Entah bagaimana pemikirannya. Yang aku tau banyak wanita terpesona dengan kharismanya. Termasuk aku. Yang sampai saat ini masih merasa jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya ketika dia ada di hadapanku. Sampai detik ini, detik dimana aku memikirkan hubungan pertemanan kita, di kampusnya, di meja kantin dekat fakultas bahasa, aku masih bertemu dengan wanita yang memasang muka sinis ketika tau bahwa aku sedang berjalan dengannya, tepatnya sih gebetan mereka. I dont care, mereka tidak tau apa-apa. Hanya melihat sudut pandang yang samar.
"Sudah lama kita gak pernah ketemu."
"Iya yah, sudah berapa tahun yah?"
"Hm..." aku beripikir beberapa detik, "Gak.."
"Beberapa tahun aja kok" katamu.
"Masa? Yang aku ingat terakhir kali kita ketemu pas buka bersama tahun yang lalu."
"Oh iya, ternyata baru Ramadhan tahun kemarin yah kita ketemu."
"Iya, tapi terasa seperti udah lama yah."
"Ibarat orang sedang jatuh cinta, sehari serasa setahun."
"Hah? Apa deh bawa-bawa cinta?"
"Gak dibawa kok. Berat. Biar itu urusan Rangga aja buat bawa-bawa cinta."
"Hih garing deh bercandaan kamu."
"Hah hih hah hih. Segitunya."
"Loh kok kamu ngambek?"
"Dih? Siapa yang ngambek?"
"Kamu lah... jangan ngambek. Jelek. Nanti gak mirip lagi sama Herjunot Ali."
"Haha" kamu tertawa, "masih aja beranggapan aku mirip DJ itu".
"Emang iya. Karena kamu mirip dia, setiap kali aku liat dia di TV pasti aku langsung mengucapkan nama kamu."
"Wah segitunya banget kamu sama aku. Kamu jatuh hati ya sama aku? Sampai-sampai aku selalu terlintas di benak kamu tiap kali liat Junot."
"Emang kamu gak tau?"
"Hah? Pertanyaan kamu itu jawaban loh dari pernyataan aku tentang kamu yang jatuh hati sama aku."
"Hah hoh hah hoh" aku hanya bisa mengucapkan itu.
"Ih apaan sih kamu. Ditanya apa malah jawab apa."
"Hmm..." aku meliriknya, "kamu gak capek? Kita sudah hampir mengelilingi kampus kamu loh".
"Tuh kan makin mengalihkan. Tapi... kalau kamu capek, kita ke kantin yang di sebelah sana yuk. Aku mau beliin kamu ice cream lagi. Seperti terakhir kali kamu kesini dan ketemu aku."
"Tapi aku mau es kelapa juga yah."
"Tenaaang. Spesial buat kamu yang lagi main kembali ke kampus aku. Mana tau kapan lagi kamu kesini. Mungkin ketika kamu kesini, aku udah selesai kuliah disini."
"Ngapain aku kesini kalau kamu juga udah lulus? Aku harus berharap bertemu siapa lagi ketika duduk di koridor depan masjid yang super duper adem?"
"Ciee... jadi setiap kamu duduk disini itu artinya kamu sedang menunggu aku yaa??"
"Salah satunya kamu..." aku gugup,"yaa karena yang aku tau, hanya kamu temanku yang aku tau akan sholat tepat pada waktunya."
"Aku jadi curiga sama kamu. Jangan-jangan kamu memang benar-benar jatuh hati sama aku yah?"
Aku kembali meliriknya, "hmm... kita duduk disini aja. Sana kamu pesanin aku ice cream dan es kelapa!"
"Iya, Nyonya."
Aku tersenyum saat kamu meninggalkanku.
Aku membuka ponselku, kulihat sudah ada sebelas panggilan tak terjawab dari mantanku. Aku mengabaikannya. Aku memilih mematikan ponsel. Aku tidak ingin ada orang lain yang menghalangi usahaku untuk menenangkan diri.
"Ini es kelapanya. Kalau ice creamnya nanti menyusul ketika es kelapa sudah habis."
"Thank you."
"Anytime... by the way, ada apa kamu kesini? Tunggu tunggu... aku tau kamu rindu dengan hempasan angin di masjid itu, tapi apa yang membuat kamu merindukannya? Kamu... sedang butuh ketenangan jiwa kah?"
"Zupeeerrr...." aku menepuk kedua tanganku.
"Jawab, Fay. Bukan cuma tepuk tangan."
"Hmm..." aku menarik nafas panjang, "ya, aku butuh ketenangan. Aku putus dengan mantanku enam bulan yang lalu. Tapi dia tidak terima. Aku yang memutuskannya. Aku sudah menjelaskan alasannya. Tapi dia meminta untuk diberi kesempatan untuk memperbaiki bagian terburuk dari alasanku itu. Aku beri dia dua bulan. Kemudian dia bilang mau menikahiku. Dia bilang langsung di depan orang tuaku. Aku belum menerimanya. Aku kira kedua orang tuaku hanya bercanda tentang syaratnya. Ternyata mereka menuntut syarat itu secara langsung. Dua bulan bukan waktu yang cukup untuk menjadi calon imam yang sempurna. Dia diminta untuk membacakan surat Ar-Rahman minggu depannya. Belum tiba seminggu, Bapak bertemu dengan dia sedang berboncengan dengan wanita dari arah tempat dia bekerja. Wanita itu memeluk erat dia dari belakang. Bapak memintanya berhenti ketika yakin kalau laki-laki itu adalah dia. Bapak meminta penjelasannya. Kata Bapak terlalu berbelit. Akhirnya, Bapak meninggalkan dia bertengkar dengan wanita itu. Malamnya, dia ke rumahku untuk meminta maaf dan berbicara terus terang denganku. Bahwa wanita itu memang sudah lama jatuh hati dengan dia. Dia pun sadar bahwa dia gak bisa menahan imannya. Wanita itu lebih cantik dan lebih semok. Pikirnya, wanita itu hanya untuk dijadikan alat pemuas hasratnya di kantor sebelum dia benar-benar memiliki istri. Jelas. Aku benci dengan yang dia jelaskan. Aku mengusirnya dari pelan sampai kasar sampai akhirnya aku tinggal tidur. Sampai saat ini, dia masih berusaha untuk kembali sama aku. Sampai dua minggu lalu dia nekat ke rumah dan bertemu Bapak Ibu untuk melantunkan syaratnya. Ibu bilang bahwa dia harus memerbaiki beberapa ayat. Sampai detik ini dia belum kembali. Hanya merayuku untuk membatalkan syarat dari Bapak dan Ibu."
"Panjang dan rumit yah."
"Maaf yah aku jadi cerita panjang lebar ke kamu."
"Tapi gimana perasaan kamu sekarang? Udah tenang?"
"Hah?" Aku rada tidak nyambung.
"Iya... perasaan kamu."
"Kayak abis ke toilet setelah nahan berjam-jam."
"Emang kamu belum pernah cerita ke siapapun?"
"Belum. Aku cuma inget masjid itu aja. Dari pada cerita sama temen."
"Eh tapi kok aku jadi tertantang yah buat melantunkan surat Ar-Rahman di depan kedua orang tua kamu?"
"Ih? Kok kamu jadi berpikir gitu?"
"Emang kamu gak mau jadi makmum seorang laki-laki ganteng, pintar dan kharismatik kayak aku?"
"Cuma wanita yang bodoh yang bilang tidak mau" kataku seraya mengaduk-aduk es kelapa di hadapanku.
"Tuh kan? Jadi boleh dong kalau aku mencoba? Toh kamu kan juga... udah jatuh hati sama aku."
"Mau aku jujur gak?"
"Oh ya harus..."
"Tadi waktu kita jalan..."
"Ya... terus"
"Aku kan nanya, 'emang kamu gak tau?'"
"Yaa... lalu?"
"Sejak SMA sampai detik ini, cuma kamu yang masih bisa bikin aku dag dig dug kalau di dekat kamu."
"YEEEESS... terus kenapa kamu gak kayak yg lain? Ngejar-ngejar aku gitu..."
"Ih kamu mah narsis. Makanya aku gak mau."
"Serius?" Kamu terlihat kecewa.
"Gak sih... kamu tau kan, orang baik akan mendapatkan orang yang baik juga. Kamu tuh orang yang baik, aku sejujurnya gak baik tuh."
"Hm... gak tepat. Kalau aku mendapatkan wanita yang baik, dimana pahala buat aku atas tindakanku sebagai imam yang membawa makmumnya ke jalan yang baik?"
"Yaa ada cara lain mungkin."
"Yaaa udah deh... emang salah kalau aku juga pernah jatuh hati sama kamu? Terus aku juga abaikan hal itu karena tiap kali aku mau mencoba jujur, eh kamunya punya pacar. Aku gak pernah pacaran lagi loh. Gimana kalau aku punya alasan bahwa aku memutuskan gak pacaran hanya untuk nunggu kamu kembali ketika kamu jomblo?"
"Emang pada kenyataannya begitu? Bagaimana dengan beberapa nama wanita yang hadir di kehidupan kamu dan aku pun mengetahuinya?"
"Yang kamu tau apa dari mereka? Apa mereka bercerita terus terang ke kamu tentang respon aku?"
"Enggaa.."
"Terus kamu percaya omongan mereka?
"Bukan gak percaya, tepatnya sih gak peduli."
"Tuh kan... gini aja deh. Kamu mau gak menikah sama aku? Kita bikin rumah tangga dimana aku akan jadi imam yang membawa kamu menjadi lebih baik. Dan aku akan menunjukkan niat suci itu dengan memenuhi syarat dari kedua orang tua kamu."
"Tapi... realitanya masih ada orang yang berjuang juga kan selain kamu."
"Biar orang tuamu yang menerima ridho Allah."
Aku tercengang dan makin dilema.
"Thank you."
"Anytime... by the way, ada apa kamu kesini? Tunggu tunggu... aku tau kamu rindu dengan hempasan angin di masjid itu, tapi apa yang membuat kamu merindukannya? Kamu... sedang butuh ketenangan jiwa kah?"
"Zupeeerrr...." aku menepuk kedua tanganku.
"Jawab, Fay. Bukan cuma tepuk tangan."
"Hmm..." aku menarik nafas panjang, "ya, aku butuh ketenangan. Aku putus dengan mantanku enam bulan yang lalu. Tapi dia tidak terima. Aku yang memutuskannya. Aku sudah menjelaskan alasannya. Tapi dia meminta untuk diberi kesempatan untuk memperbaiki bagian terburuk dari alasanku itu. Aku beri dia dua bulan. Kemudian dia bilang mau menikahiku. Dia bilang langsung di depan orang tuaku. Aku belum menerimanya. Aku kira kedua orang tuaku hanya bercanda tentang syaratnya. Ternyata mereka menuntut syarat itu secara langsung. Dua bulan bukan waktu yang cukup untuk menjadi calon imam yang sempurna. Dia diminta untuk membacakan surat Ar-Rahman minggu depannya. Belum tiba seminggu, Bapak bertemu dengan dia sedang berboncengan dengan wanita dari arah tempat dia bekerja. Wanita itu memeluk erat dia dari belakang. Bapak memintanya berhenti ketika yakin kalau laki-laki itu adalah dia. Bapak meminta penjelasannya. Kata Bapak terlalu berbelit. Akhirnya, Bapak meninggalkan dia bertengkar dengan wanita itu. Malamnya, dia ke rumahku untuk meminta maaf dan berbicara terus terang denganku. Bahwa wanita itu memang sudah lama jatuh hati dengan dia. Dia pun sadar bahwa dia gak bisa menahan imannya. Wanita itu lebih cantik dan lebih semok. Pikirnya, wanita itu hanya untuk dijadikan alat pemuas hasratnya di kantor sebelum dia benar-benar memiliki istri. Jelas. Aku benci dengan yang dia jelaskan. Aku mengusirnya dari pelan sampai kasar sampai akhirnya aku tinggal tidur. Sampai saat ini, dia masih berusaha untuk kembali sama aku. Sampai dua minggu lalu dia nekat ke rumah dan bertemu Bapak Ibu untuk melantunkan syaratnya. Ibu bilang bahwa dia harus memerbaiki beberapa ayat. Sampai detik ini dia belum kembali. Hanya merayuku untuk membatalkan syarat dari Bapak dan Ibu."
"Panjang dan rumit yah."
"Maaf yah aku jadi cerita panjang lebar ke kamu."
"Tapi gimana perasaan kamu sekarang? Udah tenang?"
"Hah?" Aku rada tidak nyambung.
"Iya... perasaan kamu."
"Kayak abis ke toilet setelah nahan berjam-jam."
"Emang kamu belum pernah cerita ke siapapun?"
"Belum. Aku cuma inget masjid itu aja. Dari pada cerita sama temen."
"Eh tapi kok aku jadi tertantang yah buat melantunkan surat Ar-Rahman di depan kedua orang tua kamu?"
"Ih? Kok kamu jadi berpikir gitu?"
"Emang kamu gak mau jadi makmum seorang laki-laki ganteng, pintar dan kharismatik kayak aku?"
"Cuma wanita yang bodoh yang bilang tidak mau" kataku seraya mengaduk-aduk es kelapa di hadapanku.
"Tuh kan? Jadi boleh dong kalau aku mencoba? Toh kamu kan juga... udah jatuh hati sama aku."
"Mau aku jujur gak?"
"Oh ya harus..."
"Tadi waktu kita jalan..."
"Ya... terus"
"Aku kan nanya, 'emang kamu gak tau?'"
"Yaa... lalu?"
"Sejak SMA sampai detik ini, cuma kamu yang masih bisa bikin aku dag dig dug kalau di dekat kamu."
"YEEEESS... terus kenapa kamu gak kayak yg lain? Ngejar-ngejar aku gitu..."
"Ih kamu mah narsis. Makanya aku gak mau."
"Serius?" Kamu terlihat kecewa.
"Gak sih... kamu tau kan, orang baik akan mendapatkan orang yang baik juga. Kamu tuh orang yang baik, aku sejujurnya gak baik tuh."
"Hm... gak tepat. Kalau aku mendapatkan wanita yang baik, dimana pahala buat aku atas tindakanku sebagai imam yang membawa makmumnya ke jalan yang baik?"
"Yaa ada cara lain mungkin."
"Yaaa udah deh... emang salah kalau aku juga pernah jatuh hati sama kamu? Terus aku juga abaikan hal itu karena tiap kali aku mau mencoba jujur, eh kamunya punya pacar. Aku gak pernah pacaran lagi loh. Gimana kalau aku punya alasan bahwa aku memutuskan gak pacaran hanya untuk nunggu kamu kembali ketika kamu jomblo?"
"Emang pada kenyataannya begitu? Bagaimana dengan beberapa nama wanita yang hadir di kehidupan kamu dan aku pun mengetahuinya?"
"Yang kamu tau apa dari mereka? Apa mereka bercerita terus terang ke kamu tentang respon aku?"
"Enggaa.."
"Terus kamu percaya omongan mereka?
"Bukan gak percaya, tepatnya sih gak peduli."
"Tuh kan... gini aja deh. Kamu mau gak menikah sama aku? Kita bikin rumah tangga dimana aku akan jadi imam yang membawa kamu menjadi lebih baik. Dan aku akan menunjukkan niat suci itu dengan memenuhi syarat dari kedua orang tua kamu."
"Tapi... realitanya masih ada orang yang berjuang juga kan selain kamu."
"Biar orang tuamu yang menerima ridho Allah."
Aku tercengang dan makin dilema.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar