Sabtu, 08 September 2012

LUKA SANG BUNGA part VII

                  Aku memang menginginkan hal ini sejak aku dinyatakan lulus SMA. Suatu hal yang menjadi bagian Planning Hidup. Semua orang ingin mendapatkan kesempatan emas ini. Tidak hanya lima atau sepuluh orang yang berjuang mendapatkan kesempatan ini. Kesempatan yang memiliki peluang satu berbanding seratus lima puluh. Oleh sebab itu, malam ini aku bersiap-siap untuk menjalani kesempatan sulit itu.
                Ku mulai mengambil benda kesayanganku itu. Ku coba hubungi satu nomor yang menjadi andalanku ketika aku merasakan dilema. Terasa hening, hanya terdengar hembusan angin malam yang bertiup menyentuh setiap helai rambutku yang tak terbalut kain. Tangan kiriku menopang dagu, sedangkan yang kanan menahan telepon genggam di telinga.
“Ayo dong angkat.” Tidak ada tanggapan. Hanya suara deringan yang terdengar dalam spaker handphone.
“Silahkan tinggalkan pesan anda setelah bunyi ‘beep’”
“Gue cuma mau minta maaf. Udah dua minggu gue gak pernah hubungin elu, bahkan gue gak mau ketemu sama elu. Gue hanya merasa resah, bimbang, bingung” terdiam sejenak, “ gue cuma berharap lu nelpon gue setelah lu denger pesan ini” dan panggilan itu berakhir.
                Waktu terus berjalan, ia tak memperdulikan aku yang memberontak meminta waktu kembali menuju dua bulan yang lalu. Detik demi detik itu kini semakin mengejarku dalam suatu keputusan yang mengharuskanku menjawab. Terus berharap dan mengharapkan sesuatu dapat menolongku malam ini. Sekalipun yang menolongku adalah Riza.
                Angin semakin kencang, merasuk dan menusuk seluruh persendianku. Aku tak kuat lagi. Aku harus mengistirahatkan diri. Dari sebuah alas yang lembut dan dingin aku terbaring. Berkali-kali aku menengok pada layar putih berlatarkan foto dua insan manusia yang sudah tiga tahun bersama. Tak ada perkembangan. Hingga aku terlelap.
                Lelahku menanti sebuah solusi membuatku nyaman hingga pagi. Adzan subuh yang membangunkan kegelisahan tidurku memang sangat mahir. Ku segerakan menuju kamar mandi membersihkan diri dan mengambil air suci untuk sujudku pagi ini. Mungkin memang hanya Tuhan yang mampu memberikanku solusi yang sejak kemarin aku inginkan.
                Berbekalkan rasa gelisah, kecewa dan keputus asaan aku berangkat menuju negeri yang jauh. Menuntut ilmu dalam program pertukaran pelajar dari kampus impian. Sampai detik ini, sampai aku berada di lobby bandara. Tak ada satu pun dari mereka menemuiku untuk mengucapkan ‘Selamat Berjuang’. Yang terlihat hanya dua pejuang dalam hidupku yang menangis karena bangga. Ya hanya demi mereka aku pergi, melihat air mata kebanggaan mereka atas anaknya.
“Bu, doain Flower yah.”
“Iya, sayaang. Hati-hati ya kamu disana.”
“Kalau kurang apa-apa, bilang ke Ayah. Nanti Ayah bantu.”
“Iya, Ayah. Iya , Ibu.” Aku mencium tangannya yang memiliki harum yang khas. Lalu aku pergi dengan air mata yang memberontak.
Ya Tuhan, maafkan hamba yang belum bisa meminta maaf kepada teman-teman hamba. Hingga kini tak ada satu pun dari mereka yang datang. Aku merindukan mereka, Tuhan.
***
                Sepuluh jam aku berada di benda besar dan berat namun dapat melayang. Badan yang terasa pegal dan tidak adanya stamina tubuh mulai ku rasakan. Setelah pramugari cantik itu menyampaikan beberapa informasi, aku segera turun dari pesawat. Aku bersama seorang temanku mulai menuju ke lobby bandara internasional. Aku merasa canggung karena aku belum mengenalnya. Tapi aku harus bersikap baik padanya agar aku dapat dengan sejahtera bersamanya disini.
“Ehem… sorry tadi nama lu siapa deh?”
“Gue Albert.”
“Oh iya Albert, sorry gue lupa. Eh kita nginep dimana deh? Lu pegang kan catetannya?”
“Iya,” Albert mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, “nih!” memberikan kertas itu padaku.
“Kalau gitu, kita langsung cari taksi dan tanya alamat ini yah.”
“Iya.” Dan kami bergegas pergi ke luar bandara untuk mencari taksi.

“Welcome to England, Mr and Miss?” nadanya bertanya.
“Ehm, Mr. Albert and me Miss Debby.”
“Where your destination?”
“We want to go there,” menunjukan kertas alamat itu.
“Ok.”

                Aku memang kurang mahir dalam Bahasa Inggris. Oleh karena itu, ketika aku memilih kuliah, aku mengubah mainsetku yang sebelumnya mengarah ke Bahasa Inggris. Kami menikmati perjalanan menuju tempat singgah sementara kami. Seperti biasanya, aku senang melihat keadaan sekitar yang belum pernah aku lewati. Pandanganku tak lepas dari tatapan ke luar jendela mobil. Aku melihat bangunan-bangunan yang sebelumnya hanya dapat aku lihat di internet. Disini aku mulai merasakan nyaman, bahagia, tak terfikirkan apapun yang telah aku tinggalkan. Albert, ia asik berbincang dengan supir taksi ini. Memang sepertinya dia pun mahir berbahasa Inggris. Maka dari itu, aku biarkan ia yang berbincang-bincang dengan supir taksi ini.

“Hey! Sudah sampai” ucap Albert seraya menepak pundakku.
“Hah? Udah sampai toh. Ayok turun.”
                Lalu kami memasuki asrama yang memang dikhususkan untuk mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti program pertukaran pelajar. Asrama ini hanya ada dua gedung. Gedung pertama untuk kamar putri, berwarna coklat dan berbentuk letter I. Sedangkan yang satunya lagi untuk putra, berwarna merah bata dan berbentuk letter L. Setelah menurunkan barang-barang dari bagasi, kami langsung berpisah dan masuk ke dalam asrama masing-masing.
                Setelah aku berada dalam asrama ini, aku mulai merasakan seperti berada di Hotel Berbintang di Jakarta. Terlihat bagus dan sepertinya pelayanannya pun tidak seperti asrama yang selama ini aku kenal. Aku disambut baik dengan pengurus asrama. Aku memperkenalkan diriku dengan berbahasa Inggris yang apa adanya. Dan ia memberiku satu kamar yang berada di lantai dua. Seorang pekerja membantuku membawa perlengkapanku menuju kamar. Ketika sampai di depan kamar, aku bertemu seorang perempuan berwajah oriental. Yakin sekali aku dapat akrab dengannya. Ternyata ia memang sangat ramah. Ia membantuku pula merapihkan barang-barangku di kamar. Padahal kita belum saling kenal.
“Thank you, beauty. What’s your name?”
“Tidak perlu kamu memakai bahasa Inggris, aku bisa kok berbahasa Indonesia.”
“Really?”
“Iya. Namaku Evelyn. Aku dari Filiphina. Tapi aku pernah tinggal di Lampung selama dua tahun. Jadi aku bisalah berbahasa Indonesia.”
“Wah bagus deh kalau begitu, jadi aku pun tidak kesusahan disini. Jujur saja aku tidak mahir berbahasa Inggris” aku tertawa kecil mencairkan suasana,”oh iya, aku Debby. Dari Indonesia. Oh iya kenapa kamu tau yah aku dari Indonesia?”
“I see your face and your lips when you spoke with Mrs. Sabline.”
“Ohh. Oke deh, aku mau mandi dulu dan merapihkan semua barang-barangku ini. Dan sepertinya aku juga ingin istirahat.”
“Baiklah, terlihat dari wajah kamu, masih terlihat lelah. Aku tinggal yah. See you tonight.”
“Hem? Memangnya ada apa malam ini?”
“As usual, we always dinner together.”
“Oh, nice. See you tonight.” Dan ia pergi dari kamarku ini, lalu aku melanjutkan kegiatanku. Aku mandi, merapihkan bajuku dan bersiap untuk makan malam.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...