Rabu, 07 Agustus 2013

Sweet As Durian Pancake

“I love you” suara khasnya menyentuh keseriusanku dengan kamera DSLR bermerek Canon yang baru empat bulan aku miliki ini. Aku yang masih sibuk melihat ke layar digital kamera ini membuat responku kurang terlihat. Aku hanya membalasnya dengan senyum kecil dan lirikan sedikit ke arahnya yang ku yakin saat itu pun ia serius dengan laptopnya. Aku menggelengkan kepalaku ketika beberapa menit kami duduk bersebelahan tetapi sibuk dengan urusan masing-masing.
Aku mengarahkan hadapanku tepat di depannya, di belakang laptopnya. Aku angkat kamera ini, mulai membidik wajahnya yang serius dengan semua kumpulan kata yang sudah ia susun menjadi beberapa paragraf dalam tulisannya. Ia menyadari kalau aku akan mengambil gambarnya. Ia menutupi ujung lensa dengan telapak tangannya yang lebar. “Sudahlah, Ema. Mau berapa banyak lagi foto aku di kamera kamu?” ucapnya tanpa menoleh ke arahku.
“I love you too” aku balas ucapannya tadi. Ia masih saja mengabaikanku untuk beberapa saat. Aku tau, kalau sudah seperti ini bukan saatnya aku mengganggunya dengan keisenganku. Aku abaikan dia dan mulai memotret sekeliling. Aku kembali mencari objek yang tepat untuk koleksi fotoku selanjutnya. Tanpa sesenti pun aku beranjak dari sampingnya.
Suasana disini memang cukup nyaman untuk kami mencari inspirasi. Ini bukan pertama atau kedua kalinya kami memanfaatkan suasana ini untuk mengisi kekosongan waktu kami di kampus, sedikit untuk menyalurkan hobi kami. Duduk di bangku kayu sepanjang dua meter yang diberi cat warna hijau dan ditopang dengan tumpukan batu bata di dua titik ujungnya, selalu menjadi tempat andalan kami. Disini, di antara dua pohon rindang yang pasti aku tidak tau ini pohon jenis apa, yang pasti disinilah bangku itu terpasang. Lima hari dalam seminggu kami pasti ada disini. Setiap pukul satu siang di hari Rabu, Kamis, dan Sabtu, dan setiap pukul sebelas di hari Selasa dan Jumat, tempat ini milik kami. Kami tidak pernah membuat jadwal khusus sehingga tidak ada satu orang mahasiswa lainnya yang duduk disini, tapi memang Tuhan selalu membuat tempat ini kosong di jam-jam tadi. Tapi bukan juga tidak ada seorang mahasiswa pun yang tau-tau duduk santai disini ketika waktu itu datang. Biasanya sih mahasiswa baru dari fakultas ini atau pun mahasiswa-mahasiswa lainnya dari fakultas lain.
Seperti hari ini, Winan harus bilang permisi dan meminta izin untuk duduk disini melakukan aktivitas favoritnya itu. Karena sebelumnya ada tiga orang mahasiswi dari fakultas sebelah yang asik bergosip setelah makan siangnya. Sepuluh menit Winan duduk dan serius dengan laptopnya, ketiga mahasiswi itu pergi dan meninggalkannya sendirian. Kesadaran untuk tidak mengganggu Winan yang serius atau memang sudah bosan berada disini, entahlah.
Ternyata kali ini, aku yang sudah jauh dengan bidikku. Winan mengacaukan konsentrasiku dengan sekotak pancake durian yang ternyata ia sengaja belikan sebagai buah tangannya dari Medan kemarin. Aku tidak sedikit pun merasa kesal karena ia telah menghalangi lensa kamera dengan kotak itu. Karena aku tau, kami disini bukan hanya sekedar untuk menyalurkan hobi masing-masing, tetapi untuk berkomunikasi dalam hubungan yang serius, yang sudah satu tahun kami jalin. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum untuk kedua kalinya disini, hari ini. Ia membalas senyumku.
“Kamu sudah selesai sama tulisan kamu, Nan?” tanyaku seraya memasukkan kameraku ke dalam tas.
“Belum, tinggal sedikit lagi. Tinggal aku selesaikan endingnya dan aku review kemudian aku perbaiki lagi segala bentuk typo yang telah aku perbuat” kemudian ia tertawa.
Aku ikut tertawa, “typo? Bahasa anak zaman sekarang kan itu. Dari mana asal kata typo itu ya? Yang baru seminggu yang lalu aku tau kalau artinya adalah salah ketik. Ada-ada saja.”
“Emang kamu anak zaman dulu ya, Ma? Kalau gak aku yang kasih tau artinya ke kamu, kamu gak akan pernah tau kan?”
“Iya” aku tertawa, “kamu emang update banget sama kosakata ABG zaman sekarang.”
“Aku hanya mengikuti perkembangan zaman aja sih. Secara aku juga masih muda, perlu bereksplorasi dan terjun ke dunianya. Membantu juga kok untuk variasi dalam tulisanku. Emangnya kamu? Hanya berkutik sama kamera, lensa, dan apalah itu.”
“Ini keren tau. Ini juga perkembangan anak zaman sekarang. Kamera kayak gini nih, anak SD atau SMP sekarang tuh udah banyak yang pegang loh, Nan. Bisa dibilang aku termasuk ketinggalan zaman.”
“Ketinggalan zaman? Bukannya sudah dari lama ya kamera kayak gini menjajahi dunia remaja. Seinget aku, waktu aku masih kelas 2 SMA, kamera kayak gini juga udah banyak dipakai sama anak SMA.”
“Iya sih, Nan. Waktu itu juga aku masih kelas 1 SMA, Nan. Banyak juga kakak kelas aku yang ke sekolah bawa kamera seperti ini. Padahal yang aku pikir, gak ada gunanya juga sih mereka bawa ke sekolah. Kecuali kalau ada event penting gitu di sekolah. Tapi, karena mereka juga sih aku jadi kenal kamera ini dan suka banget sama kamera ini.”
“Ya sama seperti kamu sekarang ini. Kamu bawa-bawa kamera tanpa ada tujuan khusus atau penting” ia meberikan satu potong pancake durian, “kenapa kamu pakai komentarin kakak kelas kamu?”
“Tapi kalau aku kan ketahuan, sekarang aku aktif di fotografi, karena kegiatan itu aku harus menguras semua tabunganku dan harus menjual baju-bajuku yang masih belum pernah aku pakai. “
“Itu yang aku suka dari kamu, kamu orangnya serius sama apa yang kamu inginkan. Aku akan kamu perjuangin gak seperti kamu berjuang untuk kamera kamu?”
Aku mengunyah potongan pancake itu, terasa sekali durian Medan yang begitu manis. Kulitnya yang lembut disambut ramah oleh lidah. Dalam setiap gigitan, terasa sekali nikmatnya surga dunia. Daging dari buah durian yang sangat digemari sebagian banyak orang itu meleleh dalam mulut, seketika menghantarkan keindahan dalam kenikmatan kue lezat ini. Hmm… mataku ikut menikmatinya.
“Woi!” ia mengusap wajahku dengan tangannya, membuatku tersadar bahwa aku berada di tempat umum, “enak banget ya pancakenya?”
“Hmm… maaf ya, Nan” aku tertawa kecil, “pancake durian ini emang selalu bisa bikin aku gak sadar keadaan sekitar.”
“Termasuk jawab pertanyaan aku?” ia menaruh kotak pancake itu di atas pahaku.
“Pertanyaan yang mana?”
“Yang tadi, soal kamu yg akankah memperjuangkan mendapatkan cintaku seutuhnya seperti kamu berjuang untuk mendapatkan kamera itu?” ia menatapku penuh harapan.
“Harusnya kamu gak perlu bertanya seperti itu. Karena tanpa berjuang, aku udah bisa dapetin cinta kamu kan?” aku mengambil lagi sepotong pancake durian itu, “hmm… tapi kalau kamu masih penasaran sama jawaban aku, aku akan berjuang seperti saat kamu berjuang meloloskan naskah buatan kamu ke penerbit. That’s simple, right?”
Aku memiringkan kepalaku ke kanan. Gigi atasku menggigit bibir bawah. Ku tarik sudut bibir ini secara proporsional ke kanan dan ke kiri. Angin yang berhembus menghempaskan tiap helai rambutku yang berkumpul jatuh ke kanan, sejalan dengan kepalaku yang miring. Alisku naik menunjukkan aku menunggu jawaban yang indah dari mulut pacarku yang beberapa detik lalu mengalihkan pandangannya kembali menuju layar laptop. Mataku terbuka lebar ketika ia menoleh ke arahku. Tangan kiriku bergerak menutup layar laptopnya, sehingga kini ia benar-benar melihat ke arahku.
“Dimana kamera kamu?” tanyanya seraya mengambil tas kamera yang berada di sisi kananku. Posisiku masih seperti tadi, mungkin tidak akan aku rubah sampai Winan menjawab pertanyaanku. Tanpa aku menjawab juga, dia sudah menggenggam kamera itu. Dia nyalakan dan ia mulai mengintip wajahku yang berekspresi penuh harapan dari balik lensa. “Kamu cantik kalau rambut kamu tertiup angin seperti ini. Jangan ganti gaya ya! Aku mau memotret kamu dengan gaya seperti ini. Aku suka.” Ia tombol jepretnya. Satu foto telah jadi. Aku kembalikan posisi kepalaku normal. Tegap, seperti biasa.
“Mana hasilnya?” kataku penasaran dan menarik kamera yang masih dipegangnya. Aku melihat foto itu, memang terlihat cantik, sedikit percaya diri. Pantas aku telah membuatnya jatuh hati, tanpa aku harus bejuang mati-matian untuk mendapatkannya. “Kita foto berdua yuk!” aku mengajaknya, “tapi, aku mau foto pancake durian ini dulu deh. Menggiurkan banget. Sebentar ya.” Dan siang itu, sekali lagi menjadi cerita manis untuk kami. Ema dan Winan.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...