Rabu, 19 Maret 2014

Rahasia Hati



Sekitar pukul sebelas malam aku baru menyalakan motor matic berwarna putih yang aku pinjam dari adik Ibuku. Dengan menarik nafas panjang dan senyum yang sangat lebar aku mulai menarik gas di tangan kanan. Membuat kuda besi ini berjalan beberapa meter lurus ke depan untuk bertemu dua orang penjaga yang akan memeriksa Surat Tanda Nomor Kendaraan dari kendaraan yang aku bawa. “Terima kasih, Pak” ucapku ketika salah satu dari mereka mengembalikan selembat kertas yang dibungkus plastik tebal. Kemudian aku menarik gas dan meluncur ke jalan raya dengan senyum dan tatapan mata yang kosong.
Apapun yang terjadi nanti, itulah yang emang harus terjadi. udah gitu aja- sekiranya itu yang menjadi pemicu sehingga aku tersenyum dengan tatapan kosong dan duduk mengendarai motor matic putih di tengah jalan yang sudah kosong pula. Inilah yang terjadi padaku.
Hari ini aku ada janji dengan seorang pria, dia teman dekatku di masa sekolah dulu. Saat itu kami dipersatukan dalam satu ekstrakurikuler. Sejak awal masuk perkumpulan ini memang kami dipertemukan sebagai seorang pemimpin dan pendamping pemimpin. Di sebuah permainan kecil kami bertemu dalam satu tim. Di tim ini, dia menjadi pemimpinnya. Sedangkan aku, mendapatkan peran sebagai pendamping dia dalam menjalankan tugas yang diminta dalam permainan ini. Namun, saat itu tidak sekalipun atau sedikit apapun aku berpikir akan jatuh hati dengan dia.
Aku tersenyum, bahkan aku sesekali tertawa kecil dari balik masker abu-abu yang aku kenakan. Merasa lucu bagaimana tadi aku mempersiapkan diri sebelum berangkat. Aku berdiri di depan cermin dan bolak-balik mencari pakaian yang paling cocok aku kenakan. Setelah selesai dengan pakaian, aku berkutit dengan seperangkat alat make-up yang sebenarnya sudah biasa aku gunakan ketika aku mau berangkat kuliah. Sekedar bedak tipis tanpa foundation, lipstick merah muda, eyeliner yang aku oleskan pada kelopak mataku, serta mascara yang membuat bulu mataku terlihat lentik. Tapi kali ini beda dari biasanya, semua itu mengabiskan waktu sepuluh kali lipat.
Ketika rapih dengan tampilan, aku bergegas ke garasi untuk mengeluarkan sepeda motor milik Om Danang. Lagi dan lagi aku harus menarik nafas panjang untuk menenangkan hatiku dan menghubungkan dengan pikiranku.
Aku sudah berbekal sebungkus coklat dan permen yang biasa aku andalkan untuk mengontrol emosiku. Aku yakin, ketika aku melihat wajahnya dari kejauhan pasti jantungku akan berdegup jauh lebih kencang dari biasanya. Benar saja, ketika dia menyapaku dari kejauhan tadi, keringat sudah mengalir dari dahi melewati pipi dan menetas jatuh di dagu. Aku segera mengambil sebungkus coklat dan aku mengunyahnya dengan terburu-buru sebelum dia berdiri tepat dihadapanku dan menyapa, “hai, Ka!”
Sapaannya itu membuat jantungku mulai berdetak dengan tempo yang sangat cepat, semakin lama dia menatapku dengan senyumnya yang khas semakin membuat jantung ini tidak karuan merasakan sensasi orang yang memendam perasaan. Perasaan yang sudah sekitar tiga tahun dipendam.
“Makan apa, Ka?” tanyanya lanjut sebelum aku sempat membalas sapaannya tadi. Wajahnya terlihat lesu, yang pasti dia sedang merasa lelah. Karena dia baru saja pulang dari kuliahnya dan langsung datang untuk memenuhi janjinya denganku.
“Eh? Hm…” aku berusaha menenangkan diri sebelum mengeluarkan kata-kata yang menurutku tidak pantas dikeluarkan. Mungkin efek dari rasa grogi. “Makan… coklat.” Lanjutku terbata-bata. “Oh iya. Hai, Bim.” Sekali lagi aku mengeluakan suara, kali ini maksudku membalas sapaan dia di awal.
“Kamu kenapa, Ka? Kok kayaknya grogi banget.” Kalimat itu, membuat mataku terbuka lebar, nampaknya rasa grogi ini benar-benar terlihat jelas di raut wajahku sehingga dia bertanya seperti itu.
“Engga, biasa aja kok.” Jawabku menutupi semuanya.
“Ok. Kalau gitu, bisa kita langsung ke café aja?”
“Bisa kok. Ayo!”
Kami tidak banyak berbincang selama perjalanan menuju café yang ada di pusat perbelanjaan ini. Aku sibuk mengatur detak jantung, keringat, dan rasa grogiku agar dia tidak bertanya hal seperti tadi. Setidaknya agar aku tidak terlihat benar-benar sedang jatuh hati dengannya.
Begitu sampai di café tersebut, dia langsung memilih tempat duduk di balkonnya. Tampak jelas indah jika kami duduk disini untuk candle light dinner. Sayangnya, bukan itu yang menjadi alasan kami bertemu disini setelah sekitar enam bulan tidak bertemu.
“Disini aja ya, Ka. Pemandangannya bagus. Kita bisa lihat pemandangan gedung-gedung yang ada disana. Berasa banget jadi orang Jakarta gitu.”
“Iya. Oke deh, Bim. Aku ikutin kata kamu aja.”
Kami duduk dan merapihkan barang-barang yang kami bawa di sisi bangku yang kami duduki. Tak lama kemudian, seorang pelayan café menghampiri kami dengan membawa dua buku menu yang ia berikan kepada kami. Seperti biasanya, dengan keramahan yang dia miliki, dia menyambut layanan dari pelayanan tersebut dengan sopan.
“Vanilla Latte nya satu ya, Mas.” Katanya kepada pelayan itu. Benar saja dugaanku. Dia masih dengan vanilla latte-nya.
“Kalau saya, jus strawberry nya ya. Oyah, gulanya dilebihin ya.”
“Jangan manis-manis, Ka. Gak baik.” Katanya mengingatkanku.
“Hm… biasa aja deh. Gak jadi dilebihin.” Dengan spontanitas aku mendengar nasehatnya.
Selesai dengan pesanan kami, pelayan tersebut segera pergi dari meja kami untuk membuat pesanan kami. Sama seperti dulu, dia tidak suka membuang waktu untuk mengobrol sebelum selesai dengan tugasnya. Dia membuka catatan kuliahnya dan mulai bertanya-tanya tentang satu tugas mata kuliahnya yang tidak dia kuasai sepenuhnya. Kemudian aku mulai menyambut pertanyaannya dengan menjawab sesuai dengan ilmu yang sudah aku terima sebelumnya.
Kami terus saja berkutik dengan materi pelajaran hingga waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Nampaknya, café ini pun sudah mau tutup. Kami bergegas pergi dari café ini untuk pulang. Begitupun materi pelajaran yang ia minta ajarkan itu sudah selesai aku berikan. Sedikit lebih tenang disini, karena sedari tadi aku dibawanya serius ke dalam pelajaran kuliah. Aku tidak lagi merasakan degup jantung yang berlebihan ataupun keringat yang terus mengalir. Suasana serius tapi santai berhasil mencairkan suasana disini hingga kami bergegas pergi dari café.
“Ke tamannya dulu yuk” ucapnya. Ajakannya membuat degup jantung kembali kuat. “Kayaknya lebih enak kita mengobrol-ngobrol dulu deh. Lagi pula besok kan hari Minggu. Gak ada kegiatan kan, Ka?”
“Hm…” aku berusaha tenang, “baiklah, kita mengobrol aja dulu ya di taman. Besok aku free kok. Masih jam sembilan juga. Tapi jangan lama-lama ya. Aku gak enak sebagai perempuan kalau pulang larut malam.”
“Tenang aja deh, Ka. Paling juga sampai jam sebelas kurang.”
“Itu lama loh, Bim. Dan sudah malam juga kalau aku pulang jam segitu.”
“Ya, sekali-kali pulang malam juga gak apa-apa kan? Toh kan kita juga jarang mengobrol berduaan begini. Suasananya lagi asik banget sih, Ka.”
“Ya sudah. Kalau itu buat kamu seneng. Lagi pula bener juga, suasana di taman ini buat nyaman banget” aku menarik nafas panjang dan menutup mataku sejenak untuk menikmati suasana malam di taman belakang pusat perbelanjaan ini. “Boleh minta tolong gak, Bim?”
“Minta tolong apa?”
“Fotoin aku dengan handphone ini. Viewnya bagus.”
“Jangan! Pakai handphone aku aja. Biar sekalian aku simpan foto kamu.”
Berawal dari situlah aku merasa benar-benar senang sekali dengan kencan pertama kami ini. Sebenarnya ini bukan kencan juga. Entahlah, apapun itu semuanya membuat senang.
Beberapa kali kami berfoto di taman ini. Awalnya bergantian, foto sendiri-sendiri. Kemudian ia nekat meminta tolong salah satu pengunjung disini untuk mengambil gambar kita berdua.
Degup jantungku seperti sedang naik hysteria di dufan. Nanti dia naik temponya, kemudian turun, kemudian naik lagi, lalu turun lagi dan naik lagi seperti sekarang aku berdiri di sampingnya untuk foto bersama dan yang paling membuat jantung ini memuncak berdetak adalah ketika dia merangkulku kemudian aku menatapnya dan dia menatap balik. Ekspresi menyebalkan itu berhasil tertangkap kamera handphonenya.
“Ekspresinya natural banget ya, Ka. Aku suka foto kita yang ini.”
“Kamu mengagetkan banget sih, Bim. Kamu kan gak pernah merangkul aku kayak gitu. Makanya aku langsung menengok ke kamu terkejut gitu.”
“Dan aku malah menatap balik kamu, ya?”
“Ah kacau juga sama kamu.”
“Yang penting kamu senang kan? Ya sudah, kita duduk dulu disini.” Kemudian kami duduk menghabilkan beberapa menit yang berubah menjadi jam di malam ini di sebuah taman yang cukup indah.
Semua terasa menyenangkan. Menghabiskan beberapa menit paling kusuka di sini dengan sosok yang sudah membuatku selalu berdoa kepada Tuhan agar dia menjadi tujuan akhirku. Senyumnya, tawanya, raut wajahnya, gerak tubuhnya, ucapannya, kembali sekali lagi membuatku semakin menginginkannya. Dan kembali aku hanya bisa memintanya kepada Tuhan melalui doa.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...