Sekitar
pukul sebelas malam aku baru menyalakan motor matic berwarna putih yang aku
pinjam dari adik Ibuku. Dengan menarik nafas panjang dan senyum yang sangat
lebar aku mulai menarik gas di tangan kanan. Membuat kuda besi ini berjalan
beberapa meter lurus ke depan untuk bertemu dua orang penjaga yang akan
memeriksa Surat Tanda Nomor Kendaraan dari kendaraan yang aku bawa. “Terima
kasih, Pak” ucapku ketika salah satu dari mereka mengembalikan selembat kertas
yang dibungkus plastik tebal. Kemudian aku menarik gas dan meluncur ke jalan
raya dengan senyum dan tatapan mata yang kosong.
Apapun yang terjadi nanti, itulah
yang emang harus terjadi. udah gitu aja- sekiranya itu
yang menjadi pemicu sehingga aku tersenyum dengan tatapan kosong dan duduk mengendarai
motor matic putih di tengah jalan yang sudah kosong pula. Inilah yang terjadi
padaku.
Hari
ini aku ada janji dengan seorang pria, dia teman dekatku di masa sekolah dulu.
Saat itu kami dipersatukan dalam satu ekstrakurikuler. Sejak awal masuk perkumpulan
ini memang kami dipertemukan sebagai seorang pemimpin dan pendamping pemimpin.
Di sebuah permainan kecil kami bertemu dalam satu tim. Di tim ini, dia menjadi
pemimpinnya. Sedangkan aku, mendapatkan peran sebagai pendamping dia dalam
menjalankan tugas yang diminta dalam permainan ini. Namun, saat itu tidak
sekalipun atau sedikit apapun aku berpikir akan jatuh hati dengan dia.
Aku
tersenyum, bahkan aku sesekali tertawa kecil dari balik masker abu-abu yang aku
kenakan. Merasa lucu bagaimana tadi aku mempersiapkan diri sebelum berangkat.
Aku berdiri di depan cermin dan bolak-balik mencari pakaian yang paling cocok
aku kenakan. Setelah selesai dengan pakaian, aku berkutit dengan seperangkat
alat make-up yang sebenarnya sudah biasa aku gunakan ketika aku mau berangkat
kuliah. Sekedar bedak tipis tanpa foundation, lipstick merah muda, eyeliner
yang aku oleskan pada kelopak mataku, serta mascara yang membuat bulu mataku
terlihat lentik. Tapi kali ini beda dari biasanya, semua itu mengabiskan waktu
sepuluh kali lipat.
Ketika
rapih dengan tampilan, aku bergegas ke garasi untuk mengeluarkan sepeda motor
milik Om Danang. Lagi dan lagi aku harus menarik nafas panjang untuk
menenangkan hatiku dan menghubungkan dengan pikiranku.
Aku
sudah berbekal sebungkus coklat dan permen yang biasa aku andalkan untuk
mengontrol emosiku. Aku yakin, ketika aku melihat wajahnya dari kejauhan pasti
jantungku akan berdegup jauh lebih kencang dari biasanya. Benar saja, ketika
dia menyapaku dari kejauhan tadi, keringat sudah mengalir dari dahi melewati
pipi dan menetas jatuh di dagu. Aku segera mengambil sebungkus coklat dan aku
mengunyahnya dengan terburu-buru sebelum dia berdiri tepat dihadapanku dan
menyapa, “hai, Ka!”
Sapaannya
itu membuat jantungku mulai berdetak dengan tempo yang sangat cepat, semakin
lama dia menatapku dengan senyumnya yang khas semakin membuat jantung ini tidak
karuan merasakan sensasi orang yang memendam perasaan. Perasaan yang sudah
sekitar tiga tahun dipendam.
“Makan
apa, Ka?” tanyanya lanjut sebelum aku sempat membalas sapaannya tadi. Wajahnya
terlihat lesu, yang pasti dia sedang merasa lelah. Karena dia baru saja pulang
dari kuliahnya dan langsung datang untuk memenuhi janjinya denganku.
“Eh?
Hm…” aku berusaha menenangkan diri sebelum mengeluarkan kata-kata yang
menurutku tidak pantas dikeluarkan. Mungkin efek dari rasa grogi. “Makan…
coklat.” Lanjutku terbata-bata. “Oh iya. Hai, Bim.” Sekali lagi aku mengeluakan
suara, kali ini maksudku membalas sapaan dia di awal.
“Kamu
kenapa, Ka? Kok kayaknya grogi banget.” Kalimat itu, membuat mataku terbuka
lebar, nampaknya rasa grogi ini benar-benar terlihat jelas di raut wajahku
sehingga dia bertanya seperti itu.
“Engga,
biasa aja kok.” Jawabku menutupi semuanya.
“Ok.
Kalau gitu, bisa kita langsung ke café aja?”
“Bisa
kok. Ayo!”
Kami
tidak banyak berbincang selama perjalanan menuju café yang ada di pusat
perbelanjaan ini. Aku sibuk mengatur detak jantung, keringat, dan rasa grogiku
agar dia tidak bertanya hal seperti tadi. Setidaknya agar aku tidak terlihat
benar-benar sedang jatuh hati dengannya.
Begitu
sampai di café tersebut, dia langsung memilih tempat duduk di balkonnya. Tampak
jelas indah jika kami duduk disini untuk candle light dinner. Sayangnya, bukan
itu yang menjadi alasan kami bertemu disini setelah sekitar enam bulan tidak
bertemu.
“Disini
aja ya, Ka. Pemandangannya bagus. Kita bisa lihat pemandangan gedung-gedung
yang ada disana. Berasa banget jadi orang Jakarta gitu.”
“Iya.
Oke deh, Bim. Aku ikutin kata kamu aja.”
Kami
duduk dan merapihkan barang-barang yang kami bawa di sisi bangku yang kami
duduki. Tak lama kemudian, seorang pelayan café menghampiri kami dengan membawa
dua buku menu yang ia berikan kepada kami. Seperti biasanya, dengan keramahan
yang dia miliki, dia menyambut layanan dari pelayanan tersebut dengan sopan.
“Vanilla
Latte nya satu ya, Mas.” Katanya kepada pelayan itu. Benar saja dugaanku. Dia
masih dengan vanilla latte-nya.
“Kalau
saya, jus strawberry nya ya. Oyah, gulanya dilebihin ya.”
“Jangan
manis-manis, Ka. Gak baik.” Katanya mengingatkanku.
“Hm…
biasa aja deh. Gak jadi dilebihin.” Dengan spontanitas aku mendengar
nasehatnya.
Selesai
dengan pesanan kami, pelayan tersebut segera pergi dari meja kami untuk membuat
pesanan kami. Sama seperti dulu, dia tidak suka membuang waktu untuk mengobrol
sebelum selesai dengan tugasnya. Dia membuka catatan kuliahnya dan mulai
bertanya-tanya tentang satu tugas mata kuliahnya yang tidak dia kuasai
sepenuhnya. Kemudian aku mulai menyambut pertanyaannya dengan menjawab sesuai
dengan ilmu yang sudah aku terima sebelumnya.
Kami
terus saja berkutik dengan materi pelajaran hingga waktu menunjukkan pukul
sembilan malam. Nampaknya, café ini pun sudah mau tutup. Kami bergegas pergi
dari café ini untuk pulang. Begitupun materi pelajaran yang ia minta ajarkan
itu sudah selesai aku berikan. Sedikit lebih tenang disini, karena sedari tadi
aku dibawanya serius ke dalam pelajaran kuliah. Aku tidak lagi merasakan degup
jantung yang berlebihan ataupun keringat yang terus mengalir. Suasana serius
tapi santai berhasil mencairkan suasana disini hingga kami bergegas pergi dari
café.
“Ke
tamannya dulu yuk” ucapnya. Ajakannya membuat degup jantung kembali kuat.
“Kayaknya lebih enak kita mengobrol-ngobrol dulu deh. Lagi pula besok kan hari
Minggu. Gak ada kegiatan kan, Ka?”
“Hm…”
aku berusaha tenang, “baiklah, kita mengobrol aja dulu ya di taman. Besok aku
free kok. Masih jam sembilan juga. Tapi jangan lama-lama ya. Aku gak enak
sebagai perempuan kalau pulang larut malam.”
“Tenang
aja deh, Ka. Paling juga sampai jam sebelas kurang.”
“Itu
lama loh, Bim. Dan sudah malam juga kalau aku pulang jam segitu.”
“Ya,
sekali-kali pulang malam juga gak apa-apa kan? Toh kan kita juga jarang
mengobrol berduaan begini. Suasananya lagi asik banget sih, Ka.”
“Ya
sudah. Kalau itu buat kamu seneng. Lagi pula bener juga, suasana di taman ini
buat nyaman banget” aku menarik nafas panjang dan menutup mataku sejenak untuk
menikmati suasana malam di taman belakang pusat perbelanjaan ini. “Boleh minta
tolong gak, Bim?”
“Minta
tolong apa?”
“Fotoin
aku dengan handphone ini. Viewnya bagus.”
“Jangan!
Pakai handphone aku aja. Biar sekalian aku simpan foto kamu.”
Berawal
dari situlah aku merasa benar-benar senang sekali dengan kencan pertama kami
ini. Sebenarnya ini bukan kencan juga. Entahlah, apapun itu semuanya membuat
senang.
Beberapa
kali kami berfoto di taman ini. Awalnya bergantian, foto sendiri-sendiri.
Kemudian ia nekat meminta tolong salah satu pengunjung disini untuk mengambil
gambar kita berdua.
Degup
jantungku seperti sedang naik hysteria di dufan. Nanti dia naik temponya,
kemudian turun, kemudian naik lagi, lalu turun lagi dan naik lagi seperti
sekarang aku berdiri di sampingnya untuk foto bersama dan yang paling membuat
jantung ini memuncak berdetak adalah ketika dia merangkulku kemudian aku
menatapnya dan dia menatap balik. Ekspresi menyebalkan itu berhasil tertangkap
kamera handphonenya.
“Ekspresinya
natural banget ya, Ka. Aku suka foto kita yang ini.”
“Kamu
mengagetkan banget sih, Bim. Kamu kan gak pernah merangkul aku kayak gitu.
Makanya aku langsung menengok ke kamu terkejut gitu.”
“Dan
aku malah menatap balik kamu, ya?”
“Ah
kacau juga sama kamu.”
“Yang
penting kamu senang kan? Ya sudah, kita duduk dulu disini.” Kemudian kami duduk
menghabilkan beberapa menit yang berubah menjadi jam di malam ini di sebuah
taman yang cukup indah.
Semua
terasa menyenangkan. Menghabiskan beberapa menit paling kusuka di sini dengan
sosok yang sudah membuatku selalu berdoa kepada Tuhan agar dia menjadi tujuan
akhirku. Senyumnya, tawanya, raut wajahnya, gerak tubuhnya, ucapannya, kembali
sekali lagi membuatku semakin menginginkannya. Dan kembali aku hanya bisa
memintanya kepada Tuhan melalui doa.