Sabtu, 20 Juli 2013

Kita Bicara




Sudah dua puluh menit perjalanan gue yang sampai saat ini gue gak tau mau kemana. Sejak sore tadi di café, gue sama sekali gak mengeluarkan kata apapun. Gue merasa kecewa atas diri gue sendiri yang sudah mengkhianati segalanya, mengkhianati dia, mengkhianati keadaan, bahkan mengkhianati diri gue sendiri. Bahkan gue merasa bahwa gue gak pantas lagi disayang oleh dia. Gak pantas lagi buat gue menjalin hubungan spesial dengannya. Gue harusnya dituruni disini, di pinggir tol luar kota. Dia seharusnya membuang jauh-jauh gue dari hidupnya. Gue pantas untuk dicaci, ditampar atau apapun yang menggambarkan kemarahan dia atas tindakan gue.

Gue mengakui kesalahan gue ini. Bahkan gue juga menyadari, kata maaf dari gue ini gak pantas ia balas dengan memaafkan. Air mata pun gak bisa membuat keadaan kembali mencair dan kembali seperti semuanya tidak ada. Gak pantas, itu saja yang ada dipikiran gue sedari tadi.

Saat ini, gue hanya mampu diam dan tertunduk. Bingung, apa yang harus gue lakukan yang gue pikir pantas untuk gue mendapatkan kata manis lagi dari dia. Gue lihat wajahnya yang sedari tadi serius dengan kemudinya. Sekali lagi gue merasa gue adalah orang paling bodoh di dunia. Bisa-bisanya gue mengkhianati orang yang sudah dua tahun menemani gue dalam sedih dan senang gue. Orang yang sudah bisa menerima gue apa adanya. Orang yang bisa sabar menghadapi gue yang dalam keadaan emosi. Orang yang sudah dua tahun sering sekali menghapus air mata gue dan memberikan gue hiburan agar gue kembali tersenyum. Orang yang setia menunggu gue ketika gue masih ada kuliah sampai malam. Orang yang rela berjam-jam menghadapi nenek gue yang bawelnya bukan main ketika gue bersiap untuk pergi sama dia. Orang yang mau menjadi supir pribadi gue yang siap mengantar-jemput gue kapan saja dan kemana saja. Orang yang selalu mau mengeluarkan uangnya untuk membelikan hadiah ketika mood gue sedang jelek. Orang yang selama dua tahun ini berperan jauh lebih banyak dari pada orang tua gue yang tinggal di Yogyakarta. Orang yang gue sebut kekasih ini, dia bernama Dhika.

Sore tadi di café. Gue memang menelponnya untuk datang. Ada hal yang ingin gue sampaikan. Hal yang sudah gue tutupi darinya sejak tiga bulan terakhir. Seperti biasa, gue duduk di meja depan kaca besar yang menghadap ke jalan raya. Secangkir cappuccino panas menemani gue menunggu Dhika. Kali ini , keempat kalinya dari dua tahun berpacaran sama dia, gue menunggu dia. Baru dua belas menit gue menunggu dia, gue sudah tujuh kali mengirimi dia pesan singkat dan lima kali telpon yang akhirnya menjadi missed call. Gue yang memang kurang pengertian selalu bisa memaksa dia dengan keegoisan gue. Gue memang jahat.

Disisi lain, gue menunggu kedatangan orang lain. Gue menunggu Bima.

Lebih dulu dari Dhika, Bima sampai dan sudah duduk di samping gue. Gue menyuruh dia untuk memesan terlebih dulu dari pada menunggu Dhika yang masih di jalan. Selama gue menunggu Dhika, gue asik berbincang mesra dengan Bima. Saling bertatapan dan tertawa layaknya orang pacaran. Tangan kanan Bima menggenggam erat tangan kiri gue. Dan semua gue tutupi ketika Dhika datang.

Dhika berdiri di hadapan gue. Dari jauh rupanya ia melihat Bima yang sedang menggenggam tangan gue. Dan melihat gue yang asik bercanda mesra dengan Bima. Tapi itulah hebatnya Dhika, dia gak marah. Dia justru bertanya meminta izin untuk duduk di antara gue dan Bima. Dengan gugup, gue berusaha ramah dengannya. Gue sadar, dia masih memiliki status pacar gue. Dia duduk, tanpa banyak diam dia bertanya, “Ada apa, Fik?”

Cara dia menyebut nama gue dalam pertanyaannya membuat gue sudah dapat menyimpulkan, dia cemburu dan dia marah. Gue gak mau banyak basa-basi, posisi gue disini masih gak enak dan gak aman. Sesaat setelah ia melepaskan nafas panjangnya, gue berbicara.

“Dhika, sebelumnya, kenalin ini teman kuliah gue dulu, namanya Bima.” Mereka saling berjabat tangan. Bima ramah menyapanya, begitu pula Dhika. Dhika seseorang yang handal menahan segala emosinya. Sekali pun dalam hatinya sudah sepanas besi yang diapikan, ataupun emosinya sudah meluap seperti lava gunung berapi yang mau menyembur keluar, dia masih bisa mengontrol dirinya. Itu yang paling aku suka darinya, bahkan itu juga yang membuat aku menyepelekannya hingga seperti ini.

Ia melihat gue dan tersenyum seperti tak ada masalah di meja ini. Padahal ia jelas memngetahui bahwa ada yang tidak beres disini. Bima berbisik di telinga gue, menyuruh gue untuk tidak melakukannya dan melupakan masalah yang ada. Gue menggelengkan kepala gue dan menjawab perkataannya dengan kalimat tenang gue. Entah itu tenang, entah itu masa bodoh.

Gue melihat dahi Dhika yang sudah mengkerut karena sudah bosan menunggu kalimat penjelasan yang keluar dari mulut gue. Gue masih ragu, ternyata gue masih khawatir dan merasa bersalah, tapi… “Dhika, kamu sekarang sudah kenal Bima. Ini yang pernah aku certain beberapa bulan lalu ketika kamu di luar kota dan aku sendiri disini. Dhika, jujur aku sayang banget sama kamu. Aku bahagia sama kamu. Kamu sangat sabar menghadapi aku yang egois ini. Tapi gak tau kenapa? Mungkin karena kamu sudah lelah menghadapi aku yang egois terhadap kamu. Aku pikir kamu berubah. Waktu kamu pergi ke Palembang buat Studibanding, aku selalu menceritakan Bima. Saat kamu disana, kamu sibuk sama urusan kamu dan aku merasa kehilangan kamu. Dalam satu hari kita hanya punya lima belas menit setelah kamu bangun tidur, itu pun karena aku duluan yang sms kamu mengucapkan selamat pagi. Begitupun malam hari nya, aku duluan yang mengucapkan selamat tidur ketika mata aku sudah sangat ngantuk. Kamu gak ada waktu, sampai sekarang, sampai saat ini ketika aku memintamu untuk datang ke café ini. Memang kamu datang, tapi hanya sekali respon kamu dari belasan sms aku. Dari sekian lama waktu aku yang kamu anggurin, ada Bima hadir. Setiap waktu aku yang gak ada kamu, selalu ada Bima. Bukannya aku gak pengertian sama kamu yang sibuk sama kerjaan. Aku berpikir seperti ini juga karena ada hal yang mendorong aku untuk melakukannya. Kamu ingat? Aku punya teman di Palembang, Dwi, dia membantu aku memantau kamu disana. I’m worried about you. Aku meminta Dwi untuk selalu memberikan kabar kamu yang gak pernah kamu kasih ke aku. Dari satu bulan studibanding kamu yang kamu bilang ke aku, Dwi bilang kalau hanya sepuluh hari kamu pakai buat kerjaan kamu, sisanya kamu liburan sendiri. Mungkin disitu aku juga berpikir kalau kamu memang butuh waktu tanpa aku. Tapi, aku hanya butuh satu, kabarin aku keadaan kamu disana. Kamu bahkan gak pernah tau kalau aku khawatir, kalau aku selalu menunggu kamu menelpon aku. Kamu gak tau karena kamu gak pernah kasih aku kesempatan untuk memberitahu ke kamu. Aku kesel sendiri, aku cerita ke Bima. Hanya Bima yang saat itu mengerti keadaan aku. Sampai aku merasa terbiasa tanpa kamu dan seiring itu pula aku terbiasa dengan kehadiran Bima. Sampai terbiasa itu juga berubah menjadi segaris senyum di bibir aku dan menjadi tawa bahagia ketika bersama dia. Lalu semua itu dengan cepat berubah menjadi cinta yang tumbuh di antara cinta aku ke kamu. Hingga semua berbalik, bukan kamu yang aku tunggu kabarnya. Dia buat aku bahagia, dia buat setiap malam aku yang tanpa kamu itu menjadi kembali berwarna. Sesaat aku kehilangan kamu, dia datang membawa wangi baru. Awalnya aku takut, karena aku samasekali gak mau berbuat jahat sama kamu. Aku takut semua ini terjadi, aku berkali-kali mencoba terapi perasaan aku dengan buku-buku tentang cinta. Agar aku kuat, agar aku bisa bertahan dan mempertahankan perasaan aku ke kamu. Tapi semua itu kalah. Aku terlanjur bahagia bersama dia. Setiap ada dia di saat gak ada kamu, aku lengkap. Sampai akhirnya, ketika kamu bilang kamu sudah di Jakarta, aku malah mendeklarasikan kalau aku benar-benar jatuh cinta lagi. Dan semua berjalan dengan cepat. Dua bulan aku menjalani hubungan tanpa status sama dia, tanpa sepengetahuan kamu, bahkan siapapun. Aku minta maaf. Kamu boleh marah sama aku, kamu boleh putusin aku, kamu boleh memaki aku dengan kata-kata yang sekalipun gak pernah aku dengar. Aku meminta maaf sekali lagi sama kamu, Dhik.” Gue menunduk. Sekian banyak kata yang gue keluarin untuk menjelaskan semua yang terjadi, Dhika hanya diam mendengarkan. Masih dalam senyumnya, namun kali ini gue melihat dia tampak bosan dengan ditunjukkan dengan tangannya usil memutar-mutarkan smartphonenya. Bima disini masih diam menunggu gue selesai berbicara.

“Dhika, gue minta maaf juga sudah lancang mengambil yang sudah dimiliki orang lain. Disini juga posisi awalnya lo tau lah, gue hanya mencoba mengobati luka rindu yang dirasakan sama Fika. Gue sebagai cowok yang gak tega juga melihat cewek yang dicuekin sama cowoknya, gue bantu menghibur dia. Tapi ternyata keadaan memberikan dukungan lain buat gue sama dia. Gue emang berengsek, gue mengakui itu. Gue sadar, gue gak berhak buat memiliki Fika. Apa yang lo liat tadi, gue yang menggenggam tangannya Fika, gue hanya berusaha untuk mencegahnya. Gue berniat sungguh-sungguh buat mengembalikan apa yang sudah lo punya. Fika itu cewek baik, dia sayang banget sama lo. Makanya dia sampai datang ke gue untuk meminta menguatkan hatinya buat lo. Selain itu, gue juga mau kasih saran ke elo. Harusnya lo gak sia-siain Fika. Gak dengan gak kasih kabar ketika lo jauh dari orang yang lo sayang. Lo harusnya mengerti kalau dia khawatir sama lo. Dan sekali lagi gue minta maaf, gue kembaliin yang gak seharusnya jadi milik gue ini ke elo.” Bima meraih tangan gue dan membawanya ke tangan Dhika. Sebagai tanda bahwa Bima tidak ingin gue mengkhianati Dhika. Setelah itu, Bima pergi meninggalkan kita berdua disini.

Gue masih menatapnya kecewa, gue sedikit masih berharap dia mengeluarkan kata marahnya. Dia menarik tangannya yang berada di bawah telapak tangan gue. Dia bangkit dari tempat duduknya, menarik tangan gue dan membawa gue keluar café. Ia menyuruh gue untuk masuk ke mobilnya dan sekarang gue berada di dalam mobilnya dan dalam suasana hening tanpa pembicaraan.

Kini sudah setengah jam gue sama dia saling diam. Dari petunjuk arah yang baru saja gue lewati, gue baru tersadar kalau dia membawa gue ke Yogya, dia mengantarkan gue ke rumah orang tua gue. Setelah gue mengetahuinya dan mulai merasa kesal dengan keadaan hening ini, gue memulai pembicaraan lagi dari awal.

“Dhika, kamu bisu?” dia tidak menjawab. “Dhika, aku mohon dong, dari tadi di café sampai sekarang kamu sama sekali gak mengeluarkan kata sedikit pun. Apa sih yang ada di pikiran kamu? Dhika! Please! Say something, aku gak suka suasana hening tanpa jawaban gini. Kamu membuat aku sama Bima jauh, dan sekarang kamu mau membawa aku ke Yogya, ke rumah orang tuaku tanpa sedikit pun kamu bilang. Kamu itu!” gue mengepalkan tangan gue menahan emosi. Dia masih dengan kemudinya dan tidak merespon apapun. Gue kembali terdiam hingga gue lelah dan tertidur.

Gue terbangun, cahaya lampu membangunkan kelelahan gue malam itu. Sekarang pukul  sebelas malam. Gue berada di rest area. Gue menoleh ke arah kanan, gue gak melihat Dhika disana. Sepertinya Dhika sedang berada di dalam supermarket. Gue turun dari mobil dan pergi menuju kamar kecil. Ketika gue kembali dari kamar kecil dan masuk ke dalam mobil Dhika, Dhika sudah ada di dalamnya. Gue duduk dan menatap ke depan. Dia memberikan gue sebotol minuman kopi kesukaan gue. Gue menerimanya dan segera menenggaknya.

“Maafin gue, Fik. Gue dari tadi diam saja dan gak mau ngomong apapun. Gue takut ada apa-apa di jalan. Sekarang lo udah  bangun dan kita gak lagi di dalam tol. Gue mau ngomong sekarang.” Kata dia datar.

“Akhirnya” respon gue sinis.

“Gue maklumin lo sampai jatuh cinta lagi. Itu pun karena ulah gue. Gue emang marah dan kesel tadi. Bahkan lo pasti taulah, semarah apapun gue, gue gak akan mengungkapkan itu. Setidaknya gak di sembarang tempat, di tempat umum kayak café tadi deh. Sekarang, ketika gue pikir gue mau marahin lo, gue malah gak merasa emosi lagi. Gue udah redam dan lupain semua. Gue kepikiran ucapan Bima tadi. Ya gue yang salah, gue yang terlalu cuek dan salah waktu gue di Palembang. Satu hal yang lo tau, saat gue di Palembang, gue ketemu sama mantan pacar gue. Maka dari itu, sebagian besar waktu gue disana gue pake buat liburan. Gue sempet suntuk sama lo. Lo menyadari kan kalau lo tuh ngeselin? Lo terlalu egois sama diri lo sendiri. Lo sama sekali gak pernah menghargai kesabaran gue. Sampai akhirnya di Palembang gue merasa happy sama mantan gue, dan lupa sama lo. Itu kesalahan gue yang paling fatal. Tapi, sehari sebelum gue pulang ke Jakarta. Dwi mengunjungi hotel gue, dia memarahi gue karena dia pernah melihat gue makan malam sama mantan gue itu. Gue meminta dia untuk gak bilang sama lo. Gue yang menanggung resiko sendiri atas apa yang gue lakuin. Karena saat itu gue percaya, ketika kita berdua bicara, kita mampu menyelesaikannya. Perasaan lo sama perasaan gue sama-sama kuat. Pada dasarnya kita sama-sama lelah sama hubungan kita yang gak pernah bisa beranjak dari kata datar. Gue juga gak nyangka permainan ini jadi semakin dalam. Gue udah mau bilang sama lo setelah dua hari gue ada di Jakarta lagi. Tapi gue juga melihat perubahan lo yang drastis terhadap gue. Gue menunggu kapan titik puncak ini kita temuin. Ternyata hari ini titik puncaknya. Terima kasih udah menyadarkan gue atas kesalahan gue. Gue juga udah maafin lo kok. Karena gue juga yang salah. Lo gak akan sampai kayak gini kalau gak gue yang mulai duluan.” Ujarnya panjang lebar. Penjelasan yang gak pernah gue sangka. Di luar praduga gue. Gue mau marah, tapi gue kembali tersadar. Masalah ini gak akan pernah selesai kalau kita gak saling mengalah dan mengakui kesalahan. Gue mengerti dia, begitu pun dia. Gue memaafkan dia tulus, begitupun sebaliknya.

“Gue rasa, ini semua udah selesai ya, Dhik. Semua ini adalah murni kesalaha kita yang gak pernah kita coba bicarakan.” Gue kembali tersenyum karenanya.

“Gue mau bawa lo ke Yogya, karena…” dia menjedakan pembicaraannya. Gue merasa bingung dan penasaran, hingga akhirnya dia melanjutkan, “karena gue mau melamar lo di depan orang tua lo, Fik.”

“Ha?” gue terkejut tapi gue merasa sangat bahagia. Gue menunggu sampainya gue di rumah Mama dan Ayah. Gue menunggu Dhika melamar gue di hadapan mereka. Gue bahagia. Kebahagiaan yang kemarin gue berikan karena orang lain, kali ini kembali gue berikan karena Dhika.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...