Via
Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan siap
test drive bersama SIM A barunya.
Jumat
malam kami berangkat berdua dengan mobil yang masih mulus. Suasana terasa
hening sekali dan angin dingin menunjukkan kenapa kaca mobil berembun. Lantunan
lagu EDM menemani perjalanan kami. Meskipun suasana hati sedang sendu, tapi
mobil ini terasa mengajak kami berjoget. Jalanan pun lancar jaya, mungkin
karena sudah malam. Kami tidak banyak mengobrol di mobil. Bukan, bukan karena alasan
seperti dulu di motor. Tetapi memang karena aku malas ngomong.
Dia
sangat mengerti perasaanku. Maka dari itu, walaupun dia hobby bercanda garing
seperti memuji diri sendiri, kali ini dia diam saja. Dia memancing mood baikku
dengan lagu EDM. Dia akhirnya tau kalau belakangan ini aku suka dengan musik
EDM. Setelah jari jemariku mulai bergoyang, dia baru membuka suara.
“Gue balikan sama Andine.”
“Hah ? Lo gila ? Lo cinta mati
gitu sama bule ?”
“Gue selalu menemukan alasan
kenapa gue harus maafin dia.”
“Oke. Kalau gitu lo juga bisa
mengerti dong kenapa gue memilih bertahan sama Wahyu padahal dua jam yang lalu
gue nangisin dia karena gue tau dia jalan sama sahabat gue sendiri ?”
“Agnes Monica bener, Fay. Cinta
kadang tak ada logika.”
Aku
menggelengkan kepalaku dan sangat amat tidak percaya kalau hal ini terjadi
lagi.
“Gue kira kalian udah lost
contact.”
“Iya, dia baru datang lagi,Fay.
Sebenarnya dia berkali-kali datang setelah lulus SMA. Dia kan belum dapat
universitas, dia sempat meminta tolong gue untuk nemenin dia daftar di swasta”
“Dan lo nemenin?” aku menyela.
“Iya. Kita sempat jalan. Bahkan
makan dan nonton. Sampai rumah dia pun gue sempet cium keningnya. Terjadi gitu
aja.”
“Setelah itu?”
“Setelah itu gue tau kalau dia
cuma jadiin gue pelarian. Dia punya pacar sebenernya, calon pilot. Ya tapi
karena si calon pilot jarang pulang, dia butuh kasih sayang.”
“Gue udah berkali-kali jatuh dan
bangun lagi dengan orang yang berbeda. Tapi lo, jatuh dan bangun di tempat yang
sama.”
“Itu yang gue bilang, Fay. Gue
punya alasan kenapa gue masih mau maafin dia.”
“Ah pasti alas an klasik yang lo
bilang sayang.”
“Hm… Terus sepulang dari Singapore,
dia hubungi gue lagi. Dia cerita kalau udah ga jadi sama si calon pilot karena
dia gak mau LDR-an. Dia meminta gue balik.”
“Trus?”
“Gue cuma balas dengan ciuman,
Fay.”
“So… kalian resmi balikan ? Trus
ngapain sekarang kita di Puncak? Mau bikin gue berantem sama Bule? Kayak waktu
SMA dulu. Hal yang dijadiin bule alesan untuk selingkuh lagi dari lo? Lo mau
kali ini bule selingkuhin lo lagi ?”
“Gue mau kita berdua tenang, Fay.
Pas lo ajak gue ke Puncak, disitu gue berpikir buat take time dan sharing sama
lo lebih dari waktu yang kita abisin untuk satu cup mocha float.”
“Kan kalau mau lebih lama, lo
tinggal beli 2 sampai 3 cup mocha float lagi.”
“Puncak itu tenang, Fay. Lo akuin
itu kan ? Nikmatin aja perjalanan kita yang semoga besok kita terbuka lagi untuk
menjalani hari.”
“Hm…” aku beralih pandangan ke
luar mobil,”jagung yuk!”
“Yuk.”
Bintang
di langit puncak sangat indah. Sama seperti yang kita berdua lihat di langit
Bromo, di dua waktu yang berbeda. Ribuan bintang itu menyebar di langit yang
gelap gulita. Kita hanya mendengar keheningan yang terkadang dihiasi suara
klakson mobil. Tidak ada jangkrik karena masih saja goyonannya tidak berujung
“krik krik”. Tawa kami sangat lepas, kami tidak pernah seperti ini selama
pertemanan kami. Badannya yang masih gendut, hmm tepatnya berisi, sudah
berkali-kali aku cubit. Kami sudah tidak lagi curhat satu sama lain. Kami lebih
memperluas perbincangan. Kami membicarakan realita yang terjadi di sekitar
kita, lingkungan hidup, reboisasi, fauna di taman safari, sampai ke bentuk dan
arsitek dari Masjid At-Ta’awun di Puncak.
Jam
menunjukkan pukul 2 pagi. Dia mengajakku pergi mencari penginapan untuk
mengistirahatkan mobil dan supir baruku. Beruntungnya kami, kami mendapatkan
satu penginapan kecil dengan dua kamar. Pas untuk kami berdua.
Rasanya
drama ini harus berputar kembali. Di luar sana banyak kisah yang menyakitkan
hati kami. Hingga kami harus merasakan jatuh dan jatuh. Tapi di penginapan ini
hanya ada satu dunia, yaitu dunia persahabatan kami yang tidak pernah kami
sangka akan berlangsung lama. Ini merupakan satu satunya persahabatanku dengan
lawan jenis yang mampu bertahan lama tanpa rasa cinta. Ya, aku pernah mengalami
sahabat jadi cinta. Namun, itu bukan karena kejujuran. Semua terjadi karena
keegoisan satu sama lain yang tidak bisa memisahkan yang semestinya terjadi dan
yang tidak boleh terjadi. Rasanya, malam ini keegoisan itu kembali terjadi.
Kisah selanjutnya, kita masih menjalaninya masing-masing.
Untuk
pertama kalinya, aku menatap mata Naufal dengan cara pandang yang berbeda. Aku
mengambil handphoneku yang berada di sampingnya yang tengah duduk di sofa.
Kemudian dia menoleh ke arahku tanpa sengaja. Kami menjatuhkan pandangan
bersamaan. Lalu aku memecahkan dengan berpaling dan berjalan kembali ke kamar.
Naufal memanggilku dengan nada rendah. Aku berbalik badan kemudian ia menyiumku tepat
di bibir. Aku mendorongnya karena aku langsung merasakan yang tak semestinya
terjadi.
“Kenapa pertanyaan Mela yang dulu
belum kamu jawab sampai sekarang?”
“Karena… karena aku tau, Fal,
jatuh cinta sama kamu bukan hal yang benar. Aku sudah pernah merasakannya
karena aku orangnya baperan. Mela sudah kasih tau kamu itu kan? Tapi aku
memilih untuk menjalani yang namanya cinta dengan orang lain. Bukan dengan
kamu.”
“Kalau kita memang ditakdirkan
bersama bukan sekedar sahabat, ya mungkin sahabat yang memiliki hubungan bukan
persahabatan, gimana, Fay?”
“Kalau itu terjadi, bukan untuk
jatuh dan bangkit lagi.”
Kami
terdiam dan saling menatap dengan pikiran kosong. Untuk waktu yang cukup lama.
“Peluk aku, Fal.” Aku menyerah
dengan keadaan karena air mata memang tak sanggup lagi tertahan. Aku tertunduk
malu karena ketidak-konsistenan omonganku beberapa menit yang lalu.Seperti hari
itu di lapangan setelah pelantikan, betisku sudah lelah menahan tubuh hingga
akhirnya aku harus menjatuhkan diri ke posisi duduk dengan kepala tertunduk.
Naufal datang membopong aku menuju UKS. Kali ini, dia datang memelukku.
“Be the last, Fal. Kalau kamu
udah siap. Kita sudah sama-sama lelah untuk membuat banyak kesalahan yang sama.
Kita sudah sama sama belajar. Betisku sudah lelah dan sakit sekali kalau bukan
kamu yang membopongku.”
“Aku gak bisa janji.”
---END---