Sabtu, 21 Januari 2012

Cerpen "Pengorbanan Hati"

Pengorbanan Hati
“Yeeee…” sorak-sorak gembira murid kelas VIII, SMP Purnama Bakti. Liburan kali ini, sekolah yang sudah berdiri sejak 10 tahun yang lalu itu menawarkan untuk berlibur ke salah satu pantai yang terkenal di kota ini.
Minggu, 6 Januari.
“Hey temen-temen ! Ayo kita nyanyi !” teriak Tahta, Ketua kelas VIII-4, kelasku. Hingga kami mulai melantunkan lagu-lagu kegembiraan.
Lama menikmati duduk di bangku bis ini, Rovand datang. Cowok yang lama aku kagumi karena beberapa hal yang ia miliki itu datang dan membuatku merasa jauh lebih senang saat itu.
“Vand, kenapa ?” tanyaku ketika ia berada tepat di sampingku.
“Eh… Tiara. Lo duduk disini ? Gue gak dapet tempat duduk di bis depan. Kata Bu Andara, di bis ini ada bangku yang kosong. Jadi gue kesini deh, dan kayaknya disini juga rame.”
“Oh begitu, iya disini pasti rame dong meskipun yang tadi kamu bilang. Masih ada yang kosong. Disini aja kosong, ini kan bangku tiga, tapi gue cuma duduk sama Leny doang. Lo boleh kok duduk disini kalau mau.”
“Wah… Ide bagus.” Ia tertawa kecil. “Ya sudah, gue duduk disini yah.”
               
Jantungku berdegup sangat kencang saat itu. Mungkin rasanya ingin terbang melayang ketika ia benar-benar berada di sampingku. Leny lebih asik bernyanyi dengan kawan ku yang lainnya di belakang. Sedangkan aku hanya duduk dan mendengarkan beberapa lagu yang terputar di MP3-ku itu. Sesekali aku memejamkan mataku. Tak menyangka, Rovand yang juga asik dengan MP3-nya itu memperhatikanku yang terlihat mengantuk.
“Ngantuk ya ?” tanyanya mengagetkanku hingga aku menjawab dengan gugup.
“Iya.” Aku tersenyum. “Semalem ada bola, gue nonton bola deh sampe tengah malem.”
“Wah … sama. Gue juga semalem nonton bola. Seru banget sih. Klub yang gue suka menang semalem.”
“Ohya ? Lo suka Klub itu juga. Sama dong kita.” Sahutku penuh suka cita hingga akhirnya kita menemukan topik yang cocok untuk mengisi perjalananku itu.
                Saat itu bis ini sudah memasuki area rekreas,  topik pembicaraan aku dan Rovand sudah habis sejak 10 menit yang lalu. Usai aku menoleh ke luar kaca bis, Rovand menarik tanganku dan sepertinya ia ingin berbicara sesuatu yang ia anggap serius. Sejenak aku terdiam melihat dua bola matanya memandang penuh kedua mataku. Jantungku pun tak henti berlonjak-lonjak dalam dada. Keringat pun mulai menetes satu demi satu dari dahiku.
“Tiara…” Suaranya yang semakin menggetarkan tubuhku.
“Hem. Kenapa ?” jawabku gugup.
“Mungkin gue nekat atau gimana yah, tapi gue suka sama elu. Lu mau gak jadi pacar gue ?”
Mataku terbuka lebar seperti ingin keluar dari kelopak. “Hah?” mulutku tak mau menutup dengan baik. Ya… memang itu sangat mengejutkan.
“Tiara, jawab !”
“Be.. be.. begini Rovand. Gimana ya ?” Aku menggaruk kepalaku karena aku memang sangat gugup. “Jujur… gue gak akan berekspresi kayak gini dan jantung gue ini bener-bener … Waah ! Pokoknya gue gak nyangka lu bakal ngomong kayak gini sekarang. Dari tadi gue seneng banget bisa deket sama elu. Ya gue juga sebenarnya suka plus plus kagum sama elu. Oleh karena itu gue bener-bener terkejutlah.” Jelasku di tengah hendusan nafas grogi.
“Jawab aja.” Paksanya.
“Tapi, ini lo serius ? Atau…” mulutku ditutupnya dengan tangan itu.
“Gue serius Tiara. Ini bukan masalah karena gue pengen punya cewek saat liburan ini. Tapi gue bener-bener serius mau jadi pacar elu.”
“Gue gak mau munafik.” Dengan malu-malu. “Gue mau.”
“Serius ?”
“Iya Rovand.” Dan ia langsung mengecup keningku. Jelas aku semakin gila dibuatnya. Rasanya memang aku seperti terbang ke langit ke tujuh. Dan rasa senang itu diperlengkap dengan suasana luar biasa di pantai ini.
                Hari itu aku habiskan bersama teman-teman sekelasku dan yang pasti pacar baruku. Pasir putih, deburan ombak, suara gemuruh air laut dan suasana bahagia yang sejak dari tadi telah diciptakan memang mampu mengukir senyuman indah pada hari ini. Ingin rasanya hari ini tidak akan berakhir untuk selamanya. Hari bahagia yang selalu ingin dirasakan bayak remaja di dunia ini. Menjalin kebahagiaan di masa pubertasnya.
                Di balai yang letaknya tidak jauh dari pantai. Aku duduk sendiri menunggu Rovand yang kala itu sedang membelikanku satu Ice Cream Chocolate. Ketika aku menikmati suasana indah pantai ini, ia datang menghampiriku dan duduk di sampingku. Orang yang pernah singgah di hatiku untuk beberapa bulan dan membuatku merasa kehilangan selama satu tahun, kini ia duduk di tengah kemurungannya. Wajahnya terlihat sangat manis, sama seperti saat aku memilikinya dulu.
“Enak yah jalan-jalan di pantai sama orang yang kita sayangi.” Ucapnya.
Aku menoleh “Iya, Jri.” Jawabku.
“Aku dengar, tadi di bis Rovand …” tak sempat ia meneruskan omongannya Rovand datang dan menarik tanganku dan berlari ke pinggir pantai. Aku melihat wajahnya tersenyum padaku dan aku melihat ia menggerakan bibirnya mengucapkan “Aku masih sayang kamu.”
                Sejenak aku terdiam. Rovand menoleh dan bertanya “Kamu kenapa?” Aku menatapnya kosong dan tak mengeluarkan satu kata pun. Dan ia menarikku kembali. Aku menikmati segala hal indah yang Rovand berikan padaku, tapi di sisi lain aku mencoba melihat ke arah Fajri yang jelas tak ada aura bahagia hari itu.
Mungkin gak sih, kalau dia itu bener-bener masih sayang sama gue. Tapi kenapa semenjak putus dia selalu saja mencoba jauh dari gue. Padahal dia juga tau kalau gue juga masih sayan. Sekarang… ketika gue udah punya Rovand, dia justru …
“Tiara ! Kesana yuk !” Ajak Rovand.
“Kemana ?”
“Itu, disana temen-temen kita berkumpul. Kita kesana yuk.” Aku mengangguk.
***
                Seharian ini kami memang melepaskan beban kami sebagai pelajar. Kami bersenang-senang setelah kami mentuntaskan kewajiban kami di kelas VIII ini. Kami tertawa, bernyanyi, menari, segala hal yang selalu membuat kami tersenyum, kami lakukan. Bersama teman, guru, ataupun pasangan. Beberapa menit sebelum kami pergi menuju bis dan memutuskan kembali ke rumah, tiba-tiba kakiku yang masih tidak menggunakan alas kaki itu menusuk cangkang kerang. Begitu sakit dan mengejutkan. Mataku sekejab menatap tiga sisi berbeda. Samping kananku, ku lihat Rovand. Samping kiriku, ku lihat Fajri sedang berjalan merunduk. Mengarah ke depan, ku lihat semua kawanku tertawa melihat supir bis yang jatuh karena tersandung batu di samping bisnya. Sejenak aku takut dan khawatir. Perasaan buruk yang menjadi hal buruk.
                Dalam perjalanan pulang, aku kembali duduk bersama Rovand. Suasana menjadi mengharukan ketika Fajri menyanyikan lagu yang sangat kami sukai dan pernah menjadi theme song antara aku dan Fajri. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Yang pasti aku pun merasakannya. Aku melihatnya begitu menghayati lagu tersebut. Matanya, wajahnya, berbicara bahwa ia masih sangat mengaharapkanku kembali padanya. Semua penumpang bis ini menoleh ke arahnya, suaranya yang bagus dan permainan gitarnya yang handal menghipnotis seluruh penumpang, termasuk guruku. Dan saat itu juga …
                Bis ini diremnya secara mendadak, dua bis di belakang bis ini beruntun menabrak bis kami. Sehingga semua terguncang dan bis ini menabrak pembatas jalan sebelah kanan, sehingga mobil dari arah lain pun menghantam sisi kiri bis ini. Dan semua tidak terlihat lagi olehku.
                Entah berapa lama aku mengalami hal ini. Namun ketika aku tersadar, semua telah berbeda. Aku merasakan aroma harum bunga disini. Serta kentalnya wangi obat. Aku yakin, saat ini aku berada di rumah sakit. Karena sebelum aku mencoba membuka mata, Tuhan memberiku satu ingatan mengenai tragedi itu.
“Ayo cantik, kamu coba buka mata kamu perlahan-lahan yah! ” Ucap seseorang di sampingku yang saat itu membuka perban di mataku. Dan aku mengangguk.
Begitu perban itu  terbuka, dan orang itu menyuruhku untuk perlahan-lahan membuka mataku, aku terkejut dan semua orang yang ada di ruangan itu sangat terkejut.
“Kenapa ? Kenapa ? Kenapa gelap ? Kenapa saya tidak bisa melihat apapun ? Kenapa ? Kenapa dengan mata saya ini ?” Jeritku.
“Tiara…” Suara Mama yang menggambarkan kepanikan.
“Ma, aku kenapa ? Aku gak bisa lihat apapun.”
“Jangan ! Jangan, Dokter. Jangan bilang anak saya buta !” Ia mendekapku dengan air mata.
“Maaf, Bu. Saya sudah bilang sebelumnya, kalau ini semua belum tentu berhasil. Dan bukankah Ibu sudah bilang untuk ikhlas?” ucap Dokter itu.
“Ma, aku kenapa ? Aku buta, Ma ? Aku gak bisa melihat lagi ?” ucapku dengan tangisan.
“Nak, ini yang terjadi. Kita harus menerimanya dengan ikhlas.”
“Tiara… kamu harus tegar yah. Aku masih disini buat kamu, bagaimana pun keadaan kamu.”
Suara itu, suara itu… “Fajri.”
“Iya.” Ia menggenggam tanganku. “Tiara, ini yang terjadi.  Ini yang kita alami. Kebahagiaan hari itu tak sempurna, Tiara.”
“Maksud kamu?” aku bingung.
Aku mendengar suara langkah yang semakin menjauh. Dokter itu dan Mama pergi ke luar ruangan ini. Sekiranya hanya aku dan Fajri yang berada disini. Dengan genggaman yang sangat kuat karena ketakutanku itu, Fajri memulai menceritakan semua yang terjadi seketika aku hilang kesadaran.
***
Aku menangis, mungkin aku tidak terima dengan kenyataan ini. Semua orang yang aku sayang pergi meninggalkan aku. Takdir tidak bisa dielak, itu bukan mimpi yang menghiasi mimpi burukku di suatu malam. Itu nyata. Dan aku harus menerimanya. Di kursi roda aku merenung di tengah kegelapan. Aku mengingat semua hal indah di hari itu. Rovand, Leny, atau semua teman baikku itu telah pergi menghadap Tuhan. Dari balik pintu aku merasakan, harum tubuh Fajri yang sedang melihatku termenung. Ia datang dan memelukku dari belakang kursi roda. Aku meraba ke arah pundakku untuk meraih tangannya.
“Aku bener-bener gak nyangka. Tuhan mengambil kebahagiaanku di hari itu untuk selamanya. Tuhan mengambil semua orang yang aku sayang. Rovand, orang yang sudah membuatku tersenyum penuh hari itu. Leny, yang masih menemaniku di detik terakhir sebelum bis itu kecelakaan. Haniva, sahabatku dari SD yang saat pulang pun gak mengucapkan kata apapun. Aku kehilangan mereka, Fajri !” Aku menangis. “Sebelum kita pergi ke bis, kaki aku sempat menginjak cangkang kerang. Dan itu sakit banget. Lalu aku mengangkat kepalaku menatap tiga sisi itu. Kamu, Rovand, dan semua teman-teman yang menertawakan supir bis kita.”
“Itu… firasat.” Ucapnya. “Kamu merasakan apa yang akan terjadi, apa yang akan menghilang dari kamu.”
“Iya, Fajri.” Ucapku, dan ia berdiri di hadapanku. Ia menghapus air mataku. “ Terima kasih, Jri. Kamu sudah membuat aku berada disini. Kamu sudah menolong aku di bis itu. Meskipun saat itu kamu pun masih sulit bertahan. Kamu …”
“Aku lakukan itu karena aku sayang sama kamu. Aku mau hidup sama kamu. Meskipun perjalanan hidup kita masih jauh dan kita masih belum cukup umur untuk mengerti arti cinta. Yang pasti aku gak mau kehilangan kamu. Maka dari itu aku menyelamatkanmu.”
Kami semua mengalami duka yang mendalam. Sekolah kami beberapa hari menerima kiriman bunga duka cita. Kelas pararel yang seharusnya ada tujuh, kini hanya ada enam. Dan setiap tanggal 6 Januari, sekolah ini memperingati hari berkabung. Semua warga sekolah mengadakan doa bersama. Dan kegiatan itu dilakukan oleh seluruh siswa angkatan kami hingga kami memiliki keluarga masing-masing. Dan disanalah terukir kenangan pahit yang tidak akan pernah dilupakan oleh siapapun dan mampu menguras air mata siapapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...