopnya, sehingga kini ia benar-benar melihat ke
arahku.
“Dimana kamera kamu?” tanyanya seraya
mengambil tas kamera yang berada di sisi kananku. Posisiku masih seperti tadi,
mungkin tidak akan aku rubah sampai Winan menjawab pertanyaanku. Tanpa aku
menjawab juga, dia sudah menggenggam kamera itu. Dia nyalakan dan ia mulai
mengintip wajahku yang berekspresi penuh harapan dari balik lensa. “Kamu cantik
kalau rambut kamu tertiup angin seperti ini. Jangan ganti gaya ya! Aku mau
memotret kamu dengan gaya seperti ini. Aku suka.” Ia tombol jepretnya. Satu foto
telah jadi. Aku kembalikan posisi kepalaku normal. Tegap, seperti biasa.
“Mana hasilnya?” kataku penasaran
dan menarik kamera yang masih dipegangnya. Aku melihat foto itu, memang
terlihat cantik, sedikit percaya diri. Pantas aku telah membuatnya jatuh hati,
tanpa aku harus bejuang mati-matian untuk mendapatkannya. “Kita foto berdua
yuk!” aku mengajaknya, “tapi, aku mau foto pancake durian ini dulu deh. Menggiurkan
banget. Sebentar ya.” Dan siang itu, sekali lagi menjadi cerita manis untuk
kami. Ema dan Winan.