Sabtu, 22 April 2017

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part II


                Setahun berlalu dengan banyak perseteruan dan kebahagiaan yang tidak akan pernah terasa dua kali. Aku menangis di barisan paling belakang saat aku harus menjalankan pelantikan pengurus baru dan melepaskan lencana yang selalu tersemat di dada.
                Rasanya baru kemarin aku menasehati Dhika agar tidak perlu lagi memupuk amarah ke dia hanya karena jabatan. Rasanya baru kemarin ditatar sama senior yang kejamnya minta ampun. Rasanya baru kemarin berdebat dengan kepala sekolah dan ketua-ketua kelas atas program-program baru yang sudah kami buat. Rasanya baru kemarin, Dhika mencela ideku untuk acara Pensi sekolah. Rasanya baru kemarin berlari-lari di lapangan selepas pulang sekolah. Rasanya baru kemarin.
“Udah jangan nangis! Nanti kita bertemu lagi di presma. Kita sama-sama lagi bikin program dan adu bacot dengan petinggi-petinggi kampus. Udah, Fay!” kata dia menenangkan aku setelah selesai pelantikan.
“Kenapa selalu seperti ini rasanya perpisahan? Saat kita udah nyaman dengan kondisi yang kita bangun, kebersamaan yang tumbuh setelah pergunjingan sana-sini. Aku gak suka perpisahan.” Aku menangis di pundaknya. Terasa perih saat jatuh. Sangat sakit untuk berpikir memulai hal yang baru. Dulu aku bilang ke Dhika, bahwa lebih menyenangkan jadi siswa biasa yang hanya memikirkan diri sendiri dan impian sendiri untuk bisa diwujudkan. Tapi hari ini aku tau, tidak ada baiknya jika hanya sendiri, karena bersama semua terasa lebih ringan dan menyenangkan.
“Nanti pulang gue traktir mocha float di KFC. Kita ngobrol lagi kayak dulu pernah kita lakuin.”
“Kapan emang kita pernah ngobrol? Kita gak pernah ngobrol. Lo sama gue ada di sisi yang berbeda. Selalu seperti itu.”
“Setahun ini kita seperti itu demi Dhika, sekarang kita bisa bersama walaupun gak berarti bersama-sama.”
---
“Nih mocha floatnya! Pegang! Disiini terlalu rame. Kita muter-muter dulu abis itu kita balik ke sekolah setelah sepi.”
“Sekolah lagi? Ngapain?”
“Gitaran di atas jam 5.” Dia tersenyum dan itu memang bisa menenangkan.
Di motor kami tidak saling bicara. Aku bukan tipikal orang yang suka mengobrol di atas motor. Hal itu bisa membuat aku seolah orang yang tuli. Aku tidak suka ketika berbicara ada suara bising di sekitar. Dia tau itu, jadi dia tidak memulai pembicaraan.
                Kami sempat dua kali mengelilingi blok yang sama di komplek dekat sekolah. Hanya membuang bensin di motornya. Tidak jelas, tapi kami hanya ingin menghabiskan setengah jam sebelum kembali ke sekolah. Sepanjang waktu, aku hanya memikirkan masa-masa indah saat menjadi OSIS dan masa-masa menyebalkan ketika aku harus menyejajarkan Dhika dan organisasi. Terlihat tidak sebanding buat orang lain, tapi sebanding menurutku.
                Sampai akhir jabatanku menjadi pengurus OSIS, Dhika tidak jadi Ketua Permusyawaratan Sekolah. Aku cukup senang Dhika mendengar omonganku, Dhika memilih menjadi siswa biasa dan kembali menekuni bahasa bahkan kebudayaan Jerman. Namun, Dhika masih tidak berhenti membenci dia. Beberapa bulan ini aku memikirkan kembali poin tersebut. Adalah hal yang sepele seseorang bermusuhan dalam setahun hanya karena jabatan. Adakah hal lain seperti obsesi yang muncul karena penekanan beberapa pihak sampai Dhika seperti itu? Ataukah ada reward yang gagal Dhika dapatkan jika Dhika tidak menjadi ketua OSIS? Pemikiran tersebutlah yang membuatku brutal dua bulan ini. Terlebih, aku harus menghadapi calon pengurus yang menjadi cobaan luar biasa tahun ini.
“Sampai…” kami memarkirkan motor di dekat bale. Karena ini sudah bukan jam sekolah, kami bebas memanfaatkan sudut ruang sekolah ini selagi bukan hal negatif. “Duduk di bale dulu Fay, nanti ada Jossi dan Mela yang join sama kita. Biar kita gak jadi fitnah, tadi gue ajak mereka duduk bareng. Gue mau cari Bang Udin, minjem gitarnya.”
Aku mengangguk. Tidak lama kemudian Jossi dan Mela, si kembar beda orang tua ini datang dengan satu kantong cemilan dan minuman yang mereka beli di supermarket depan sekolah.
“Jadi, ada apa ya kita dipanggil kesini?” kata Jossi.
“Kan lo tau, Joss, dia selalu punya hal yang gak pernah kita pikirin sebelumnya” jawab Mela.
“Ih kebiasaan deh lo, Yossi, jangan Jos. Aneh tau jadinya.”
Mela membalasnya dengan menjulurkan lidah kemudian tertawa. “Tapi yang gue tau pasti, Fay lagi dalam masalah nih.”
“Iya, Fay, Dhika jangan digalauin deh. Liat tuh dia sama Andine aja putus biasa-biasa aja.”
“Ya tapikan, kisah dua pasangan ini berbeda,Yos. Kalau Andine sih jelas-jelas selingkuh lagi yang kita udah tau hal yang wajar hubungan antar remaja. Kalau Dhika sama Fay itu udah pake kekerasan.”
“Hush…” Jossi melarang Mela melanjutkan omongannya.
“Kita melihatnya kekerasan yang dilakuin Dhika, tapi bagi Dhika kan itu sebuah statement kalau dia itu benar.” Dia menyela perbincangan kami.
“Dia bukan benar, dia perfeksionis.” Aku membuka suara.
“Tapi Dhika udah direhab kan, Fay?” Dia melanjutkan perbincangan. Aku anggap itu sebagai pembuka.
“Iya, akhirnya Dhika direhab. Gue bilang ke orang tua gue untuk gak perlu lanjutin ke kasus hukum.” Aku kembali menangis.
“Akhirnya kamu tau Dhika seperti itu karena apa ? Keturunankah ?”Dia melanjutkaan pertanyaannya.
“Kalau Fay bilang Dhika perfeksionis, jelas itu bukan keturunan. Itu memang watak dia yang entah waktu kecil Dhika liat dari siapa jadi seperti itu. Ditambah lagi dia juga gak bisa kendalikan diri jadinya kekerasan deh” jelas Jossi.
“Karena dia terobsesi juga kali di posisi kamu.” Aku menunjuk ke dia.
“Gue ?”
“Wait… waktu itu dia pernah kasih tau ke gue kalau ayahnya memang aktif di organisasi dan memang mengetuai juga. Udah dari lama. Mungkin nilai perfeksionis bagi dia dilihat dari situ, jadi Dhika terobsesi” sela Mela.
“Tapi gue gak pernah tau itu.” Kataku dengan suara kecil.
“Udah udah… setidaknya kita udah tau Dhika seperti apa. Terutama kamu, Fay, udah gue bilang kan untuk gausah lanjutin hubungan kalian. Gak baik.”
Sambil memandang aku dan dia sepertinya ada yang dipikirkan Mela, “Sebagai biang gossip yang cukup lihai di sekolah, ada sesuatu di pikiran gue. Sebentar…”\
“Lo kenapa sih, Mel ?”
“Fay, kenapa lo bantu dia balikan sama Andine sedangkan lo tau Andine kayak gimana? Gue tau lo gak lagi disogok sm si bule itu, jadi coba ceritakan!”
“Wah wah wah kok beralih ke gue? Udah ah, kita makan aja cemilannya dan gitaran. Gue akan mengiringi suasana sore ini dengan petikan gitar. Buat kamu, Fay, Laguku.”
“You know me so well.” Aku tersenyum dia akan memainkan lagu favoritku sejak SMP.
“Tunggu dulu, bigos mau serius. Lo jawab Fay pertanyaan gue tadi!”
“Gue bikin mereka balikan karena memang mereka berdua mau.”
“Lo kan orangnya cukup baperan ya, Fay. Apa lo ga pernah terbesit gitu biar lo aja yang jadian sama dia ?” Pertanyaan Jossie yang membuat aku dan dia tak berkutik.
“What the ?” Aku dan dia saling bertatapan seolah sedang ada di meja hijau.
                Tidak semua kisah persahabatan berakhir dengan cinta. Walaupun cinta yang dimulai dengan persahabatan akan berakhir indah jika berhasil saling jujur. Setidaknya itu yang aku tangkap dari drama seri Cinta dan Rahasia di NET. Tapi, itu dia, berani saling jujur, jujur sama diri sendiri maupun ke lawan jenis.

                Namun balik lagi, tidak semua kisah persahabatan berakhir dengan cinta. Ada kalanya persahabatan yang murni memang tidak akan berakhir dengan cinta. Mereka akan tetap bersama, saling mendukung satu sama lain dalam segala hal. Bahkan dalam hal percintaan sahabatnya. Sahabat yang benar-benar bersahabat berani menampar sahabatnya agar segera sadar jika pilihannya salah. Sahabat yang benar-benar bersahabat akan berbuat apa saja agar merubah mindset sahabatnya yang salah menilai hal paling tepat dalam hidup sahabatnya. Sahabat yang benar-benar sahabat tau berjuta cara agar tidak menyakiti sahabatnya. Sahabat yang benar-benar sahabat bisa mematahkan cinta demi mempertahankan persahabatan. Itu semua kami lakukan bersama, aku dan dia.



Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...