Read Part I -> Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part I
Setahun
berlalu dengan banyak perseteruan dan kebahagiaan yang tidak akan pernah terasa
dua kali. Aku menangis di barisan paling belakang saat aku harus menjalankan
pelantikan pengurus baru dan melepaskan lencana yang selalu tersemat di dada.
Rasanya
baru kemarin aku menasehati Dhika agar tidak perlu lagi memupuk amarah ke dia
hanya karena jabatan. Rasanya baru kemarin ditatar sama senior yang kejamnya
minta ampun. Rasanya baru kemarin berdebat dengan kepala sekolah dan
ketua-ketua kelas atas program-program baru yang sudah kami buat. Rasanya baru
kemarin, Dhika mencela ideku untuk acara Pensi sekolah. Rasanya baru kemarin
berlari-lari di lapangan selepas pulang sekolah. Rasanya baru kemarin.
“Udah jangan nangis! Nanti kita
bertemu lagi di presma. Kita sama-sama lagi bikin program dan adu bacot dengan
petinggi-petinggi kampus. Udah, Fay!” kata dia menenangkan aku setelah selesai
pelantikan.
“Kenapa selalu seperti ini
rasanya perpisahan? Saat kita udah nyaman dengan kondisi yang kita bangun,
kebersamaan yang tumbuh setelah pergunjingan sana-sini. Aku gak suka
perpisahan.” Aku menangis di pundaknya. Terasa perih saat jatuh. Sangat sakit
untuk berpikir memulai hal yang baru. Dulu aku bilang ke Dhika, bahwa lebih
menyenangkan jadi siswa biasa yang hanya memikirkan diri sendiri dan impian
sendiri untuk bisa diwujudkan. Tapi hari ini aku tau, tidak ada baiknya jika
hanya sendiri, karena bersama semua terasa lebih ringan dan menyenangkan.
“Nanti pulang gue traktir mocha
float di KFC. Kita ngobrol lagi kayak dulu pernah kita lakuin.”
“Kapan emang kita pernah ngobrol?
Kita gak pernah ngobrol. Lo sama gue ada di sisi yang berbeda. Selalu seperti
itu.”
“Setahun ini kita seperti itu
demi Dhika, sekarang kita bisa bersama walaupun gak berarti bersama-sama.”
---
“Nih mocha floatnya! Pegang!
Disiini terlalu rame. Kita muter-muter dulu abis itu kita balik ke sekolah
setelah sepi.”
“Sekolah lagi? Ngapain?”
“Gitaran di atas jam 5.” Dia
tersenyum dan itu memang bisa menenangkan.
Di motor kami
tidak saling bicara. Aku bukan tipikal orang yang suka mengobrol di atas motor.
Hal itu bisa membuat aku seolah orang yang tuli. Aku tidak suka ketika
berbicara ada suara bising di sekitar. Dia tau itu, jadi dia tidak memulai
pembicaraan.
Kami
sempat dua kali mengelilingi blok yang sama di komplek dekat sekolah. Hanya
membuang bensin di motornya. Tidak jelas, tapi kami hanya ingin menghabiskan
setengah jam sebelum kembali ke sekolah. Sepanjang waktu, aku hanya memikirkan
masa-masa indah saat menjadi OSIS dan masa-masa menyebalkan ketika aku harus
menyejajarkan Dhika dan organisasi. Terlihat tidak sebanding buat orang lain,
tapi sebanding menurutku.
Sampai
akhir jabatanku menjadi pengurus OSIS, Dhika tidak jadi Ketua Permusyawaratan
Sekolah. Aku cukup senang Dhika mendengar omonganku, Dhika memilih menjadi
siswa biasa dan kembali menekuni bahasa bahkan kebudayaan Jerman. Namun, Dhika
masih tidak berhenti membenci dia. Beberapa bulan ini aku memikirkan kembali
poin tersebut. Adalah hal yang sepele seseorang bermusuhan dalam setahun hanya
karena jabatan. Adakah hal lain seperti obsesi yang muncul karena penekanan
beberapa pihak sampai Dhika seperti itu? Ataukah ada reward yang gagal Dhika
dapatkan jika Dhika tidak menjadi ketua OSIS? Pemikiran tersebutlah yang
membuatku brutal dua bulan ini. Terlebih, aku harus menghadapi calon pengurus
yang menjadi cobaan luar biasa tahun ini.
“Sampai…” kami memarkirkan motor
di dekat bale. Karena ini sudah bukan jam sekolah, kami bebas memanfaatkan
sudut ruang sekolah ini selagi bukan hal negatif. “Duduk di bale dulu Fay,
nanti ada Jossi dan Mela yang join sama kita. Biar kita gak jadi fitnah, tadi
gue ajak mereka duduk bareng. Gue mau cari Bang Udin, minjem gitarnya.”
Aku mengangguk. Tidak lama
kemudian Jossi dan Mela, si kembar beda orang tua ini datang dengan satu
kantong cemilan dan minuman yang mereka beli di supermarket depan sekolah.
“Jadi, ada apa ya kita dipanggil
kesini?” kata Jossi.
“Kan lo tau, Joss, dia selalu
punya hal yang gak pernah kita pikirin sebelumnya” jawab Mela.
“Ih kebiasaan deh lo, Yossi,
jangan Jos. Aneh tau jadinya.”
Mela membalasnya dengan
menjulurkan lidah kemudian tertawa. “Tapi yang gue tau pasti, Fay lagi dalam
masalah nih.”
“Iya, Fay, Dhika jangan digalauin
deh. Liat tuh dia sama Andine aja putus biasa-biasa aja.”
“Ya tapikan, kisah dua pasangan
ini berbeda,Yos. Kalau Andine sih jelas-jelas selingkuh lagi yang kita udah tau
hal yang wajar hubungan antar remaja. Kalau Dhika sama Fay itu udah pake
kekerasan.”
“Hush…” Jossi melarang Mela
melanjutkan omongannya.
“Kita melihatnya kekerasan yang
dilakuin Dhika, tapi bagi Dhika kan itu sebuah statement kalau dia itu benar.”
Dia menyela perbincangan kami.
“Dia bukan benar, dia
perfeksionis.” Aku membuka suara.
“Tapi Dhika udah direhab kan,
Fay?” Dia melanjutkan perbincangan. Aku anggap itu sebagai pembuka.
“Iya, akhirnya Dhika direhab. Gue
bilang ke orang tua gue untuk gak perlu lanjutin ke kasus hukum.” Aku kembali
menangis.
“Akhirnya kamu tau Dhika seperti
itu karena apa ? Keturunankah ?”Dia melanjutkaan pertanyaannya.
“Kalau Fay bilang Dhika
perfeksionis, jelas itu bukan keturunan. Itu memang watak dia yang entah waktu
kecil Dhika liat dari siapa jadi seperti itu. Ditambah lagi dia juga gak bisa
kendalikan diri jadinya kekerasan deh” jelas Jossi.
“Karena dia terobsesi juga kali
di posisi kamu.” Aku menunjuk ke dia.
“Gue ?”
“Wait… waktu itu dia pernah kasih
tau ke gue kalau ayahnya memang aktif di organisasi dan memang mengetuai juga.
Udah dari lama. Mungkin nilai perfeksionis bagi dia dilihat dari situ, jadi
Dhika terobsesi” sela Mela.
“Tapi gue gak pernah tau itu.”
Kataku dengan suara kecil.
“Udah udah… setidaknya kita udah
tau Dhika seperti apa. Terutama kamu, Fay, udah gue bilang kan untuk gausah
lanjutin hubungan kalian. Gak baik.”
Sambil memandang aku dan dia sepertinya
ada yang dipikirkan Mela, “Sebagai biang gossip yang cukup lihai di sekolah,
ada sesuatu di pikiran gue. Sebentar…”\
“Lo kenapa sih, Mel ?”
“Fay, kenapa lo bantu dia balikan
sama Andine sedangkan lo tau Andine kayak gimana? Gue tau lo gak lagi disogok
sm si bule itu, jadi coba ceritakan!”
“Wah wah wah kok beralih ke gue?
Udah ah, kita makan aja cemilannya dan gitaran. Gue akan mengiringi suasana
sore ini dengan petikan gitar. Buat kamu, Fay, Laguku.”
“You know me so well.” Aku
tersenyum dia akan memainkan lagu favoritku sejak SMP.
“Tunggu dulu, bigos mau serius.
Lo jawab Fay pertanyaan gue tadi!”
“Gue bikin mereka balikan karena
memang mereka berdua mau.”
“Lo kan orangnya cukup baperan
ya, Fay. Apa lo ga pernah terbesit gitu biar lo aja yang jadian sama dia ?”
Pertanyaan Jossie yang membuat aku dan dia tak berkutik.
“What the ?” Aku dan dia saling
bertatapan seolah sedang ada di meja hijau.
Tidak
semua kisah persahabatan berakhir dengan cinta. Walaupun cinta yang dimulai
dengan persahabatan akan berakhir indah jika berhasil saling jujur. Setidaknya
itu yang aku tangkap dari drama seri Cinta dan Rahasia di NET. Tapi, itu dia,
berani saling jujur, jujur sama diri sendiri maupun ke lawan jenis.
Namun
balik lagi, tidak semua kisah persahabatan berakhir dengan cinta. Ada kalanya
persahabatan yang murni memang tidak akan berakhir dengan cinta. Mereka akan
tetap bersama, saling mendukung satu sama lain dalam segala hal. Bahkan dalam
hal percintaan sahabatnya. Sahabat yang benar-benar bersahabat berani menampar
sahabatnya agar segera sadar jika pilihannya salah. Sahabat yang benar-benar
bersahabat akan berbuat apa saja agar merubah mindset sahabatnya yang salah
menilai hal paling tepat dalam hidup sahabatnya. Sahabat yang benar-benar
sahabat tau berjuta cara agar tidak menyakiti sahabatnya. Sahabat yang
benar-benar sahabat bisa mematahkan cinta demi mempertahankan persahabatan. Itu
semua kami lakukan bersama, aku dan dia.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar