Sabtu, 22 April 2017

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III

                Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan siap test drive bersama SIM A barunya.
                Jumat malam kami berangkat berdua dengan mobil yang masih mulus. Suasana terasa hening sekali dan angin dingin menunjukkan kenapa kaca mobil berembun. Lantunan lagu EDM menemani perjalanan kami. Meskipun suasana hati sedang sendu, tapi mobil ini terasa mengajak kami berjoget. Jalanan pun lancar jaya, mungkin karena sudah malam. Kami tidak banyak mengobrol di mobil. Bukan, bukan karena alasan seperti dulu di motor. Tetapi memang karena aku malas ngomong.
                Dia sangat mengerti perasaanku. Maka dari itu, walaupun dia hobby bercanda garing seperti memuji diri sendiri, kali ini dia diam saja. Dia memancing mood baikku dengan lagu EDM. Dia akhirnya tau kalau belakangan ini aku suka dengan musik EDM. Setelah jari jemariku mulai bergoyang, dia baru membuka suara.
“Gue balikan sama Andine.”
“Hah ? Lo gila ? Lo cinta mati gitu sama bule ?”
“Gue selalu menemukan alasan kenapa gue harus maafin dia.”
“Oke. Kalau gitu lo juga bisa mengerti dong kenapa gue memilih bertahan sama Wahyu padahal dua jam yang lalu gue nangisin dia karena gue tau dia jalan sama sahabat gue sendiri ?”
“Agnes Monica bener, Fay. Cinta kadang tak ada logika.”
                Aku menggelengkan kepalaku dan sangat amat tidak percaya kalau hal ini terjadi lagi.
“Gue kira kalian udah lost contact.”
“Iya, dia baru datang lagi,Fay. Sebenarnya dia berkali-kali datang setelah lulus SMA. Dia kan belum dapat universitas, dia sempat meminta tolong gue untuk nemenin dia daftar di swasta”
“Dan lo nemenin?” aku menyela.
“Iya. Kita sempat jalan. Bahkan makan dan nonton. Sampai rumah dia pun gue sempet cium keningnya. Terjadi gitu aja.”
“Setelah itu?”
“Setelah itu gue tau kalau dia cuma jadiin gue pelarian. Dia punya pacar sebenernya, calon pilot. Ya tapi karena si calon pilot jarang pulang, dia butuh kasih sayang.”
“Gue udah berkali-kali jatuh dan bangun lagi dengan orang yang berbeda. Tapi lo, jatuh dan bangun di tempat yang sama.”
“Itu yang gue bilang, Fay. Gue punya alasan kenapa gue masih mau maafin dia.”
“Ah pasti alas an klasik yang lo bilang sayang.”
“Hm… Terus sepulang dari Singapore, dia hubungi gue lagi. Dia cerita kalau udah ga jadi sama si calon pilot karena dia gak mau LDR-an. Dia meminta gue balik.”
“Trus?”
“Gue cuma balas dengan ciuman, Fay.”
“So… kalian resmi balikan ? Trus ngapain sekarang kita di Puncak? Mau bikin gue berantem sama Bule? Kayak waktu SMA dulu. Hal yang dijadiin bule alesan untuk selingkuh lagi dari lo? Lo mau kali ini bule selingkuhin lo lagi ?”
“Gue mau kita berdua tenang, Fay. Pas lo ajak gue ke Puncak, disitu gue berpikir buat take time dan sharing sama lo lebih dari waktu yang kita abisin untuk satu cup mocha float.”
“Kan kalau mau lebih lama, lo tinggal beli 2 sampai 3 cup mocha float lagi.”
“Puncak itu tenang, Fay. Lo akuin itu kan ? Nikmatin aja perjalanan kita yang semoga besok kita terbuka lagi untuk menjalani hari.”
“Hm…” aku beralih pandangan ke luar mobil,”jagung yuk!”
“Yuk.”
                Bintang di langit puncak sangat indah. Sama seperti yang kita berdua lihat di langit Bromo, di dua waktu yang berbeda. Ribuan bintang itu menyebar di langit yang gelap gulita. Kita hanya mendengar keheningan yang terkadang dihiasi suara klakson mobil. Tidak ada jangkrik karena masih saja goyonannya tidak berujung “krik krik”. Tawa kami sangat lepas, kami tidak pernah seperti ini selama pertemanan kami. Badannya yang masih gendut, hmm tepatnya berisi, sudah berkali-kali aku cubit. Kami sudah tidak lagi curhat satu sama lain. Kami lebih memperluas perbincangan. Kami membicarakan realita yang terjadi di sekitar kita, lingkungan hidup, reboisasi, fauna di taman safari, sampai ke bentuk dan arsitek dari Masjid At-Ta’awun di Puncak.
                Jam menunjukkan pukul 2 pagi. Dia mengajakku pergi mencari penginapan untuk mengistirahatkan mobil dan supir baruku. Beruntungnya kami, kami mendapatkan satu penginapan kecil dengan dua kamar. Pas untuk kami berdua.
                Rasanya drama ini harus berputar kembali. Di luar sana banyak kisah yang menyakitkan hati kami. Hingga kami harus merasakan jatuh dan jatuh. Tapi di penginapan ini hanya ada satu dunia, yaitu dunia persahabatan kami yang tidak pernah kami sangka akan berlangsung lama. Ini merupakan satu satunya persahabatanku dengan lawan jenis yang mampu bertahan lama tanpa rasa cinta. Ya, aku pernah mengalami sahabat jadi cinta. Namun, itu bukan karena kejujuran. Semua terjadi karena keegoisan satu sama lain yang tidak bisa memisahkan yang semestinya terjadi dan yang tidak boleh terjadi. Rasanya, malam ini keegoisan itu kembali terjadi. Kisah selanjutnya, kita masih menjalaninya masing-masing.
                Untuk pertama kalinya, aku menatap mata Naufal dengan cara pandang yang berbeda. Aku mengambil handphoneku yang berada di sampingnya yang tengah duduk di sofa. Kemudian dia menoleh ke arahku tanpa sengaja. Kami menjatuhkan pandangan bersamaan. Lalu aku memecahkan dengan berpaling dan berjalan kembali ke kamar.
                Naufal memanggilku dengan nada rendah. Aku berbalik badan kemudian ia menyiumku tepat di bibir. Aku mendorongnya karena aku langsung merasakan yang tak semestinya terjadi.
“Kenapa pertanyaan Mela yang dulu belum kamu jawab sampai sekarang?”
“Karena… karena aku tau, Fal, jatuh cinta sama kamu bukan hal yang benar. Aku sudah pernah merasakannya karena aku orangnya baperan. Mela sudah kasih tau kamu itu kan? Tapi aku memilih untuk menjalani yang namanya cinta dengan orang lain. Bukan dengan kamu.”
“Kalau kita memang ditakdirkan bersama bukan sekedar sahabat, ya mungkin sahabat yang memiliki hubungan bukan persahabatan, gimana, Fay?”
“Kalau itu terjadi, bukan untuk jatuh dan bangkit lagi.”
                Kami terdiam dan saling menatap dengan pikiran kosong. Untuk waktu yang cukup lama.
“Peluk aku, Fal.” Aku menyerah dengan keadaan karena air mata memang tak sanggup lagi tertahan. Aku tertunduk malu karena ketidak-konsistenan omonganku beberapa menit yang lalu.Seperti hari itu di lapangan setelah pelantikan, betisku sudah lelah menahan tubuh hingga akhirnya aku harus menjatuhkan diri ke posisi duduk dengan kepala tertunduk. Naufal datang membopong aku menuju UKS. Kali ini, dia datang memelukku.
“Be the last, Fal. Kalau kamu udah siap. Kita sudah sama-sama lelah untuk membuat banyak kesalahan yang sama. Kita sudah sama sama belajar. Betisku sudah lelah dan sakit sekali kalau bukan kamu yang membopongku.”
“Aku gak bisa janji.”



---END---

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part II

“Hari ini aku sidang tugas akhir nih. Kamu yang kampusnya ga jauh dari sini, gak mau support aku?” Aku mengiriminya pesan singkat via whatsapp.
“Aku lagi di Singapore, Fay. Kampusku emang gak jauh dari kampus kamu, tapi posisiku jauh.”
“Lagian kenapa sih magangnya pas banget gue sidang?”
“Tanyain ke Kajur gue lah. Lagian kan disana ada Zuma kan?”
“He always beside me. Always do better.”
“Gue juga disini ada yang nemenin. Emang lo doang yang punya pasangan ?”
“Siapa? Kok lo gak kasih tau gue punya gebetan di tempat magang ?”
“Iya, dia dari kampus cabang. Namanya Lina, cantik deh berhijab lagi.”
“Gue gak pernah lo bilang cantik.”
“Ya kan udah ada Zuma, kalau Lina ga ada siapa-siapa L
“Kok emotnya sedih”
“Bohong deh. Dia punya pacar di Jakarta. Beda kampus juga.”
“Jadi … just Singapore I’m in love nih ?”
“I Thought”
---
“Welcome to Jakartaaaaaaa!!!” Aku menyodorkannya brownies buatanku. “Ini brownies buatan gue, tester pertama Wahyu, kata dia si enak banget. Jadi gue yakin, duta pariwisata satu ini pasti ketagihan juga.”
“Gue udah sampai Jakarta dari kapan tau, ini kita kan lagi sparing basket, dan lo kasih browniesnya ke gue doang. Sedangkan disana ada Wahyu. Tapi… disini lo masih berhutang cerita tentang Zuma.”
“Jadi kapan mocha float KFC lagi?”
“Abis ini ya mocha float lagi.”
“Okeeeeeeee. Habisin dulu browniesnya.”
Dia mengunyah potongan pertamanya dan menunjukkan muka sok nya, seakan dia chef terbaik di dunia yang sedang mencicipi masakan crewnya. Padahal disini yang jelas chef adalah aku.
“Brownies yang lezat, Chef. Nanti saya akan rekomendasikan ke rekan-rekan saya.”
---
                Satu tahun ditinggal dia ke Singapore untuk magang mengukir banyak cerita. Terakhir kali aku masih dengan Zuma, orang yang tertulis di laporan tugas akhir dan kemudian dia dengan Lina yang sebenarnya punya pacar.
                Kami kembali dengan satu cup mocha float KFC. Kali ini setting tempatnya di store KFC itu sendiri. Dimulai dari kisah menariknya dengan kerennya Singapore yang bisa mengundang wisatawan berkunjung ke Negara tersebut. Beralih ke kisah dia dan Lina.
                Tidak akan pula berhasil hubungan yang didasarkan atas rasa butuh pengganti ketika tidak ada. Jika satu sisi saja yang menjadikan hubungan tersebut pelarian, maka pihak lain akan merasa sangat terluka. Jika kedua belah pihak memang menjadikan sebuah hubungan tersebut sebagai pelarian, maka akan lebih banyak yang terluka. Bukan pasangan mereka yang mereka tinggalkan, bahkan diri mereka yang menjalankan. Semua itu akan terus menerus memunculkan konflik baru dalam hubungan. Karena intinya, semua itu disebut perselingkuhan. Yang namanya perselingkuhan akan meruntuhkan satu pondasi dalam sebuah hubungan, yaitu kepercayaan. Mulai dari situ,bahkan pelaku merasa dirinya tidak aman dalam hubungan tersebut. Pasangan yang mereka tinggalkan demi sebuah pelarian akan menjadi korban ketidak-percayaan yang seharusnya dialami secara berbalik. Satu hal yang aku dapati dari cerita dia dan Lina, Lina hebat memiliki pacar yang luar biasa. Laki-laki itu hanya berpesan agar Lina cepat pulangkan hatinya kembali ke rumah yang sebenarnya. Hari ini sudah sebulan kepulangan dia dan yang kudengar dari dia, Lina dan pacarnya kembali baik-baik saja. Bahkan, untuk mengikat kepercayaan yang lebih, setelah laporan magang bulan ini, Lina dan kekasihnya akan bertunangan. Lina meminta dia untuk menghadiri acara pertunangannya hingga ke pernikahan.
                Lalu bagaimana dia ? Dia tau pelarian itu seperti apa? Dan seperti yang aku bilang di whatsapp “just Singapore, I’m in love.” Begitu sampai di Jakarta lagi, sudah tidak ada kalimat itu. Dia menerimanya dengan ikhlas.
                Aku dan Zuma. Sebulan setelah sidang, aku diterima kerja di restaurant sebagai bagian dari crew yang tentunya masih junior. Masih perlu banyak belajar dan mempelajari kitchen. Bukan sekedar dapur yang ada di belakang rumah tempat Mama masak. Ini Kitchen yang punya satu dunia tersendiri. Hal itu membuatku depresi di awal. Namun, tekat dan keyakinan yang sempat Dhika tunjukkan dulu memotivasiku. Aku bertahan dengan segala impian. Namun, impian belum tentu didukung oleh realita. Zuma tidak terima dengan kesibukanku, dia terus saja mencari masalah yang harus dibahas hingga akhirnya cukup mengacaukan aku di kitchen. Leader Crew hampir mengancam memotong jariku, jelas itu hanya ancaman. Tapi aku yakin, apa yang terlontar dari leader bukan hal yang sepele. Aku ajak Zuma bicara baik-baik. Namun, dia menganggap itu masalah besar. Dengan mudah, dia menyudahi hubungan yang menurutnya sudah tidak ada support di dalamnya. Ya jelas, kalau dia support kenapa memersalahkan pekerjaan dan impianku ? But, si pembuat masalah selalu bisa memutar balikan fakta.
“Kalau lo sama Wahyu?”
“Itu karena lo kelamaan di Singapore. Gue butuh temen, jadinya sama Wahyu deh. Dan ternyata gak setiap orang memaknai kedekatan itu dengan hal yang sama. Dia menganggap ini lebih.”
“Tapi kalian pacaran ?”
“Engga.”
“Mau denger lagi? Saran gue, jauhin Wahyu.”
“Kenapa?”
“Terakhir kali lo tanya ini, lo menghindar dari gue loh dan bikin kita satu periode OSIS ada di sisi yang berbeda.”
“Sorry…”
“Let the time show it. Satu hal yang pasti, masih ada gue yang bisa mainin gitar dengan lagunya Ungu… Laguku.”
“Bisa aja lo ah.”
“Pakar cinta mau dikalahin.”

“Cinta aja ga punya lo.”

Bersambung ...


Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part II


                Setahun berlalu dengan banyak perseteruan dan kebahagiaan yang tidak akan pernah terasa dua kali. Aku menangis di barisan paling belakang saat aku harus menjalankan pelantikan pengurus baru dan melepaskan lencana yang selalu tersemat di dada.
                Rasanya baru kemarin aku menasehati Dhika agar tidak perlu lagi memupuk amarah ke dia hanya karena jabatan. Rasanya baru kemarin ditatar sama senior yang kejamnya minta ampun. Rasanya baru kemarin berdebat dengan kepala sekolah dan ketua-ketua kelas atas program-program baru yang sudah kami buat. Rasanya baru kemarin, Dhika mencela ideku untuk acara Pensi sekolah. Rasanya baru kemarin berlari-lari di lapangan selepas pulang sekolah. Rasanya baru kemarin.
“Udah jangan nangis! Nanti kita bertemu lagi di presma. Kita sama-sama lagi bikin program dan adu bacot dengan petinggi-petinggi kampus. Udah, Fay!” kata dia menenangkan aku setelah selesai pelantikan.
“Kenapa selalu seperti ini rasanya perpisahan? Saat kita udah nyaman dengan kondisi yang kita bangun, kebersamaan yang tumbuh setelah pergunjingan sana-sini. Aku gak suka perpisahan.” Aku menangis di pundaknya. Terasa perih saat jatuh. Sangat sakit untuk berpikir memulai hal yang baru. Dulu aku bilang ke Dhika, bahwa lebih menyenangkan jadi siswa biasa yang hanya memikirkan diri sendiri dan impian sendiri untuk bisa diwujudkan. Tapi hari ini aku tau, tidak ada baiknya jika hanya sendiri, karena bersama semua terasa lebih ringan dan menyenangkan.
“Nanti pulang gue traktir mocha float di KFC. Kita ngobrol lagi kayak dulu pernah kita lakuin.”
“Kapan emang kita pernah ngobrol? Kita gak pernah ngobrol. Lo sama gue ada di sisi yang berbeda. Selalu seperti itu.”
“Setahun ini kita seperti itu demi Dhika, sekarang kita bisa bersama walaupun gak berarti bersama-sama.”
---
“Nih mocha floatnya! Pegang! Disiini terlalu rame. Kita muter-muter dulu abis itu kita balik ke sekolah setelah sepi.”
“Sekolah lagi? Ngapain?”
“Gitaran di atas jam 5.” Dia tersenyum dan itu memang bisa menenangkan.
Di motor kami tidak saling bicara. Aku bukan tipikal orang yang suka mengobrol di atas motor. Hal itu bisa membuat aku seolah orang yang tuli. Aku tidak suka ketika berbicara ada suara bising di sekitar. Dia tau itu, jadi dia tidak memulai pembicaraan.
                Kami sempat dua kali mengelilingi blok yang sama di komplek dekat sekolah. Hanya membuang bensin di motornya. Tidak jelas, tapi kami hanya ingin menghabiskan setengah jam sebelum kembali ke sekolah. Sepanjang waktu, aku hanya memikirkan masa-masa indah saat menjadi OSIS dan masa-masa menyebalkan ketika aku harus menyejajarkan Dhika dan organisasi. Terlihat tidak sebanding buat orang lain, tapi sebanding menurutku.
                Sampai akhir jabatanku menjadi pengurus OSIS, Dhika tidak jadi Ketua Permusyawaratan Sekolah. Aku cukup senang Dhika mendengar omonganku, Dhika memilih menjadi siswa biasa dan kembali menekuni bahasa bahkan kebudayaan Jerman. Namun, Dhika masih tidak berhenti membenci dia. Beberapa bulan ini aku memikirkan kembali poin tersebut. Adalah hal yang sepele seseorang bermusuhan dalam setahun hanya karena jabatan. Adakah hal lain seperti obsesi yang muncul karena penekanan beberapa pihak sampai Dhika seperti itu? Ataukah ada reward yang gagal Dhika dapatkan jika Dhika tidak menjadi ketua OSIS? Pemikiran tersebutlah yang membuatku brutal dua bulan ini. Terlebih, aku harus menghadapi calon pengurus yang menjadi cobaan luar biasa tahun ini.
“Sampai…” kami memarkirkan motor di dekat bale. Karena ini sudah bukan jam sekolah, kami bebas memanfaatkan sudut ruang sekolah ini selagi bukan hal negatif. “Duduk di bale dulu Fay, nanti ada Jossi dan Mela yang join sama kita. Biar kita gak jadi fitnah, tadi gue ajak mereka duduk bareng. Gue mau cari Bang Udin, minjem gitarnya.”
Aku mengangguk. Tidak lama kemudian Jossi dan Mela, si kembar beda orang tua ini datang dengan satu kantong cemilan dan minuman yang mereka beli di supermarket depan sekolah.
“Jadi, ada apa ya kita dipanggil kesini?” kata Jossi.
“Kan lo tau, Joss, dia selalu punya hal yang gak pernah kita pikirin sebelumnya” jawab Mela.
“Ih kebiasaan deh lo, Yossi, jangan Jos. Aneh tau jadinya.”
Mela membalasnya dengan menjulurkan lidah kemudian tertawa. “Tapi yang gue tau pasti, Fay lagi dalam masalah nih.”
“Iya, Fay, Dhika jangan digalauin deh. Liat tuh dia sama Andine aja putus biasa-biasa aja.”
“Ya tapikan, kisah dua pasangan ini berbeda,Yos. Kalau Andine sih jelas-jelas selingkuh lagi yang kita udah tau hal yang wajar hubungan antar remaja. Kalau Dhika sama Fay itu udah pake kekerasan.”
“Hush…” Jossi melarang Mela melanjutkan omongannya.
“Kita melihatnya kekerasan yang dilakuin Dhika, tapi bagi Dhika kan itu sebuah statement kalau dia itu benar.” Dia menyela perbincangan kami.
“Dia bukan benar, dia perfeksionis.” Aku membuka suara.
“Tapi Dhika udah direhab kan, Fay?” Dia melanjutkan perbincangan. Aku anggap itu sebagai pembuka.
“Iya, akhirnya Dhika direhab. Gue bilang ke orang tua gue untuk gak perlu lanjutin ke kasus hukum.” Aku kembali menangis.
“Akhirnya kamu tau Dhika seperti itu karena apa ? Keturunankah ?”Dia melanjutkaan pertanyaannya.
“Kalau Fay bilang Dhika perfeksionis, jelas itu bukan keturunan. Itu memang watak dia yang entah waktu kecil Dhika liat dari siapa jadi seperti itu. Ditambah lagi dia juga gak bisa kendalikan diri jadinya kekerasan deh” jelas Jossi.
“Karena dia terobsesi juga kali di posisi kamu.” Aku menunjuk ke dia.
“Gue ?”
“Wait… waktu itu dia pernah kasih tau ke gue kalau ayahnya memang aktif di organisasi dan memang mengetuai juga. Udah dari lama. Mungkin nilai perfeksionis bagi dia dilihat dari situ, jadi Dhika terobsesi” sela Mela.
“Tapi gue gak pernah tau itu.” Kataku dengan suara kecil.
“Udah udah… setidaknya kita udah tau Dhika seperti apa. Terutama kamu, Fay, udah gue bilang kan untuk gausah lanjutin hubungan kalian. Gak baik.”
Sambil memandang aku dan dia sepertinya ada yang dipikirkan Mela, “Sebagai biang gossip yang cukup lihai di sekolah, ada sesuatu di pikiran gue. Sebentar…”\
“Lo kenapa sih, Mel ?”
“Fay, kenapa lo bantu dia balikan sama Andine sedangkan lo tau Andine kayak gimana? Gue tau lo gak lagi disogok sm si bule itu, jadi coba ceritakan!”
“Wah wah wah kok beralih ke gue? Udah ah, kita makan aja cemilannya dan gitaran. Gue akan mengiringi suasana sore ini dengan petikan gitar. Buat kamu, Fay, Laguku.”
“You know me so well.” Aku tersenyum dia akan memainkan lagu favoritku sejak SMP.
“Tunggu dulu, bigos mau serius. Lo jawab Fay pertanyaan gue tadi!”
“Gue bikin mereka balikan karena memang mereka berdua mau.”
“Lo kan orangnya cukup baperan ya, Fay. Apa lo ga pernah terbesit gitu biar lo aja yang jadian sama dia ?” Pertanyaan Jossie yang membuat aku dan dia tak berkutik.
“What the ?” Aku dan dia saling bertatapan seolah sedang ada di meja hijau.
                Tidak semua kisah persahabatan berakhir dengan cinta. Walaupun cinta yang dimulai dengan persahabatan akan berakhir indah jika berhasil saling jujur. Setidaknya itu yang aku tangkap dari drama seri Cinta dan Rahasia di NET. Tapi, itu dia, berani saling jujur, jujur sama diri sendiri maupun ke lawan jenis.

                Namun balik lagi, tidak semua kisah persahabatan berakhir dengan cinta. Ada kalanya persahabatan yang murni memang tidak akan berakhir dengan cinta. Mereka akan tetap bersama, saling mendukung satu sama lain dalam segala hal. Bahkan dalam hal percintaan sahabatnya. Sahabat yang benar-benar bersahabat berani menampar sahabatnya agar segera sadar jika pilihannya salah. Sahabat yang benar-benar bersahabat akan berbuat apa saja agar merubah mindset sahabatnya yang salah menilai hal paling tepat dalam hidup sahabatnya. Sahabat yang benar-benar sahabat tau berjuta cara agar tidak menyakiti sahabatnya. Sahabat yang benar-benar sahabat bisa mematahkan cinta demi mempertahankan persahabatan. Itu semua kami lakukan bersama, aku dan dia.



Bersambung ...

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part I

                Ratusan pasang mata menatapnya. Beberapa cibiran terlontar padanya. Namun, tidak sedikit pujian tertuju padanya. Entah karena hidungnya yang mancung, kulitnya yang terlihat bersih sekalipun kecoklatan, atau kharismanya yang sejak awal masuk SMA sudah terpancarkan. Suasana ramai dengan tepuk tangan terhenti ketika ia mengucapkan salam. Suaranya yang sedikit ngebass untuk ukuran laki-laki yang sudah baligh bisa menarik para haters ataupun lovers. Semua kalangan sepertinya, mulai dari kakak kelasnya, adik sekelasnya, teman seangkatannya, para guru dan bahkan kepala sekolah yang judesnya minta ampun. Semua memerhatikannya, kecuali aku.
                Bukan hal yang baru mengaguminya bagiku. Aku mengenalnya lebih dari 4 tahun. Aku tau sejak dulu masuk SMP kalau bocah gendut berkulit coklat itu memang memiliki kharisma sebagai seseorang yang dapat menarik perhatian banyak kalangan. Kalimat hiperbola yang sejak dulu aku buat adalah “mungkin sebagian auranya Bung Karno dititiskan ke dalam jiwa dia”.Tapi kenapa kali ini aku tidak tercengang seperti yang lain. Kalau alasannya karena aku sudah lama mengenalnya, ada dari tiga orang di lapangan ini yang sudah kenal dia lebih lama dari aku. Pertama, teman sekolah dasarnya yang berpisah saat SMP dan kembali bertemu di SMA, dia cewek. Kedua, mantan pacarnya yang ternyata sebulan yang lalu kembali mengharapkan cintanya. Ketiga, dia laki-laki yang menjadi rivalnya sejak masuk SMA.
                Cewek yang sudah mengenalnya lebih dari separuh umur mereka, namanya Mela. Mela mengaku sudah sekelas dengannya sejak kelas 1 SD dan saat itu dia sangat amat gendut bahkan tidak ada yang peduli dengan keberadaannya di kelas. Semua anak SD di kelas hanya memuji anak laki-laki yang selalu menjadi juara kelas selama 6 tahun. Peringkat satu di kelas tidak pernah tergeser, sekalipun dengan laki-laki yang sedang berdiri di atas podium.
                Mantan pacarnya yang sekitar satu bulan lalu menyapaku dan meminta nomor handphoneku. Namanya Andine Rahma, atau yang banyak menyapanya “bule”. Rambutnya memang pirang secara alami, katanya genetik karena kakeknya keturunan Australia. Hidungnya pun bangir. Rasanya bodoh sekali kalau dia memutuskan Andine secara cuma-cuma. Usut punya usut, dua hari setelah Andine meminta nomor handphoneku,Andine memanfaatkanku sebagai wadah untuk kembali bersama dia. Aku pun tidak begitu saja membantu, aku secara detail menanyakan kisah mereka. Ternyata saat putus, sekitar semester kedua kelas satu, Andine tertangkap basah sedang berciuman dengan kakak kelas kami yang saat itu duduk di kelas 12 IPS 3. Alasan Andine, mereka melakukan hal itu di rumah sang kakak kelas yang memang sedang modus dengan bule yang masih jadi murid baru di sekolah. Duh… baru juga masuk SMA, sudah terkena skandal saja. Maka dari itu, dia memilih untuk menyudahi hubungannya dengan Andine. Tapi bodohnya, Andine justru berpacaran dengan kakak kelas itu sampai terpisah karena salah satunya harus lulus sekolah. Mereka cukup mendompang popularitas sebagai hot couple untuk beberapa bulan di sekolah ini. And… Andine, you bullshit. Aku siswa disini yang bisa melihat kebenaran. Kebenaran selanjutnya adalah Andine ingin menjalin hubungan kembali dengannya juga karena ingin kembali lebih populer di sekolah.
                Anak laki-laki yang menjadi rivalnya bernama Dhika, pacarku secara resmi enam bulan yang lalu. Tepatnya, seminggu setelah dia dan Andine putus.Dhika menjadi rivalnya jelas bukan karena aku. Dhika sangat terobsesi ada di posisi dia yang saat ini berdiri di atas podium. Sebagai ketua OSIS. Hal itulah yang membuatku detik ini tidak bisa menjatuhkan pandangan kepada anak laki-laki yang sedang memberi sambutan dan ucapan terima kasih di hari pelantikan kami.
                Kami, aku tepatnya hari ini juga dengan hikmat menjalankan pelantikan sebagai pengurus OSIS. Namun, saat dia sambutan aku jatuhkan pandangan pada Dhika yang berdiri di barisan laki-laki kelas 11 IPA 2. Wajah Dhika terlihat kesal dan terlihat seolah dunia sudah tidak adil buat Dhika. Tepatnya, senior OSIS tidak adil karena memilih dia sebagai calon ketua OSIS sedangkan Dhika digugurkan dalam seleksi atas permintaan Pembina OSIS karena Dhika akan dicalonkan sebagai Ketua Permusyawaratan Kelas. Secara organisasi, Majelis Permusyawaratan Kelas lebih tinggi kedudukannya dengan OSIS. Ibarat dalam kesatuan Negara, OSIS dengan ketuanya sebagai Presiden, pengurusnya merupakan kabinet kerja, dan Majelis Permusyawaratan Kelas adalah MPR.
                Di lapangan memang terasa sangat panas dan melelahkan. Bagaimana tidak, biasanya kita upacara hanya sekitar 30 menit dan ini menjadi 45 menit karena kami pengurus OSIS baru harus dilantik. Diberi amanat dan lencana sebagai symbol kalau kami bukan sekedar siswa biasa. Kami harus bisa memberikan perubahan dan warna baru di sekolah. Rasanya betis lebih kalah sakitnya dari pada pundak. Lebih parah lagi yang kami rasakan, kami harus memikirkan koreografi yang sudah kami latih selama satu bulan lebih setelah dia selesai sambutan, kami harus menampilkan koreografi itu. Sebenarnya ada yang lebih parah buatku, “habis ini sebelum Bu Neneng masuk kelas, gue harus samperin Dhika dan bikin dia tenang”.
---
“Fay, ini lencana lo. Mau gue pakein ?”
“Lo tau kan gue harus buru-buru samperin Dhika dan bikin dunia dia lebih jernih dari beberapa menit yang lalu.?”
“Fay… kenapa lo masih mau bertahan sama dia si? Dia orangnya kasar banget. Gue gak mau sahabat gue disakitin lagi sama dia.”
“Hm… begini ya mas yang baru dilantik sebagai ketua OSIS,” aku merapihkan dasinya,”gue sama sekali gak ikut campur urusan lo sama Andine, jadi please kali ini lo juga jangan ikut campur dulu urusan gue sama Dhika”. Aku pergi meninggalkannya.
“Fay, inget. Ini urusan kita berempat. Lo, gue, Andine, dan Dhika.”
“Whatever lah…”
---
“Kamu kan tau, Ketua Permusyawaratan Kelas itu jauh lebih di pandang dari cuma sekedar ketua OSIS. Kamu jauh lebih bisa ngelakuin banyak hal untuk kelas-kelas. Kamu bisa jauh lebih explore setiap kemampuan siswa di sekolah ini. Kamu yang lebih tau, kondisi-kondisi lebih realistis. Kami disana, di ruang bawah tangga itu mendengar yang ada di sekolah ini dari kamu. Jadi berhenti benci sama dia hanya karena jabatan. Kamu bukan orang yang gila jabatan kan? Gak ada untungnya kita berebut kekuasaan di sekolah. Kita semua sama, ujung-ujungnya kita berjuang dalam hal pelajaran agar bisa lulus dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. Bukan sekedar bergelut di dunia organisasi, ini salah satu kegiatan ekstra di sekolah. Bukan hal wajib yang harus jadi pertaruhan.”
Dhika masih terdiam. Untungnya Bu Neneng belum masuk kelas dan aku masih dalam waktu dispensasi sebagai pengurus OSIS yang baru.
“Dhik, bukankah lebih beruntung kamu yang cukup memikirkan diri sendiri untuk lulus dan bisa masuk perguruan tinggi yang memang kamu impikan. Selagi kamu belum berpredikat sebagai Ketua Permusyawaratan. Saatnya memupuk diri terlebih dahulu dengan ilmu duniawi yang setidaknya bisa membantu kamu untuk menjelajahi dunia luar. Ingat kenapa aku kagum sama kamu? Karena kamu punya mimpi besar sekolah di Jerman dan punya tekat sama keyakinan yang luar biasa. Tapi liat sekarang, Frau Farida malah minta tolong aku buat ajarin kamu Bahasa Jerman. Kamu…”
“Fay!!!” Dia teriak dari lantai satu.
Mataku terpejam sedetik,”aku harus kembali kesana”.
“Silahkan…” kata Dhika. Wajahku heran, setelah bicara panjang lebar, dia hanya menjawab seperti itu. “Nanti aku pikirin lagi omongan kamu, kalau kamu masih mikirin aku juga” lanjutnya. Aku menggelengkan kepalaku . Semua yang ada dalam hati dan pikirannya memang keras.
---
“Aku harus istirahat dan makan di ruang OSIS, ada berkas OSIS tahun lalu yang mau diserah terima. Ini bekal kamu, maaf kita gak bisa makan bareng hari ini. Nanti kita ketemu lagi pas istirahat kedua.
Dia ambil kotak nasi itu dengan muka datar tanpa ekspresi. Setidaknya, hari ini aku tidak menerima genggaman tangannya yang menyakitkan. Aku tersenyum meninggalkannya. Lalu ia masuk kembali ke kelas bersama teman yang lainnya.
Dhika memang keras. Dhika pun kasar. Kalau di luar lingkup sekolah kemudian kami bertengkar, dia berani membentakku bahkan sampai aku menangis. Dia pernah menggenggam tanganku dengan begitu keras dan memakiku seolah aku orang yang selalu berbuat salah di hadapannya. Dhika tidak pernah mau kalah dalam adu pendapat, dia merasa dirinya paling benar. Dhika tidak suka melihat ada sedikitpun cacat dalam tugasnya, penampilannya, bahkan segala hal yang sudah dia rencanakan memang harus itu yang dijalankan dan itu yang harus terjadi. Disisi lain, hal yang tidak baik itu bisa terlihat baik ketika Dhika begitu perfeksionis merancang dan menjalankan tahapan dalam hidupnya sejak SMA hanya untuk menggapai impiannya kuliah di Jerman. Hal itu lah yang membuatku kagum.
Kata orang, rasa kagum itu berbeda dengan rasa sayang atau istilah jatuh cinta. Tapi percayalah, bukan karena aku kagum lalu aku bertahan selama enam bulan. Dhika orang yang sangat romantis dalam kategori perfeksionis. Dia suka melihatku yang memang memiliki sifat fokus dan terstruktur. Dan dengan cara romantisnya enam bulan lalu, dia mengajakku untuk menyatukan karakter kita agar visi aku ataupun Dhika bisa terwujud. Kadang suka tidak percaya, kita berdua belum genap 17 tahun, tapi kenapa kita merasa apa yang kita lakukan adalah hal yang orang dewasa lakukan. Dengan begitulah, aku rasa aku menginginkannya lebih lama dari enam bulan. Begitupun yang ia katakan di depan Mama dan Papa.

Kutipan dari film Twilight Saga yang ketiga, Jessica sempat melontarkan kalimat saat pidato kelulusan mereka. Saat lulus dari SMA, itu bukan waktu menentukan pilihan, itu waktunya mengambil berbagai macam kesalahan hingga terjatuh untuk kembali bangkit lagi menggapai tahap selanjutnya. Tapi dengan realita yang aku jalani sekarang dengan Dhika, sepertinya kita sudah melalui masa itu beberapa tahun lalu. Jauh lebih cepat dari yang dikatakan Jessica. Atau mungkin, dibalik pemikiran yang matang antara aku dan Dhika, disitulah kesalahan yang kami buat sehingga suatu saat nanti kita akan terjatuh untuk bangkit lagi.


Bersambung ...

Rabu, 20 April 2016

Saat Kucari Ketenangan...

Dia temanku. Teman sekelasku saat SMA. Dia baik, rajin sholat, pintar ngaji, nurut sama orang tuanya, cerdas, namun satu yang buruk dari dia yang jelas aku tau, dia playboy.
Entah bagaimana pemikirannya. Yang aku tau banyak wanita terpesona dengan kharismanya. Termasuk aku. Yang sampai saat ini masih merasa jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya ketika dia ada di hadapanku. Sampai detik ini, detik dimana aku memikirkan hubungan pertemanan kita, di kampusnya, di meja kantin dekat fakultas bahasa, aku masih bertemu dengan wanita yang memasang muka sinis ketika tau bahwa aku sedang berjalan dengannya, tepatnya sih gebetan mereka. I dont care, mereka tidak tau apa-apa. Hanya melihat sudut pandang yang samar.

"Sudah lama kita gak pernah ketemu."
"Iya yah, sudah berapa tahun yah?"
"Hm..." aku beripikir beberapa detik, "Gak.."
"Beberapa tahun aja kok" katamu.
"Masa? Yang aku ingat terakhir kali kita ketemu pas buka bersama tahun yang lalu."
"Oh iya, ternyata baru Ramadhan tahun kemarin yah kita ketemu."
"Iya, tapi terasa seperti udah lama yah."
"Ibarat orang sedang jatuh cinta, sehari serasa setahun."
"Hah? Apa deh bawa-bawa cinta?"
"Gak dibawa kok. Berat. Biar itu urusan Rangga aja buat bawa-bawa cinta."
"Hih garing deh bercandaan kamu."
"Hah hih hah hih. Segitunya."
"Loh kok kamu ngambek?"
"Dih? Siapa yang ngambek?"
"Kamu lah... jangan ngambek. Jelek. Nanti gak mirip lagi sama Herjunot Ali."
"Haha" kamu tertawa, "masih aja beranggapan aku mirip DJ itu".
"Emang iya. Karena kamu mirip dia, setiap kali aku liat dia di TV pasti aku langsung mengucapkan nama kamu."
"Wah segitunya banget kamu sama aku. Kamu jatuh hati ya sama aku? Sampai-sampai aku selalu terlintas di benak kamu tiap kali liat Junot."
"Emang kamu gak tau?"
"Hah? Pertanyaan kamu itu jawaban loh dari pernyataan aku tentang kamu yang jatuh hati sama aku."
"Hah hoh hah hoh" aku hanya bisa mengucapkan itu.
"Ih apaan sih kamu. Ditanya apa malah jawab apa."
"Hmm..." aku meliriknya, "kamu gak capek? Kita sudah hampir mengelilingi kampus kamu loh".
"Tuh kan makin mengalihkan. Tapi... kalau kamu capek, kita ke kantin yang di sebelah sana yuk. Aku mau beliin kamu ice cream lagi. Seperti terakhir kali kamu kesini dan ketemu aku."
"Tapi aku mau es kelapa juga yah."
"Tenaaang. Spesial buat kamu yang lagi main kembali ke kampus aku. Mana tau kapan lagi kamu kesini. Mungkin ketika kamu kesini, aku udah selesai kuliah disini."
"Ngapain aku kesini kalau kamu juga udah lulus? Aku harus berharap bertemu siapa lagi ketika duduk di koridor depan masjid yang super duper adem?"
"Ciee... jadi setiap kamu duduk disini itu artinya kamu sedang menunggu aku yaa??"
"Salah satunya kamu..." aku gugup,"yaa karena yang aku tau, hanya kamu temanku yang aku tau akan sholat tepat pada waktunya."
"Aku jadi curiga sama kamu. Jangan-jangan kamu memang benar-benar jatuh hati sama aku yah?"
Aku kembali meliriknya, "hmm... kita duduk disini aja. Sana kamu pesanin aku ice cream dan es kelapa!"
"Iya, Nyonya."
Aku tersenyum saat kamu meninggalkanku.
Aku membuka ponselku, kulihat sudah ada sebelas panggilan tak terjawab dari mantanku. Aku mengabaikannya. Aku memilih mematikan ponsel. Aku tidak ingin ada orang lain yang menghalangi usahaku untuk menenangkan diri.


"Ini es kelapanya. Kalau ice creamnya nanti menyusul ketika es kelapa sudah habis."
"Thank you."
"Anytime... by the way, ada apa kamu kesini? Tunggu tunggu... aku tau kamu rindu dengan hempasan angin di masjid itu, tapi apa yang membuat kamu merindukannya? Kamu... sedang butuh ketenangan jiwa kah?"
"Zupeeerrr...." aku menepuk kedua tanganku.
"Jawab, Fay. Bukan cuma tepuk tangan."
"Hmm..." aku menarik nafas panjang, "ya, aku butuh ketenangan. Aku putus dengan mantanku enam bulan yang lalu. Tapi dia tidak terima. Aku yang memutuskannya. Aku sudah menjelaskan alasannya. Tapi dia meminta untuk diberi kesempatan untuk memperbaiki bagian terburuk dari alasanku itu. Aku beri dia dua bulan. Kemudian dia bilang mau menikahiku. Dia bilang langsung di depan orang tuaku. Aku belum menerimanya. Aku kira kedua orang tuaku hanya bercanda tentang syaratnya. Ternyata mereka menuntut syarat itu secara langsung. Dua bulan bukan waktu yang cukup untuk menjadi calon imam yang sempurna. Dia diminta untuk membacakan surat Ar-Rahman minggu depannya. Belum tiba seminggu, Bapak bertemu dengan dia sedang berboncengan dengan wanita dari arah tempat dia bekerja. Wanita itu memeluk erat dia dari belakang. Bapak memintanya berhenti ketika yakin kalau laki-laki itu adalah dia. Bapak meminta penjelasannya. Kata Bapak terlalu berbelit. Akhirnya, Bapak meninggalkan dia bertengkar dengan wanita itu. Malamnya, dia ke rumahku untuk meminta maaf dan berbicara terus terang denganku. Bahwa wanita itu memang sudah lama jatuh hati dengan dia. Dia pun sadar bahwa dia gak bisa menahan imannya. Wanita itu lebih cantik dan lebih semok. Pikirnya, wanita itu hanya untuk dijadikan alat pemuas hasratnya di kantor sebelum dia benar-benar memiliki istri. Jelas. Aku benci dengan yang dia jelaskan. Aku mengusirnya dari pelan sampai kasar sampai akhirnya aku tinggal tidur. Sampai saat ini, dia masih berusaha untuk kembali sama aku. Sampai dua minggu lalu dia nekat ke rumah dan bertemu Bapak Ibu untuk melantunkan syaratnya. Ibu bilang bahwa dia harus memerbaiki beberapa ayat. Sampai detik ini dia belum kembali. Hanya merayuku untuk membatalkan syarat dari Bapak dan Ibu."
"Panjang dan rumit yah."

"Maaf yah aku jadi cerita panjang lebar ke kamu."
"Tapi gimana perasaan kamu sekarang? Udah tenang?"
"Hah?" Aku rada tidak nyambung.
"Iya... perasaan kamu."
"Kayak abis ke toilet setelah nahan berjam-jam."
"Emang kamu belum pernah cerita ke siapapun?"
"Belum. Aku cuma inget masjid itu aja. Dari pada cerita sama temen."
"Eh tapi kok aku jadi tertantang yah buat melantunkan surat Ar-Rahman di depan kedua orang tua kamu?"
"Ih? Kok kamu jadi berpikir gitu?"
"Emang kamu gak mau jadi makmum seorang laki-laki ganteng, pintar dan kharismatik kayak aku?"
"Cuma wanita yang bodoh yang bilang tidak mau" kataku seraya mengaduk-aduk es kelapa di hadapanku.
"Tuh kan? Jadi boleh dong kalau aku mencoba? Toh kamu kan juga... udah jatuh hati sama aku."
"Mau aku jujur gak?"
"Oh ya harus..."
"Tadi waktu kita jalan..."
"Ya... terus"
"Aku kan nanya, 'emang kamu gak tau?'"
"Yaa... lalu?"
"Sejak SMA sampai detik ini, cuma kamu yang masih bisa bikin aku dag dig dug kalau di dekat kamu."
"YEEEESS... terus kenapa kamu gak kayak yg lain? Ngejar-ngejar aku gitu..."
"Ih kamu mah narsis. Makanya aku gak mau."
"Serius?" Kamu terlihat kecewa.
"Gak sih... kamu tau kan, orang baik akan mendapatkan orang yang baik juga. Kamu tuh orang yang baik, aku sejujurnya gak baik tuh."
"Hm... gak tepat. Kalau aku mendapatkan wanita yang baik, dimana pahala buat aku atas tindakanku sebagai imam yang membawa makmumnya ke jalan yang baik?"
"Yaa ada cara lain mungkin."
"Yaaa udah deh... emang salah kalau aku juga pernah jatuh hati sama kamu? Terus aku juga abaikan hal itu karena tiap kali aku mau mencoba jujur, eh kamunya punya pacar. Aku gak pernah pacaran lagi loh. Gimana kalau aku punya alasan bahwa aku memutuskan gak pacaran hanya untuk nunggu kamu kembali ketika kamu jomblo?"
"Emang pada kenyataannya begitu? Bagaimana dengan beberapa nama wanita yang hadir di kehidupan kamu dan aku pun mengetahuinya?"
"Yang kamu tau apa dari mereka? Apa mereka bercerita terus terang ke kamu tentang respon aku?"
"Enggaa.."
"Terus kamu percaya omongan mereka?
"Bukan gak percaya, tepatnya sih gak peduli."
"Tuh kan... gini aja deh. Kamu mau gak menikah sama aku? Kita bikin rumah tangga dimana aku akan jadi imam yang membawa kamu menjadi lebih baik. Dan aku akan menunjukkan niat suci itu dengan memenuhi syarat dari kedua orang tua kamu."
"Tapi... realitanya masih ada orang yang berjuang juga kan selain kamu."
"Biar orang tuamu yang menerima ridho Allah."
Aku tercengang dan makin dilema.


Senin, 07 Desember 2015

SUARA TERPENDAM

Bulan kemarin harusnya menjadi anniversary kita yang keenam. Tapi nyatanya kisah itu sudah kandas tiga tahun yang lalu. Namun, perasaan ini masih sama.

Belum selesai...

Aku yakin ini sudah menjadi kenyataan. Aku sudah bilang, "putus". Kamu pun sudah bilang, "aku akan sirna dan semua akan seperti aku tidak pernah ada". Kemudian kamu menambahkan, "untuk buatmu bahagia". Tapi mimpinya, masih belum bisa sirna. Seperti ada kisah yang belum usai.

Berhenti datang...

Kamu bilang, "semua akan seperti aku tidak pernah ada". Kenapa masih muncul? Hampir di setiap aku tidur, kamu muncul. Untuk apa? Masih ada yang ingin kamu katakan? Atau aku yang sebenarnya mengundangmu datang? Please, berhenti datang.

Baik-baik saja kan?...

Setelah hari itu, Tuhan tidak mempertemukan kita. Bahkan tidak ada semilir angin yang membawa namamu ke telingaku. Apa aku penasaran? Iya, aku yakin. Kamu baik-baik sajakan?


Suatu hari...

Dari semua pertanda dalam mimpi. Sepertinya Tuhan menyiapkan hari terbaik untuk kita bertemu. Entah untuk menyambung kembali yang pernah usai. Atau untuk benar-benar menyelesaikan yang pernah kita anggap selesai

Jumat, 11 September 2015

Kita Bukan Orang Yang Tepat

Meski bukan impianku satu-satunya, memilikimu adalah keinginanku yang teramat sangat. Sampai pada pelukan hangat, aku menyadari kita bukan orang yang tepat. Meski aku mendekap pada dada seorang yang dapat menerimaku sepenuhnya, bukan berarti aku meninggalkan rasa untukmu seutuhnya. Mataku memang memandang dia penuh, tapi mata hati ini masih melihat bayanganmu. Meski bibir ini terucap kata cinta, tapi hati ini selalu mendusta. Bagaimana semua ini bisa terjadi saat masih ada kamu di bagian lain hati?

Berhari-hari aku putar lagu sendu yang mengarahkan pada kisah kita. Walau kini aku tidak tau hatimu ada dimana. Apakah kamu juga merasakan apa yang aku rasakan? Atau hanya aku yang menangis sendirian. Jangan bilang, "kamu tidak tau bagaimana jadi aku", kalau kamu memang tidak melihatku saat ini. Jangan bilang, ini semua permainan, kalau kamu tidak tau bagaimana aku berusaha menunjukkan kesungguhan di depan keangkuhan. Jangan bilang, aku munafik, karena cinta memang butuh kemunafikan.

Tuhan menciptakan jodoh tidak hanya berdasarkan keinginan. Beribu-ribu kisah sudah menunjukkan bahwa terkadang hati memilih secara berlainan. Dan, pada akhirnya, restu Tuhan yang membuat insan tersebut bertahan. Lalu bagaimana dengan kita? Kita hanyalah puzzle cinta yang takkan pernah tertata. Berperang melawan waktu agar kita bisa menyatu. Walaupun kita memang sama-sama dalam satu tempat, ya kita bukan orang yang tepat.

Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part IV

Read Stupidfy : Ku Yakin Cinta Part III                 Via Whatsapp aku mengajaknya pergi ke Puncak, enam bulan kemudian. Dia mau dan si...