Sabtu, 08 September 2012

LUKA SANG BUNGA part V

Belajar dan belajar. Itu yang harus aku lakukan setelah aku memutuskan kembali untuk belajar dengan melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Walau rasa otak lelah untuk berfikir, tetapi memang inilah keputusanku yang dulu ku ambil.
                Hari ini aku harus presentasi atas penelitianku di pelajaran Bu Andari. Memang tugas ini telah aku siapkan sejak satu minggu yang lalu. Tapi tetap saja buatku untuk membuat hasil yang luar biasa waktu satu minggu itu adalah waktu yang lama. Orang cerdas karena kreatif itu dapat menghasilkan suatu karya terbaik dan maksimal dalam waktu yang singkat. Itulah yang menjadi landasanku. Menurutku ini bukan salah aku yang mengulur-ulur  tugas. Tetapi Bu Andari yang memang memberikan limit waktu yang mengulur. Alasan beliau karena tiga hari yang lalu ia tidak bisa masuk kelas karena ada pelatihan di luar kota. Memang benar, ia tidak masuk saat itu. Sehingga aku dengan nekatnya membuat presentasi sendiri ketika Robert (Asisten Dosen) menggantikan Bu Andari. Menurut Robert, aku itu anak yang aneh. Limit waktu tugas masih lama tetapi nekat ingin mengurangi limit waktunya.
                Teman-temanku kagum atas apa yang aku lakukan tiga hari yang lalu. Mereka bilang aku gila. Harusnya aku bersyukur jika Bu Andari memberikan waktu yang lama untuk menyelesaikan tugasnya itu. Tapi buatku, itu harus dirubah. Malu dengan gelar mahasiswa yang sedari dulu aku impikan. Bahkan Dhika heran dengan sikap aku yang berbeda ketika masa SMA dulu. Dan kembali aku menegaskan perihal prinsip itu.
                Sejujurnya saja, prinsip itu hanya salah satu dari beberapa alasan yang menyebabkan aku bersemangat. Alasan yang lain adalah aku yang mengerjakan tugas  bersama Riza di rumahku. Aku hanya ingin memanfaatkan kesempatan. Terlihat luar biasa di depan lelaki idaman itu asik bukan?
                Setelah semua mata kuliah yang ada di hari ini habis aku jalani, aku menyegerakan pulang bersama Riza. Dia berjanji akan mengunjungi rumahku hari ini. Katanya ia ingin bertemu Ibu. Mungkin kangen. Tapi yang pasti ia datang ke rumahku.
                Malamnya, Dhika datang ke rumahku. Ia membelikanku satu novel teenlit untuk menjadi koleksi bacaanku di malam hari. Selanjutnya, kami mengobrol hingga larut, bahkan hingga Ibu ikut dalam obrolan ini.
“Lu berubah deh sekarang.”
“Berubah gimana?”
“Sekarang tuh lu misterius, Flo.”
“Tumben manggil gue Flo lagi.”
“Gue kangen aja sama panggilan itu. Lagian kenapa lu berubah nama panggilan?”
“Flower itu cerita lama. Untuk cerita baru harus berbeda. Eh eh emang gue berubah gimana?”
“Lu tuh sekarang kalau selesai ngampus langsung ilang, gak tau kemana. Padahal kan gue juga mau ngajak lu jalan gitu, Flo.”
“Gue lagi sibuk sama tugas, Dhik.”
“Bohong ah. Lucy gak begitu.”
“Ya itu kan Lucy.”
“Lu udah punya cowok baru yah ?”
“Engga kok. Tapi gue emang lagi deket juga sama anak Ilkom. Namanya Riza.”
“Kok lu gak pernah ngasih tau gue?”
“Gak mau ah. Nanti aja kalau udah jadi baru gue ngumbar.”
“Lu serius sama dia ?”
“Sepertinya.”
Ibu datang mengantar air minum dan dilanjutkan dengan ikut dalam obrolan ini.
“Flower itu belakangan ini sering banget tuh ngajak Riza ke rumah.”
“Tante kenal?”
“Kenal. Pertama kali dateng kesini pas Flower pulang dari nonton Drift Car. Tante juga kaget, kenapa dia gak pulang sama kamu.”
“Iya tante, tapi bukannya Flower nelpon Tante?”
“Engga.”
“Parah lu, Flo.” Aku hanya tersenyum. “Besok kenalin gue ke Riza. Gue gak mau tau, pokoknya gue mau kenal.”
“Iya iya,Bang.” Aku tertunduk. “Pulang sana Dhika. Udah malem, gue mau tidur.”
“Ya sudah gue pulang yah.”
                Kemudian, suasana menjadi kembali santai. Dhika pulang dan aku langsung masuk ke kamar untuk menyelesaikan beberapa tugas.
                Ketika rumah sepi karena penghuni rumah sudah hampir tertidur semua. Tapi aku masih dengan laptop dan tugasku yang masih belum selesai. Terdengar suara gesekan kaki di depan pintu kamar. Kemudian gagang itu berputar setelah Ibu memanggil namaku.
“Flower. Ibu masuk yah.”
“Iya Ibu.”
                Beliau duduk di sisi tempat tidurku, tepat di sampingku. Menyuruhku berhenti mengetik dan serius berbincang dengannya. Sepertinya ini serius, jantungku mulai memanik.
“Sudah lama kenal Riza?”
“Sejak pertama kali aku dianter dia pulang, Bu.”
“Kamu suka sama dia?”
“Gak tau deh, Bu. Kayaknya sih iya.”
“Dhiko gimana? Dia perhatian banget sama kamu. Kamu gak nanggepin?”
“Gimana ya, Bu. Flower nunggu dia sejak kelas 3 SMA. Dianya masih gak terbuka. Dia pernah bilang sama Flower kalau dia sendiri pun gak mau mendahului takdir. Menurut dia yang namanya pacaran itu nanati setelah nikah. Masalah perasaan, biar dia pendam aja gitu, Bu. Jadi Flower juga bingung.”
“Tapi itu bagus tau, Flo. Artinya memang dia mau sesuatu yang serius.”
“Tapi kan aku juga masih 18 tahun Ibu. Buat yang serius itu masih lama banget. Lagian aku juga punya hasrat mau berpacaran.”
“Kamu gak macem-macem kan?”
“Enggalah. Kan Ibu juga tau.”
“Ya sudah Ibu percaya sama kamu. Tidur, jangan ngerjain tugas mulu. Jaga kesehatan kamu.”
“Siap Bu.”
“Ibu ke kamar yah, ngantuk.”
“Oke Ibu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...