Sudah dua puluh menit perjalanan
gue yang sampai saat ini gue gak tau mau kemana. Sejak sore tadi di café, gue
sama sekali gak mengeluarkan kata apapun. Gue merasa kecewa atas diri gue
sendiri yang sudah mengkhianati segalanya, mengkhianati dia, mengkhianati
keadaan, bahkan mengkhianati diri gue sendiri. Bahkan gue merasa bahwa gue gak
pantas lagi disayang oleh dia. Gak pantas lagi buat gue menjalin hubungan
spesial dengannya. Gue harusnya dituruni disini, di pinggir tol luar kota. Dia
seharusnya membuang jauh-jauh gue dari hidupnya. Gue pantas untuk dicaci,
ditampar atau apapun yang menggambarkan kemarahan dia atas tindakan gue.
Gue mengakui kesalahan gue ini.
Bahkan gue juga menyadari, kata maaf dari gue ini gak pantas ia balas dengan
memaafkan. Air mata pun gak bisa membuat keadaan kembali mencair dan kembali
seperti semuanya tidak ada. Gak pantas, itu saja yang ada dipikiran gue sedari
tadi.
Saat ini, gue hanya mampu diam
dan tertunduk. Bingung, apa yang harus gue lakukan yang gue pikir pantas untuk
gue mendapatkan kata manis lagi dari dia. Gue lihat wajahnya yang sedari tadi
serius dengan kemudinya. Sekali lagi gue merasa gue adalah orang paling bodoh
di dunia. Bisa-bisanya gue mengkhianati orang yang sudah dua tahun menemani gue
dalam sedih dan senang gue. Orang yang sudah bisa menerima gue apa adanya.
Orang yang bisa sabar menghadapi gue yang dalam keadaan emosi. Orang yang sudah
dua tahun sering sekali menghapus air mata gue dan memberikan gue hiburan agar
gue kembali tersenyum. Orang yang setia menunggu gue ketika gue masih ada
kuliah sampai malam. Orang yang rela berjam-jam menghadapi nenek gue yang
bawelnya bukan main ketika gue bersiap untuk pergi sama dia. Orang yang mau
menjadi supir pribadi gue yang siap mengantar-jemput gue kapan saja dan kemana
saja. Orang yang selalu mau mengeluarkan uangnya untuk membelikan hadiah ketika
mood gue sedang jelek. Orang yang selama dua tahun ini berperan jauh lebih
banyak dari pada orang tua gue yang tinggal di Yogyakarta. Orang yang gue sebut
kekasih ini, dia bernama Dhika.
Sore tadi di café. Gue memang
menelponnya untuk datang. Ada hal yang ingin gue sampaikan. Hal yang sudah gue
tutupi darinya sejak tiga bulan terakhir. Seperti biasa, gue duduk di meja
depan kaca besar yang menghadap ke jalan raya. Secangkir cappuccino panas
menemani gue menunggu Dhika. Kali ini , keempat kalinya dari dua tahun
berpacaran sama dia, gue menunggu dia. Baru dua belas menit gue menunggu dia,
gue sudah tujuh kali mengirimi dia pesan singkat dan lima kali telpon yang
akhirnya menjadi missed call. Gue yang memang kurang pengertian selalu bisa
memaksa dia dengan keegoisan gue. Gue memang jahat.
Disisi lain, gue menunggu
kedatangan orang lain. Gue menunggu Bima.
Lebih dulu dari Dhika, Bima
sampai dan sudah duduk di samping gue. Gue menyuruh dia untuk memesan terlebih
dulu dari pada menunggu Dhika yang masih di jalan. Selama gue menunggu Dhika,
gue asik berbincang mesra dengan Bima. Saling bertatapan dan tertawa layaknya
orang pacaran. Tangan kanan Bima menggenggam erat tangan kiri gue. Dan semua
gue tutupi ketika Dhika datang.
Dhika berdiri di hadapan gue.
Dari jauh rupanya ia melihat Bima yang sedang menggenggam tangan gue. Dan
melihat gue yang asik bercanda mesra dengan Bima. Tapi itulah hebatnya Dhika,
dia gak marah. Dia justru bertanya meminta izin untuk duduk di antara gue dan
Bima. Dengan gugup, gue berusaha ramah dengannya. Gue sadar, dia masih memiliki
status pacar gue. Dia duduk, tanpa banyak diam dia bertanya, “Ada apa, Fik?”
Cara dia menyebut nama gue dalam
pertanyaannya membuat gue sudah dapat menyimpulkan, dia cemburu dan dia marah.
Gue gak mau banyak basa-basi, posisi gue disini masih gak enak dan gak aman.
Sesaat setelah ia melepaskan nafas panjangnya, gue berbicara.
“Dhika, sebelumnya, kenalin ini
teman kuliah gue dulu, namanya Bima.” Mereka saling berjabat tangan. Bima ramah
menyapanya, begitu pula Dhika. Dhika seseorang yang handal menahan segala
emosinya. Sekali pun dalam hatinya sudah sepanas besi yang diapikan, ataupun
emosinya sudah meluap seperti lava gunung berapi yang mau menyembur keluar, dia
masih bisa mengontrol dirinya. Itu yang paling aku suka darinya, bahkan itu
juga yang membuat aku menyepelekannya hingga seperti ini.
Ia melihat gue dan tersenyum
seperti tak ada masalah di meja ini. Padahal ia jelas memngetahui bahwa ada
yang tidak beres disini. Bima berbisik di telinga gue, menyuruh gue untuk tidak
melakukannya dan melupakan masalah yang ada. Gue menggelengkan kepala gue dan
menjawab perkataannya dengan kalimat tenang gue. Entah itu tenang, entah itu
masa bodoh.
Gue melihat dahi Dhika yang sudah
mengkerut karena sudah bosan menunggu kalimat penjelasan yang keluar dari mulut
gue. Gue masih ragu, ternyata gue masih khawatir dan merasa bersalah, tapi…
“Dhika, kamu sekarang sudah kenal Bima. Ini yang pernah aku certain beberapa
bulan lalu ketika kamu di luar kota dan aku sendiri disini. Dhika, jujur aku
sayang banget sama kamu. Aku bahagia sama kamu. Kamu sangat sabar menghadapi
aku yang egois ini. Tapi gak tau kenapa? Mungkin karena kamu sudah lelah
menghadapi aku yang egois terhadap kamu. Aku pikir kamu berubah. Waktu kamu
pergi ke Palembang buat Studibanding, aku selalu menceritakan Bima. Saat kamu
disana, kamu sibuk sama urusan kamu dan aku merasa kehilangan kamu. Dalam satu
hari kita hanya punya lima belas menit setelah kamu bangun tidur, itu pun
karena aku duluan yang sms kamu mengucapkan selamat pagi. Begitupun malam hari
nya, aku duluan yang mengucapkan selamat tidur ketika mata aku sudah sangat
ngantuk. Kamu gak ada waktu, sampai sekarang, sampai saat ini ketika aku
memintamu untuk datang ke café ini. Memang kamu datang, tapi hanya sekali
respon kamu dari belasan sms aku. Dari sekian lama waktu aku yang kamu
anggurin, ada Bima hadir. Setiap waktu aku yang gak ada kamu, selalu ada Bima.
Bukannya aku gak pengertian sama kamu yang sibuk sama kerjaan. Aku berpikir
seperti ini juga karena ada hal yang mendorong aku untuk melakukannya. Kamu
ingat? Aku punya teman di Palembang, Dwi, dia membantu aku memantau kamu
disana. I’m worried about you. Aku meminta Dwi untuk selalu memberikan kabar
kamu yang gak pernah kamu kasih ke aku. Dari satu bulan studibanding kamu yang
kamu bilang ke aku, Dwi bilang kalau hanya sepuluh hari kamu pakai buat kerjaan
kamu, sisanya kamu liburan sendiri. Mungkin disitu aku juga berpikir kalau kamu
memang butuh waktu tanpa aku. Tapi, aku hanya butuh satu, kabarin aku keadaan
kamu disana. Kamu bahkan gak pernah tau kalau aku khawatir, kalau aku selalu
menunggu kamu menelpon aku. Kamu gak tau karena kamu gak pernah kasih aku
kesempatan untuk memberitahu ke kamu. Aku kesel sendiri, aku cerita ke Bima.
Hanya Bima yang saat itu mengerti keadaan aku. Sampai aku merasa terbiasa tanpa
kamu dan seiring itu pula aku terbiasa dengan kehadiran Bima. Sampai terbiasa
itu juga berubah menjadi segaris senyum di bibir aku dan menjadi tawa bahagia
ketika bersama dia. Lalu semua itu dengan cepat berubah menjadi cinta yang
tumbuh di antara cinta aku ke kamu. Hingga semua berbalik, bukan kamu yang aku
tunggu kabarnya. Dia buat aku bahagia, dia buat setiap malam aku yang tanpa
kamu itu menjadi kembali berwarna. Sesaat aku kehilangan kamu, dia datang
membawa wangi baru. Awalnya aku takut, karena aku samasekali gak mau berbuat
jahat sama kamu. Aku takut semua ini terjadi, aku berkali-kali mencoba terapi
perasaan aku dengan buku-buku tentang cinta. Agar aku kuat, agar aku bisa
bertahan dan mempertahankan perasaan aku ke kamu. Tapi semua itu kalah. Aku
terlanjur bahagia bersama dia. Setiap ada dia di saat gak ada kamu, aku
lengkap. Sampai akhirnya, ketika kamu bilang kamu sudah di Jakarta, aku malah
mendeklarasikan kalau aku benar-benar jatuh cinta lagi. Dan semua berjalan
dengan cepat. Dua bulan aku menjalani hubungan tanpa status sama dia, tanpa
sepengetahuan kamu, bahkan siapapun. Aku minta maaf. Kamu boleh marah sama aku,
kamu boleh putusin aku, kamu boleh memaki aku dengan kata-kata yang sekalipun
gak pernah aku dengar. Aku meminta maaf sekali lagi sama kamu, Dhik.” Gue menunduk.
Sekian banyak kata yang gue keluarin untuk menjelaskan semua yang terjadi,
Dhika hanya diam mendengarkan. Masih dalam senyumnya, namun kali ini gue
melihat dia tampak bosan dengan ditunjukkan dengan tangannya usil
memutar-mutarkan smartphonenya. Bima disini masih diam menunggu gue selesai
berbicara.
“Dhika, gue minta maaf juga sudah
lancang mengambil yang sudah dimiliki orang lain. Disini juga posisi awalnya lo
tau lah, gue hanya mencoba mengobati luka rindu yang dirasakan sama Fika. Gue sebagai
cowok yang gak tega juga melihat cewek yang dicuekin sama cowoknya, gue bantu
menghibur dia. Tapi ternyata keadaan memberikan dukungan lain buat gue sama
dia. Gue emang berengsek, gue mengakui itu. Gue sadar, gue gak berhak buat
memiliki Fika. Apa yang lo liat tadi, gue yang menggenggam tangannya Fika, gue
hanya berusaha untuk mencegahnya. Gue berniat sungguh-sungguh buat
mengembalikan apa yang sudah lo punya. Fika itu cewek baik, dia sayang banget
sama lo. Makanya dia sampai datang ke gue untuk meminta menguatkan hatinya buat
lo. Selain itu, gue juga mau kasih saran ke elo. Harusnya lo gak sia-siain
Fika. Gak dengan gak kasih kabar ketika lo jauh dari orang yang lo sayang. Lo harusnya
mengerti kalau dia khawatir sama lo. Dan sekali lagi gue minta maaf, gue
kembaliin yang gak seharusnya jadi milik gue ini ke elo.” Bima meraih tangan gue
dan membawanya ke tangan Dhika. Sebagai tanda bahwa Bima tidak ingin gue
mengkhianati Dhika. Setelah itu, Bima pergi meninggalkan kita berdua disini.
Gue masih menatapnya kecewa, gue
sedikit masih berharap dia mengeluarkan kata marahnya. Dia menarik tangannya
yang berada di bawah telapak tangan gue. Dia bangkit dari tempat duduknya,
menarik tangan gue dan membawa gue keluar café. Ia menyuruh gue untuk masuk ke
mobilnya dan sekarang gue berada di dalam mobilnya dan dalam suasana hening
tanpa pembicaraan.
Kini sudah setengah jam gue sama
dia saling diam. Dari petunjuk arah yang baru saja gue lewati, gue baru
tersadar kalau dia membawa gue ke Yogya, dia mengantarkan gue ke rumah orang
tua gue. Setelah gue mengetahuinya dan mulai merasa kesal dengan keadaan hening
ini, gue memulai pembicaraan lagi dari awal.
“Dhika, kamu bisu?” dia tidak
menjawab. “Dhika, aku mohon dong, dari tadi di café sampai sekarang kamu sama
sekali gak mengeluarkan kata sedikit pun. Apa sih yang ada di pikiran kamu? Dhika!
Please! Say something, aku gak suka suasana hening tanpa jawaban gini. Kamu membuat
aku sama Bima jauh, dan sekarang kamu mau membawa aku ke Yogya, ke rumah orang
tuaku tanpa sedikit pun kamu bilang. Kamu itu!” gue mengepalkan tangan gue
menahan emosi. Dia masih dengan kemudinya dan tidak merespon apapun. Gue kembali
terdiam hingga gue lelah dan tertidur.
Gue terbangun, cahaya lampu
membangunkan kelelahan gue malam itu. Sekarang pukul sebelas malam. Gue berada di rest area. Gue menoleh
ke arah kanan, gue gak melihat Dhika disana. Sepertinya Dhika sedang berada di
dalam supermarket. Gue turun dari mobil dan pergi menuju kamar kecil. Ketika gue
kembali dari kamar kecil dan masuk ke dalam mobil Dhika, Dhika sudah ada di
dalamnya. Gue duduk dan menatap ke depan. Dia memberikan gue sebotol minuman
kopi kesukaan gue. Gue menerimanya dan segera menenggaknya.
“Maafin gue, Fik. Gue dari tadi
diam saja dan gak mau ngomong apapun. Gue takut ada apa-apa di jalan. Sekarang lo
udah bangun dan kita gak lagi di dalam
tol. Gue mau ngomong sekarang.” Kata dia datar.
“Akhirnya” respon gue sinis.
“Gue maklumin lo sampai jatuh
cinta lagi. Itu pun karena ulah gue. Gue emang marah dan kesel tadi. Bahkan lo
pasti taulah, semarah apapun gue, gue gak akan mengungkapkan itu. Setidaknya gak
di sembarang tempat, di tempat umum kayak café tadi deh. Sekarang, ketika gue
pikir gue mau marahin lo, gue malah gak merasa emosi lagi. Gue udah redam dan
lupain semua. Gue kepikiran ucapan Bima tadi. Ya gue yang salah, gue yang
terlalu cuek dan salah waktu gue di Palembang. Satu hal yang lo tau, saat gue
di Palembang, gue ketemu sama mantan pacar gue. Maka dari itu, sebagian besar
waktu gue disana gue pake buat liburan. Gue sempet suntuk sama lo. Lo menyadari
kan kalau lo tuh ngeselin? Lo terlalu egois sama diri lo sendiri. Lo sama
sekali gak pernah menghargai kesabaran gue. Sampai akhirnya di Palembang gue
merasa happy sama mantan gue, dan lupa sama lo. Itu kesalahan gue yang paling
fatal. Tapi, sehari sebelum gue pulang ke Jakarta. Dwi mengunjungi hotel gue,
dia memarahi gue karena dia pernah melihat gue makan malam sama mantan gue itu.
Gue meminta dia untuk gak bilang sama lo. Gue yang menanggung resiko sendiri
atas apa yang gue lakuin. Karena saat itu gue percaya, ketika kita berdua
bicara, kita mampu menyelesaikannya. Perasaan lo sama perasaan gue sama-sama
kuat. Pada dasarnya kita sama-sama lelah sama hubungan kita yang gak pernah
bisa beranjak dari kata datar. Gue juga gak nyangka permainan ini jadi semakin
dalam. Gue udah mau bilang sama lo setelah dua hari gue ada di Jakarta lagi. Tapi
gue juga melihat perubahan lo yang drastis terhadap gue. Gue menunggu kapan
titik puncak ini kita temuin. Ternyata hari ini titik puncaknya. Terima kasih
udah menyadarkan gue atas kesalahan gue. Gue juga udah maafin lo kok. Karena gue
juga yang salah. Lo gak akan sampai kayak gini kalau gak gue yang mulai duluan.”
Ujarnya panjang lebar. Penjelasan yang gak pernah gue sangka. Di luar praduga
gue. Gue mau marah, tapi gue kembali tersadar. Masalah ini gak akan pernah
selesai kalau kita gak saling mengalah dan mengakui kesalahan. Gue mengerti
dia, begitu pun dia. Gue memaafkan dia tulus, begitupun sebaliknya.
“Gue rasa, ini semua udah selesai
ya, Dhik. Semua ini adalah murni kesalaha kita yang gak pernah kita coba
bicarakan.” Gue kembali tersenyum karenanya.
“Gue mau bawa lo ke Yogya, karena…”
dia menjedakan pembicaraannya. Gue merasa bingung dan penasaran, hingga
akhirnya dia melanjutkan, “karena gue mau melamar lo di depan orang tua lo,
Fik.”
“Ha?” gue terkejut tapi gue
merasa sangat bahagia. Gue menunggu sampainya gue di rumah Mama dan Ayah. Gue menunggu
Dhika melamar gue di hadapan mereka. Gue bahagia. Kebahagiaan yang kemarin gue
berikan karena orang lain, kali ini kembali gue berikan karena Dhika.