Ratusan
pasang mata menatapnya. Beberapa cibiran terlontar padanya. Namun, tidak
sedikit pujian tertuju padanya. Entah karena hidungnya yang mancung, kulitnya
yang terlihat bersih sekalipun kecoklatan, atau kharismanya yang sejak awal
masuk SMA sudah terpancarkan. Suasana ramai dengan tepuk tangan terhenti ketika
ia mengucapkan salam. Suaranya yang sedikit ngebass untuk ukuran laki-laki yang
sudah baligh bisa menarik para haters ataupun lovers. Semua kalangan
sepertinya, mulai dari kakak kelasnya, adik sekelasnya, teman seangkatannya,
para guru dan bahkan kepala sekolah yang judesnya minta ampun. Semua
memerhatikannya, kecuali aku.
Bukan
hal yang baru mengaguminya bagiku. Aku mengenalnya lebih dari 4 tahun. Aku tau
sejak dulu masuk SMP kalau bocah gendut berkulit coklat itu memang memiliki kharisma
sebagai seseorang yang dapat menarik perhatian banyak kalangan. Kalimat
hiperbola yang sejak dulu aku buat adalah “mungkin sebagian auranya Bung Karno
dititiskan ke dalam jiwa dia”.Tapi kenapa kali ini aku tidak tercengang seperti
yang lain. Kalau alasannya karena aku sudah lama mengenalnya, ada dari tiga
orang di lapangan ini yang sudah kenal dia lebih lama dari aku. Pertama, teman
sekolah dasarnya yang berpisah saat SMP dan kembali bertemu di SMA, dia cewek.
Kedua, mantan pacarnya yang ternyata sebulan yang lalu kembali mengharapkan
cintanya. Ketiga, dia laki-laki yang menjadi rivalnya sejak masuk SMA.
Cewek
yang sudah mengenalnya lebih dari separuh umur mereka, namanya Mela. Mela
mengaku sudah sekelas dengannya sejak kelas 1 SD dan saat itu dia sangat amat
gendut bahkan tidak ada yang peduli dengan keberadaannya di kelas. Semua anak
SD di kelas hanya memuji anak laki-laki yang selalu menjadi juara kelas selama
6 tahun. Peringkat satu di kelas tidak pernah tergeser, sekalipun dengan
laki-laki yang sedang berdiri di atas podium.
Mantan
pacarnya yang sekitar satu bulan lalu menyapaku dan meminta nomor handphoneku.
Namanya Andine Rahma, atau yang banyak menyapanya “bule”. Rambutnya memang
pirang secara alami, katanya genetik karena kakeknya keturunan Australia.
Hidungnya pun bangir. Rasanya bodoh sekali kalau dia memutuskan Andine secara
cuma-cuma. Usut punya usut, dua hari setelah Andine meminta nomor
handphoneku,Andine memanfaatkanku sebagai wadah untuk kembali bersama dia. Aku
pun tidak begitu saja membantu, aku secara detail menanyakan kisah mereka.
Ternyata saat putus, sekitar semester kedua kelas satu, Andine tertangkap basah
sedang berciuman dengan kakak kelas kami yang saat itu duduk di kelas 12 IPS 3.
Alasan Andine, mereka melakukan hal itu di rumah sang kakak kelas yang memang
sedang modus dengan bule yang masih jadi murid baru di sekolah. Duh… baru juga
masuk SMA, sudah terkena skandal saja. Maka dari itu, dia memilih untuk
menyudahi hubungannya dengan Andine. Tapi bodohnya, Andine justru berpacaran
dengan kakak kelas itu sampai terpisah karena salah satunya harus lulus
sekolah. Mereka cukup mendompang popularitas sebagai hot couple untuk beberapa
bulan di sekolah ini. And… Andine, you bullshit. Aku siswa disini yang bisa
melihat kebenaran. Kebenaran selanjutnya adalah Andine ingin menjalin hubungan
kembali dengannya juga karena ingin kembali lebih populer di sekolah.
Anak
laki-laki yang menjadi rivalnya bernama Dhika, pacarku secara resmi enam bulan
yang lalu. Tepatnya, seminggu setelah dia dan Andine putus.Dhika menjadi
rivalnya jelas bukan karena aku. Dhika sangat terobsesi ada di posisi dia yang
saat ini berdiri di atas podium. Sebagai ketua OSIS. Hal itulah yang membuatku
detik ini tidak bisa menjatuhkan pandangan kepada anak laki-laki yang sedang
memberi sambutan dan ucapan terima kasih di hari pelantikan kami.
Kami,
aku tepatnya hari ini juga dengan hikmat menjalankan pelantikan sebagai
pengurus OSIS. Namun, saat dia sambutan aku jatuhkan pandangan pada Dhika yang
berdiri di barisan laki-laki kelas 11 IPA 2. Wajah Dhika terlihat kesal dan
terlihat seolah dunia sudah tidak adil buat Dhika. Tepatnya, senior OSIS tidak
adil karena memilih dia sebagai calon ketua OSIS sedangkan Dhika digugurkan
dalam seleksi atas permintaan Pembina OSIS karena Dhika akan dicalonkan sebagai
Ketua Permusyawaratan Kelas. Secara organisasi, Majelis Permusyawaratan Kelas
lebih tinggi kedudukannya dengan OSIS. Ibarat dalam kesatuan Negara, OSIS
dengan ketuanya sebagai Presiden, pengurusnya merupakan kabinet kerja, dan
Majelis Permusyawaratan Kelas adalah MPR.
Di
lapangan memang terasa sangat panas dan melelahkan. Bagaimana tidak, biasanya
kita upacara hanya sekitar 30 menit dan ini menjadi 45 menit karena kami
pengurus OSIS baru harus dilantik. Diberi amanat dan lencana sebagai symbol
kalau kami bukan sekedar siswa biasa. Kami harus bisa memberikan perubahan dan
warna baru di sekolah. Rasanya betis lebih kalah sakitnya dari pada pundak. Lebih
parah lagi yang kami rasakan, kami harus memikirkan koreografi yang sudah kami
latih selama satu bulan lebih setelah dia selesai sambutan, kami harus
menampilkan koreografi itu. Sebenarnya ada yang lebih parah buatku, “habis ini
sebelum Bu Neneng masuk kelas, gue harus samperin Dhika dan bikin dia tenang”.
---
“Fay, ini lencana lo. Mau gue
pakein ?”
“Lo tau kan gue harus buru-buru
samperin Dhika dan bikin dunia dia lebih jernih dari beberapa menit yang
lalu.?”
“Fay… kenapa lo masih mau
bertahan sama dia si? Dia orangnya kasar banget. Gue gak mau sahabat gue
disakitin lagi sama dia.”
“Hm… begini ya mas yang baru
dilantik sebagai ketua OSIS,” aku merapihkan dasinya,”gue sama sekali gak ikut
campur urusan lo sama Andine, jadi please kali ini lo juga jangan ikut campur
dulu urusan gue sama Dhika”. Aku pergi meninggalkannya.
“Fay, inget. Ini urusan kita
berempat. Lo, gue, Andine, dan Dhika.”
“Whatever lah…”
---
“Kamu kan tau, Ketua
Permusyawaratan Kelas itu jauh lebih di pandang dari cuma sekedar ketua OSIS.
Kamu jauh lebih bisa ngelakuin banyak hal untuk kelas-kelas. Kamu bisa jauh
lebih explore setiap kemampuan siswa di sekolah ini. Kamu yang lebih tau,
kondisi-kondisi lebih realistis. Kami disana, di ruang bawah tangga itu
mendengar yang ada di sekolah ini dari kamu. Jadi berhenti benci sama dia hanya
karena jabatan. Kamu bukan orang yang gila jabatan kan? Gak ada untungnya kita
berebut kekuasaan di sekolah. Kita semua sama, ujung-ujungnya kita berjuang
dalam hal pelajaran agar bisa lulus dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. Bukan
sekedar bergelut di dunia organisasi, ini salah satu kegiatan ekstra di
sekolah. Bukan hal wajib yang harus jadi pertaruhan.”
Dhika masih terdiam. Untungnya Bu
Neneng belum masuk kelas dan aku masih dalam waktu dispensasi sebagai pengurus
OSIS yang baru.
“Dhik, bukankah lebih beruntung
kamu yang cukup memikirkan diri sendiri untuk lulus dan bisa masuk perguruan
tinggi yang memang kamu impikan. Selagi kamu belum berpredikat sebagai Ketua
Permusyawaratan. Saatnya memupuk diri terlebih dahulu dengan ilmu duniawi yang
setidaknya bisa membantu kamu untuk menjelajahi dunia luar. Ingat kenapa aku
kagum sama kamu? Karena kamu punya mimpi besar sekolah di Jerman dan punya
tekat sama keyakinan yang luar biasa. Tapi liat sekarang, Frau Farida malah
minta tolong aku buat ajarin kamu Bahasa Jerman. Kamu…”
“Fay!!!” Dia teriak dari lantai
satu.
Mataku terpejam sedetik,”aku
harus kembali kesana”.
“Silahkan…” kata Dhika. Wajahku
heran, setelah bicara panjang lebar, dia hanya menjawab seperti itu. “Nanti aku
pikirin lagi omongan kamu, kalau kamu masih mikirin aku juga” lanjutnya. Aku
menggelengkan kepalaku . Semua yang ada dalam hati dan pikirannya memang keras.
---
“Aku harus istirahat dan makan di
ruang OSIS, ada berkas OSIS tahun lalu yang mau diserah terima. Ini bekal kamu,
maaf kita gak bisa makan bareng hari ini. Nanti kita ketemu lagi pas istirahat
kedua.
Dia ambil kotak
nasi itu dengan muka datar tanpa ekspresi. Setidaknya, hari ini aku tidak
menerima genggaman tangannya yang menyakitkan. Aku tersenyum meninggalkannya.
Lalu ia masuk kembali ke kelas bersama teman yang lainnya.
Dhika memang
keras. Dhika pun kasar. Kalau di luar lingkup sekolah kemudian kami bertengkar,
dia berani membentakku bahkan sampai aku menangis. Dia pernah menggenggam
tanganku dengan begitu keras dan memakiku seolah aku orang yang selalu berbuat
salah di hadapannya. Dhika tidak pernah mau kalah dalam adu pendapat, dia
merasa dirinya paling benar. Dhika tidak suka melihat ada sedikitpun cacat
dalam tugasnya, penampilannya, bahkan segala hal yang sudah dia rencanakan memang
harus itu yang dijalankan dan itu yang harus terjadi. Disisi lain, hal yang
tidak baik itu bisa terlihat baik ketika Dhika begitu perfeksionis merancang
dan menjalankan tahapan dalam hidupnya sejak SMA hanya untuk menggapai
impiannya kuliah di Jerman. Hal itu lah yang membuatku kagum.
Kata orang, rasa
kagum itu berbeda dengan rasa sayang atau istilah jatuh cinta. Tapi percayalah,
bukan karena aku kagum lalu aku bertahan selama enam bulan. Dhika orang yang
sangat romantis dalam kategori perfeksionis. Dia suka melihatku yang memang
memiliki sifat fokus dan terstruktur. Dan dengan cara romantisnya enam bulan
lalu, dia mengajakku untuk menyatukan karakter kita agar visi aku ataupun Dhika
bisa terwujud. Kadang suka tidak percaya, kita berdua belum genap 17 tahun,
tapi kenapa kita merasa apa yang kita lakukan adalah hal yang orang dewasa
lakukan. Dengan begitulah, aku rasa aku menginginkannya lebih lama dari enam
bulan. Begitupun yang ia katakan di depan Mama dan Papa.
Kutipan dari
film Twilight Saga yang ketiga, Jessica sempat melontarkan kalimat saat pidato
kelulusan mereka. Saat lulus dari SMA, itu bukan waktu menentukan pilihan, itu
waktunya mengambil berbagai macam kesalahan hingga terjatuh untuk kembali
bangkit lagi menggapai tahap selanjutnya. Tapi dengan realita yang aku jalani
sekarang dengan Dhika, sepertinya kita sudah melalui masa itu beberapa tahun
lalu. Jauh lebih cepat dari yang dikatakan Jessica. Atau mungkin, dibalik
pemikiran yang matang antara aku dan Dhika, disitulah kesalahan yang kami buat
sehingga suatu saat nanti kita akan terjatuh untuk bangkit lagi.
Bersambung ...
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar